Menelisik Bekas Zona Merah Perang Vietnam
Terowongan ini merupakan salah satu saksi sejarah perjuangan rakyat Vietnam melawan agresi Amerika Serikat selama 21 tahun di Vietnam.
Dengan fasih Amey (35), seorang pemandu wisata di kota Ho Chi Minh, Vietnam, menjelaskan sebuah tempat wisata bekas area perang yang dinamakan Terowongan Cu Chi di Desa Cu Chi yang terletak 70 kilometer barat laut kota Ho Chi Minh (Saigon), Vietnam. Terowongan ini merupakan salah satu saksi sejarah perjuangan rakyat Vietnam melawan agresi Amerika Serikat selama 21 tahun di Vietnam.
Di desa itu, tahun 1960-1975 terjadi perang antara tentara Amerika Serikat dan warga Cu Chi yang didominasi oleh petani. Karena saat itu daerah Cu Chi merupakan kawasan hutan rimbun, gerilya menjadi salah satu strategi warga lokal. Sebagai bagian dari strategi gerilya, warga pun menggali terowongan dengan cangkul sederhana. Kedalaman terowongan beragam, bahkan ada yang sampai 10 meter.
Tidak ada yang tahu di mana ujung dari terowongan ini terkecuali warga lokal itu sendiri. Beberapa terowongan tembus hingga Sungai Saigon sebagai tempat melarikan diri jika tentara Amerika tiba-tiba menyerang. Panjang terowongan mencapai sekitar 250 kilometer meski yang dijadikan tempat wisata sekitar 120 kilometer.
”Sisanya belum disterilisasi sehingga kemungkinan masih banyak peralatan sisa perang,” kata Amey. Di tempat wisata ini, pengunjung disajikan beragam tempat yang menggambarkan kondisi saat itu.
Amey menuturkan, terowongan ini dibuat dengan skema jaring laba-laba sehingga orang yang bukan warga lokal akan sulit menemukan lokasi persembunyian warga lokal. Selain itu, lubang terowongan juga dibuat kecil, yaitu berdiameter kurang dari 1 meter, sehingga hanya warga lokal yang dapat memasuki terowongan tersebut.
Pada zaman itu, sebagian besar warga lokal berbadan kurus karena kesulitan makan. Namun, itu menjadi keuntungan sehingga mereka lebih leluasa memasuki terowongan. Sebaliknya, tentara Amerika Serikat yang memiliki postur badan lebih besar tidak mungkin bisa masuk ke terowongan.
Selain sebagai tempat pelarian, terowongan ini juga menjadi tempat perlindungan bagi warga dari serangan agresif tentara Amerika Serikat. ”Saat daerah ini dibombardir, semua warga akan berlindung ke dalam terowongan ini,” ujarnya. Bahkan, ada beberapa warga yang terpaksa harus tinggal lama atau bahkan melahirkan di dalam terowongan tersebut,” kata Amey.
Untuk melawan taktik gerilya itu, tentara Amerika mengerahkan anjing pelacak. Hanya, kecerdikan warga yang mencuri parfum dan sabun milik tentara Amerika membuat anjing tersebut gagal mengendus keberadaan warga lokal di dalam terowongan. Kompas bersama dengan beberapa pengunjung dari Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) sempat menjajal salah satu sudut dari terowongan tersebut. Untuk masuk, kami harus berjalan jongkok.
Terowongan juga sangat gelap sehingga pengunjung harus menggunakan senter dari telepon genggam. Terowongan yang dijajal hanya sekitar 15 meter. Namun, perjalanan itu membuat tenaga kami terkuras banyak.
Kekejaman perang
Kekejaman perang terasa di terowongan tersebut. Amey mengatakan, ada banyak warga yang harus meregang nyawa di sana. Tentara Amerika Serikat secara brutal memasukkan senyawa kimia ke dalam terowongan untuk memaksa semua warga lokal keluar dari persembunyian.
”Selain membuat banyak warga meninggal, serangan kimia tersebut membuat banyak bayi lahir cacat,” ucap Amey. Warga lokal pun melawan kebrutalan tentara Amerika meski dengan senjata sederhana. Adakalanya pula, mereka merampas senjata tentara Amerika Serikat atau memanfaatkan bom yang gagal meledak. Tidak hanya itu, warga juga membuat perangkap yang cukup menyiksa. ”Perangkap itu tidak membuat lawan langsung tewas, tetapi mereka akan tewas perlahan karena tersiksa,” kata Amey.
