Warga korban banjir bandang dan longsor di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, akan mendapat bantuan berupa uang tunai untuk membangun kembali rumah yang rusak.
Oleh
Kristian Oka Prasetyadi
·4 menit baca
KEPULAUAN SANGIHE, KOMPAS – Warga di beberapa wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, yang diterjang banjir bandang dan longsor, bahu membahu membersihkan timbunan material bawaan banjir. Warga yang rumahnya rusak akan mendapatkan bantuan berupa uang tunai untuk membangun kembali rumah.
Hal ini tampak di Kampung Lebo, Kecamatan Manganitu, Senin (6/1/2020). Puluhan laki-laki dewasa menggali timbunan tanah setinggi sekitar 1 meter yang melanda sebuah rumah. Adapun para ibu membentuk barisan untuk mengoper air dengan ember.
Sebagian warga lainnya mengangkut dan memotong kayu-kayu yang menumpuk. Sementara itu, sebuah ekskavator digunakan untuk memindahkan bebatuan besar yang digelontorkan banjir bandang pada 3 Januari lalu itu.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo, yang mengunjungi Sangihe, Senin, mengatakan, Presiden Joko Widodo menanyakan laju pemulihan dampak bencana di Kepulauan Sangihe saat meninjau longsor di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Lebak, Minggu (5/1). “Menurut saya, ini perintah untuk segera meninjau Sangihe,” katanya, ketika mengunjungi Kampung Lebo.
Doni menilai, gotong royong warga dengan bantuan Pemkab Kepulauan Sangihe, BPBD, TNI, Polri, hingga relawan mampu segera mengatasi dampak banjir bandang. Setidaknya, akses jalan kabupaten yang sebelumnya tertutup longsor telah terbuka kembali.
Jalan kabupaten di Kampung Lebo, yang terletak di antara perbukitan dan pantai barat laut Pulau Sangihe, masih berlumpur dan licin. Tumpukan tanah berlumpur telah ditepikan. Bukit yang ditumbuhi berbagai jenis pohon seperti kelapa, cengkeh, dan pala tampak porak-poranda.
Menurut data BPBD Kepulauan Sangihe, tiga warga tewas dan delapan lainnya luka-luka akibat bencana itu. Semuanya warga Lebo, Manganitu. Selain Kampung Lebo, Kampung Sesiwung, Belengan, dan Barangkalang di Manganitu serta Ulung Peliang di Kecamatan Tamako juga terkena banjir bandang. Total 56 rumah hilang atau rusak berat, 8 rusak sedang, dan 10 rusak ringan di keempat kampung tersebut. Akibatnya, lebih dari 370 warga harus mengungsi.
Tiga jembatan kayu hanyut dan dua jembatan lainnya tertutup. Kerusakan juga mencakup berbagai bangunan umum, seperti gereja dan sekolah, hingga perkebunan warga. Sebuah jalan nasional di Kecamatan Kendahe juga terdampak longsor.
Bupati Kepulauan Sangihe Jabes Gaghana mengatakan, Pulau Sangihe juga pernah diterpa banjir bandang pada 2016 yang menewaskan lima orang. “Tapi, tidak separah sekarang karena dulu (dampaknya) cuma satu kecamatan, Tahuna Barat. Sekarang ada tiga kecamatan,” katanya.
Sementara itu, Kepala BPBD Kepulauan Sangihe Revolius Pudihang mengatakan, nilai kerusakan infrastruktur akibat banjir mencapai Rp 25 miliar. “Dalam jangka pendek, kami akan membersihkan lokasi dan menyalurkan air bersih. Aliran air bersih yang ada terputus karena banjir,” katanya.
Itu adalah dana stimulan, tidak mungkin semuanya untuk membangun rumah. Nanti pembagian uangnya kami serahkan ke daerah.
Terkait hal ini, Kepala BNPB Doni Monardo mengatakan, Presiden Jokowi telah memutuskan korban bencana hidrometeorologi kali ini akan mendapat bantuan berupa uang untuk membangun kembali rumah. Keluarga yang rumahnya rusak berat atau hanyut akan mendapatkan Rp 50 juta, yang rusak sedang Rp 25 juta, dan rusak ringan Rp 10 juta. “Itu adalah dana stimulan, tidak mungkin semuanya untuk membangun rumah. Nanti pembagian uangnya kami serahkan ke daerah,” kata Doni.
Di samping itu, BNPB juga menyerahkan dana siap pakai untuk penanganan dampak banjir bandang sebesar Rp 500 juta kepada Pemkab Kepulauan Sangihe. Dana itu dapat digunakan untuk berbagai jenis kebutuhan, mulai dari pengadaan bahan makanan, tempat tinggal, hingga mengupah pekerja yang membersihkan area banjir.
Cegah bencana
Doni mengatakan, banjir yang melanda tiga kecamatan di Kepulauan Sangihe disebabkan terutama oleh curah hujan yang tinggi. Menurut data Stasiun Meteorologi Naha Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), curah hujan mencapai 52,4 milimeter per hari. Namun, curah hujan di Manganitu, Tamako, dan Kendahe diperkirakan lebih tinggi dari itu.
Di samping itu, Doni mengatakan, banyak anak sungai di ketiga kecamatan yang tersumbat oleh berbagai material, seperti kayu-kayu. “Ketika curah hujan semakin lebat, sungai kecil tak dapat menampung air. Akibatnya, air beserta material dari arah hulu mengalir deras ke arah permukiman," ujarnya.
Doni juga mengkritisi wilayah yang terdampak longsor sebagaimana terlihat di Kampung Lebo. Ia menilai, alihfungsi lahan untuk tanaman perkebunan seperti cengkeh dan pala tidak cukup kuat menahan curah hujan yang sangat besar. Warga pun diimbau tidak menanam tumbuhan hortikultura di lahan dengan kemiringan 30 derajat ke atas.
Sebagai gantinya, Doni meminta masyarakat dan pemerintah menanam tumbuhan dengan akar yang lebih kuat, tetapi juga bernilai ekonomis. “Sagu, sukun, dan aren punya akar yang cukup kuat. Kemiringan lahan di sini tidak bisa diatasi dengan turap maupun beton saja,” kata Doni.
Sementara itu, Jabes Gaghana menyatakan, alih fungsi lahan di Sangihe tidak masif. Akar tumbuhan yang ada dinilainya sudah cukup kuat. “Tapi, saran dari Pak Doni akan kami laksanakan segera,” katanya.