Pesona Pesut dan Museum Penghuni Anak Sungai Mahakam di Desa Pela
Desa Pela di tepi Danau Semayang, Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, boleh saja berada jauh dari ibu kota provinsi.
Oleh
·5 menit baca
Desa Pela di tepi Danau Semayang, Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, boleh saja berada jauh dari ibu kota provinsi. Namun, adaptasi warga desa merespons era digital turut menggeliatkan desa itu melalui ekowisata pelestarian ikan dan pesut tersisa.
Begitu tiba di Desa Pela, nuansa perkampungan nelayan yang rapi terasa kuat. Ratusan rumah panggung kayu berdiri memanjang di tepi Sungai Pela, anak Sungai Mahakam. Tinggi tiang penyangga rumah-rumah itu sekitar 4 meter. Rumah-rumah berjejer di depan jembatan kayu ulin yang memanjang sekitar 1 kilometer. Di tepi sungai, ada beberapa rumah apung dengan keramba dan perahu ketinting.
Di hulu Sungai Pela terdapat Danau Semayang seluas 13.000 hektar. Di sana, warga Desa Pela menggantungkan hidup sebagai nelayan. Ikan air tawar melimpah, seperti ikan toman, jelawat, haruan, puyu, baung, lais, dan jenis udang galah. Selain itu, Danau Semayang juga menjadi habitat mamalia langka, yakni pesut (Orcaella brevirostris) atau yang sering disebut lumba-lumba air tawar.
Saat senja mulai rebah pukul 17.00 Wita, pesut acap kali terlihat berenang, muncul ke permukaan mengambil napas. Saat mengunjungi Desa Pela akhir November 2019, pesut terlihat berenang dari Danau Semayang ke arah hilir Sungai Pela. Meski Sungai Mahakam habitat pesut, saat ini sulit melihat mamalia air tawar itu di sepanjang Mahakam.
Tahun 1960-1970-an, masih bisa dilihat pesut di depan kantor Gubernur Kalimantan Timur di Samarinda (Kompas, 22/3/1997). Saat ini, populasi pesut Mahakam diperkirakan 100 ekor saja. Di Desa Pela saja, pesut diperkirakan tersisa 17. Tahun 1974 jumlahnya masih banyak. Beberapa pesut dibawa ke Jakarta.
Menurunnya populasi pesut disinyalir terkait penangkapan ikan tak ramah lingkungan, seperti menggunakan listrik. Selain menghambat pertumbuhan ikan, pesut kecil terganggu tumbuh kembangnya.
Sadar wisata
Merespons kondisi itu, tahun 2017, sejumlah pemuda Desa Pela menginisiasi ekowisata dengan tujuan menciptakan peluang ekonomi warga sekaligus konservasi lingkungan desa. Itu ditunjang keunikan Desa Pela yang terletak di tepi Danau Semayang. Jika senja tiba, danau terlihat laiknya lautan dengan cahaya keemasan di cakrawala barat.
Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Pela, Alimin, mengatakan, pengembangan pariwisata bisa memacu warga desa berbenah menjaga lingkungan, ikan, dan satwa lain. ”Kalau pesut hilang, ikan semakin sedikit, dan daerah aliran sungai rusak, tidak akan indah dan nyaman lagi Desa Pela. Orang juga tidak mau berkunjung,” kata Alimin, akhir November 2019.
Pokdarwis rutin berkomunikasi dengan pemerintah desa agar dibuat peraturan mendukung konservasi alam di Desa Pela. Pemerintah desa akhirnya membuat larangan penangkapan ikan menggunakan listrik di sepanjang Sungai Pela dan Danau Semayang. Jika melanggar, masyarakat akan menyita alat itu dan membawa ke pemerintah desa.
Sejak 1960-an, Desa Pela terkenal sebagai perkampungan nelayan dan habitat pesut Mahakam. Berbagai komunitas jelajah dan komunitas fotografi kerap berkunjung untuk berwisata. Namun, belum ada pengelolaan yang baik dari desa. Para pelancong itu langsung pulang seusai wisata.
Saat media sosial berkembang pesat seperti sekarang, foto-foto Desa Pela kerap diunggah sehingga Desa Pela makin dikenal. Sayang, tingginya kunjungan membuat sebagian pengunjung membuang sampah sembarangan. ”Setelah pokdarwis terbentuk, kami membuat sosialisasi agar pengunjung menjaga kebersihan juga. Kami juga menyediakan tempat sampah di sepanjang jalan dan di sekitar danau,” kata Alimin.
Kunjungan ke Desa Pela membeludak pada Agustus 2019. Saat itu, Danau Semayang surut sehingga salah satu bagian dasar danau yang ditumbuhi rumput-rumput kecil terlihat. Pengunjung bisa berdiri di sana. Pemandangannya menyerupai lapangan sepak bola luas dikelilingi air danau. Kunjungan ke desa itu mencapai 2.000 orang sebulan. Itu turut mendongkrak perekonomian warga. Perahu ketinting yang biasa untuk menangkap ikan digunakan juga mengantar pengunjung ke danau. Warga juga menyewakan pelampung untuk berenang.
Saat ini, rumah warga pun bisa digunakan untuk menginap para wisatawan. Tarifnya Rp 150.000 per malam, termasuk makan tiga kali. Berbekal koneksi dengan berbagai komunitas jelajah, turis mancanegara pun sering datang. Selain menikmati alam Desa Pela, mereka kerap ikut nelayan menangkap ikan. ”Turis asing atau lokal sering ikut mencari ikan. Mereka belajar dan ingin tahu kehidupan nelayan sini,” kata Suriansyah (50), warga.
Desa Pela mudah dijangkau. Dari pusat pemerintahan Kutai Kartanegara di Kecamatan Tenggarong, perjalanan dimulai jalur darat sekitar 1 jam ke Desa Liang Ulu, Kecamatan Kota Bangun. Setelah itu, perjalanan diteruskan perahu bermesin mengarungi Mahakam dan Sungai Pela 20 menit.
Museum
Tak ingin narasi dan sejarah desa hanya dari mulut ke mulut, pokdarwis membangun museum nelayan. Isinya foto-foto, buku, dan alat tangkap ikan tradisional yang digunakan nelayan di Desa Pela.
Museum itu rumah kayu warga yang tak dihuni. Luasnya sekitar 25 meter persegi. Di dalamnya dipajang berbagai ikan awetan sekitar Sungai Pela dan Danau Semayang. Alat tangkap tradisional dipajang, seperti rawai bantang penangkap ikan haruan dan lukah, juga alat tangkap bambu untuk menangkap biawan dan gabus.
Museum dibangun atas kontribusi warga. Seekor ikan pari air tawar yang tersangkut jaring nelayan diawetkan di museum itu. Informasi terus dikumpulkan agar sejarah desa tercatat, menjadi pelajaran warga menjaga desa.
”Kami ingin mengembangkan wisata yang memiliki nilai edukasi dan pelestarian alam, bukan hanya mendatangkan manfaat ekonomi. Semoga semangat ini terus digaungkan warga desa,” kata Kepala Desa Pela Supyannoor. Luar biasa. (SUCIPTO)