Sepanjang 2019 sebanyak 423 warga Nusa Tenggara Timur tewas akibat kecelakaan lalu lintas. Sebagian besar kasus terjadi di desa-desa dan kecamatan melibatkan kendaraan roda dua.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS - Sepanjang 2019 sebanyak 423 warga Nusa Tenggara Timur tewas akibat kecelakaan lalu lintas. Sebagian besar kasus terjadi di desa-desa dan kecamatan melibatkan kendaraan roda dua.
Kepala Bidang Humas Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) Kombes Polisi Jo Bangun di Kupang, Senin (6/1/2020) mengatakan, kematian akibat kecelakaan lalu lintas (lakalantas) di NTT jauh lebih tinggi dibanding penggunaan narkotika dan obat berbahaya lain (narkoba). Dominasi jumlah lakalantas ini sudah berlangsung sejak 2007 dengan jumlah korban meninggal dunia lebih dari 300 orang per tahun.
“Tahun 2019 sebanyak 423 korban meninggal dunia. Sebagian besar korban tewas di lokasi kecelakaan dan sebagian lagi tewas di rumah sakit dan Puskesmas atau saat dalam perjalanan menuju fasilitas kesehatan terdekat. Jumlah 423 itu terdata sejak Januari-Desember 2019,"kata Bangun.
Ia mengatakan, korban meninggal akibat lakalantas di NTT sebagian besar pengendara sepeda motor. Penyebab kecelakaan karena pengendara tidak tertib berlalu lintas. Misalnya di lampu merah, hendak belok ke kiri tetapi berhenti di sebelah kanan atau sebaliknya; tidak menggunakan helm; dan tidak menaati rambu-rambu lalu lintas.
Penyebab lain, kendaraan bermotor tidak laik jalan. Kebanyakan sepeda motor beroperasi di desa dan kecamatan tidak pernah dirawat tetapi terus dipaksa jalan. Bengkel motor di desa-desa pun jarang ada sehingga pengendara membongkar sendiri jika terjadi kerusakan.
Tahun 2019 sebanyak 423 korban meninggal dunia
Kecelakaan juga dipicu oleh pengendara yang mabuk. Biasanya saat pesta warga mengonsumsi minuman keras berlebihan dan mengendara dalam kondisi mabuk.
Selain itu, pengendara sepeda motor cenderung temperamental selama mengendara, seperti tidak mau dilewati kendaraan lain, atau bersinggungan dengan kendaraan sekitar. Saat itu dilewati atau bersinggungan itu, pengendara emosi kemudian memacu kendaraan dalam kecepatan tinggi untuk mengejar atau menghambat pengendara bersangkutan. Pada saat ini, pengendara tidak berhati-hati dan berakibat celaka.
Selain korban tewas, terdapat 520 korban luka berat, dan 352 luka ringan. Kerugian materiil akibat lakalantas senilai Rp 2,3 miliar. Korban meninggal dan luka berat sebagian besar usia remaja dan pemuda, yakni 14 – 45 tahun, sebagian besar pelajar dan mahasiswa.
Polisi terus melakukan sosialisasi mengenai cara berlalu lintas yang aman. Setiap penerbitan kartu surat izin mengemudi atau SIM selalu melalui proses tes langsung di lapangan, tes kejiwaan, dan tes kemampuan memahami rambu-rumbu lalu lintas. Tetapi perilaku masyarakat harus terus didorong sampai mereka benar-benar paham dan sadar.
“Ini bukan hanya tanggungjawab polisi tetapi semua pihak terutama kesadaran pengendara, orangtua, para guru sekolah, dinas perhubungan, PT Jasaraharja, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh pemuda. Setiap pengendara keluar rumah dengan kendaraan bermotor, mestinya diingatkan oleh anggota keluarga agar selalu berhati-hati di jalan, termasuk kelengkapan surat-surat kendaraan,”kata Bangun.
Direktur Yayasan “Tukelakang” NTT, Marianus Minggo mengatakan, banyak sepeda motor “bodong” dari Makassar dan Surabaya menyebar di desa-desa dan kecamatan di NTT. Sepeda motor ini tampa dokumen atau surat-surat kendaraan, dijual murah kepada masyarakat dengan harga Rp 1 juta – Rp 5 juta per unit.
“Kebanyakan masyarakat di desa dan kecamatan terpencil terutama di pulau terpencil, berminat terhadap sepeda motor itu karena harga murah. Di sana jarang ada patroli polisi lalu lintas, kalau ada pun mudah diselesaikan,”kata Minggo.
Kasus lakalantas tidak hanya di desa, dan kecamatan terpencil tetapi juga di kota dan pusat kabupaten di NTT. Salah satu penyebab, polisi begitu mudah mengeluarkan surat izin mengemudi (SIM) terutama kepada anak remaja dan ibu-ibu rumah tangga yang baru belajar mengemudi sepeda motor beberapa hari.
Ada sebagian warga beranggapan, jika sudah memiliki kartu SIM mereka bisa melakukan apa saja di jalan. Ini pandangan keliru.
“Perlu pembinaan serius berupa kursus atau penataran bagi setiap pengendara, entah roda empat atau roda dua, selain ujian kelincahan membawa kendaraan bermotor. Kemudian patroli Polantas di jalan raya, benar-benar menegakkan aturan terhadap pengendara yang melanggar, jangan mudah diajak berdamai oleh pelanggar,” kata Minggo.