Penanganan Banjir Jakarta Harus Terpadu dan Melibatkan Semua Pihak
Penanganan banjir di Jakarta dan sekitarnya mesti dilakukan secara terpadu, mulai dari normalisasi sungai, penataan lahan, dan pembuatan resapan air. Agar upaya itu bisa dijalankan baik, butuh kerja sama semua pihak.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS – Penanganan banjir di Jakarta dan sekitarnya mesti dilakukan secara terpadu, mulai dari normalisasi sungai, penataan lahan, dan pembuatan resapan air. Agar upaya itu bisa dijalankan baik, butuh kerja sama semua pihak, mulai dari pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat.
Hal itu disampaikan sejumlah akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, dalam konferensi pers mengenai banjir Jakarta, Senin (6/1/2019), di kampus UGM, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam kesempatan itu, hadir sejumlah akademisi UGM yang memiliki keahlian dalam bidang sumber daya air dan lingkungan.
Pakar hidrologi UGM, Budi Santoso Wignyosukarto, mengatakan, penanganan banjir harus dilakukan secara terpadu, mulai dari kawasan hulu hingga hilir. Untuk itu, upaya penanganan banjir tidak boleh dibatasi batas-batas administratif, seperti kabupaten/kota dan provinsi.
“Pengelolaan sumber daya air itu harus terpadu secara hidrologi, sejak hulu sampai hilir di muara. Jadi, tidak ada batas-batas administrasi,” kata Budi yang merupakan Guru Besar Fakultas Teknik UGM.
Budi menuturkan, untuk menangani banjir di Jakarta dan sekitarnya, butuh peran pemerintah pusat. Hal ini karena beberapa sungai yang melintasi wilayah Jakarta juga melintasi provinsi lain. Namun, di sisi lain, pemerintah daerah juga mesti berperan dalam penanganan banjir.
“Pemerintah pusat yang membuat pola pengelolaan sumber daya air. Tapi, ada beberapa hal yang kemudian berhubungan dengan pemerintah daerah. Jadi, harusnya pola yang sudah ditetapkan itu diikuti semua pihak,” ungkap Budi.
Budi memaparkan, penanganan banjir Jakarta membutuhkan beberapa langkah. Salah satunya adalah normalisasi sungai untuk memberi ruang yang cukup pada aliran air, termasuk yang datang dari kawasan hulu. Dengan normalisasi, air dengan volume besar yang datang dari hulu bisa mengalir secara cepat ke laut.
“Saat banjir, kita tidak menginginkan air dari hulu itu mempengaruhi daerah yang ada di hilir. Oleh karena itu, air yang mengalir itu harus diberi ruang atau saluran supaya bisa segera lepas ke laut,” kata Budi.
Di sisi lain, Budi menyebut, Jakarta perlu memperbanyak ruang terbuka hijau sebagai daerah resapan air agar air hujan bisa lebih cepat meresap ke dalam tanah. Untuk memperbanyak daerah resapan air, harus ada penataan lahan, misalnya dengan memperbanyak hunian vertikal yang tidak membutuhkan lahan terlalu luas.
Guru Besar Fakultas Geografi UGM, Suratman, mengatakan, agar banjir di Jakarta bisa tertangani dengan baik, harus ada pengelolaan lahan di kawasan hulu sungai. Dia menyebut, harus ada program penghijauan yang tepat di kawasan hulu agar wilayah tersebut kembali menjadi daerah hijau. Dengan begitu, kawasan tersebut bisa kembali menjadi daerah resapan air yang baik.
Di sisi lain, pemanfaatan lahan di kawasan hulu untuk pemukiman harus dihentikan. “Perubahan penggunaan lahan di kawasan lindung itu harus dihentikan karena kawasan itu harusnya menjadi hutan. Jadi di sana harus ada program penghijauan yang cocok,” ujar Suratman.
Guru Besar Fakultas Teknik UGM Nur Yuwono mengatakan, konsep penanganan banjir seharusnya diubah. Selama ini, dalam penanganan banjir, beberapa pihak hanya berpikir untuk mengalirkan atau “membuang” air ke laut secepat-cepatnya. Padahal, air bisa disimpan dan dimanfaatkan.
“Kita selalu menganggap air sebagai barang tidak berguna sehingga harus dibuang. Padahal, air itu barang sangat berharga yang harus disimpan. Oleh karena itu, pengendalian banjir harus diubah menjadi pengelolaan sumber daya air,” kata Yuwono.
Yuwono menyebut, saat banjir terjadi, air di kawasan hilir memang perlu dialirkan secepatnya ke laut. Namun, di sisi lain, harus ada upaya untuk menahan laju air di kawasan hulu. Untuk menahan aliran air, harus ada daerah resapan yang memadai di kawasan hulu supaya air bisa meresap dengan baik ke dalam tanah.
Selain untuk mencegah banjir, peresapan air ke dalam tanah itu juga berfungsi menambah ketersediaan air tanah. “Kalau kita mau mengendalikan banjir, air harus ditahan di bagian atas, sementara aliran air di bagian ujung harus diteruskan supaya segera sampai ke laut,” ungkap Yuwono.