Perangkap itu di antaranya jebakan tongkat, jebakan jendela, jebakan gergaji, jebakan ikan, jebakan pintu, dan beragam jebakan lain. ”Jebakan ini dibuat warga agar musuh jera dan kapok untuk menyerang kawasan Vietnam selatan,” ujarnya. Karena kengerian dari jebakan tersebut, tentara Amerika Serikat memutuskan untuk berhenti menyerang dan lebih memilih mengirimkan pasukan yang disewa dari negara lain. ”Hutan di Cu Chi ini menjadi tempat yang angker bagi lawan karena memang sulit ditebak,” ujarnya.
Selain Terowongan Cu Chi, Vietnam selatan juga memiliki museum perang yang menggambarkan situasi perang Vietnam saat tentara Amerika melakukan agresi ke Vietnam. Di museum ini tergambar sejumlah pertentangan dari dunia terhadap perang Vietnam, termasuk di antaranya Indonesia.
Selain itu, terpampang sejumlah foto yang menggambarkan penderitaan korban perang, termasuk dampak yang ditimbulkannya. Tidak hanya itu, beragam peralatan perang, seperti pesawat jet, helikopter, dan tank, juga dipertontonkan di halaman museum. Peralatan tersebut menjadi obyek untuk mengambil foto.
Pengunjung yang datang tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Perang memang selalu meninggalkan duka. Akibat perang di Vietnam, sekitar 3 juta orang terbunuh, sebanyak 2 juta di antaranya warga sipil. Tidak hanya itu, lama setelah perang, tahun 1975-2002, sekitar 800.000 ton bom masih tersebar di kawasan seluas 6,1 juta hektar. Akibatnya, tercatat ada 42.135 orang terbunuh dan 62.142 orang terluka karena terkena ledakan bom aktif itu.
Berbenah
Setelah 44 tahun pascaperang, Vietnam selatan yang dulu luluh lantak kini terus berbenah menjadi daerah yang indah dan menjadi incaran pemburu liburan.
Bangunan bertingkat dengan lampu gemerlap kini menghiasi kota Ho Chi Minh. Namun, bangunan khas dengan arsitektur Perancis juga masih berdiri, menambah keindahan kota. Salah satu yang masih berdiri adalah Katedral Notre Dame yang dibangun pada 1863-1880.
Di seberang gereja juga berdiri Kantor Pos Sentral Saigon yang menjadi kantor pos terbesar di Vietnam. Gedung bercorak arsitektur Barat yang dikombinasikan dengan arsitektur Timur ini dibangun mulai dari 1886 sampai 1891. Ada begitu banyak gedung bergaya Eropa lantaran Vietnam pernah dijajah oleh Perancis selama lebih dari 100 tahun di abad ke-19.
Sungai Saigon sepanjang 230 kilometer yang dulu merupakan jalur peperangan bahkan kini menjadi obyek wisata. Beberapa kapal pesiar disediakan bagi pengunjung yang hendak berlayar di Sungai Saigon. Wisatawan pun akan diajak bersantap malam di atas kapal.
Konsul Jenderal Indonesia di Ho Chi Minh Hanif Salim menuturkan, Vietnam memiliki sejumlah tempat wisata yang potensial. Selain Terowongan Cu Chi dan museum perang, ada beberapa obyek wisata yang juga menjadi incaran wisatawan, seperti Ha Long Bay, Trang An Pagoda Bai Dinh, Bukit Bana, dan Goa Son Doong.
Dengan banyaknya tempat wisata, pada tahun 2018 ada 16,5 juta wisatawan asing yang menghasilkan 26,7 miliar dollar AS. Hingga September 2019 terdapat lebih dari 12 juta wisatawan, sebanyak 79.419 orang berasal dari Indonesia.
Kekuatan ekonomi
Selain pariwisata, ujar Hanif, Vietnam juga memiliki kekuatan ekonomi di bidang furnitur. Vietnam merupakan negara penghasil mebel dengan produksi terbesar se-Asia Tenggara. Tahun 2019, nilai ekspor mebel di Vietnam mencapai 11 miliar dollar AS, sedangkan Indonesia hanya 1,8 miliar dollar AS. Negara berpenduduk 97 juta orang ini juga terus mempermudah investasi.
Kemudahan itu seperti adanya insentif investasi pembebasan pajak impor, perjanjian perdagangan bebas, hingga urusan lahan yang tidak rumit. Vietnam juga memastikan adanya stabilitas politik karena tidak ada oposisi. ”Kita juga harus terus belajar dari Vietnam yang dapat bangkit kembali walau dirundung perang,” ujar Sekretaris Jenderal HIMKI Abdul Sobur.