Sedikitnya 30 taruna tewas akibat serangan udara di akademi militer Libya, Sabtu (4/1/2020) malam. Serangan udara juga menyasar pusat perawatan rumah sakit dan sejumlah lokasi lain di sekitar Tripoli.
Oleh
·3 menit baca
TRIPOLI, MINGGU — Sedikitnya 30 taruna tewas akibat serangan udara di akademi militer Libya, Sabtu (4/1/2020) malam. Serangan udara juga menyasar pusat perawatan rumah sakit dan sejumlah lokasi lain di sekitar Tripoli.
Akademi militer yang disasar terletak di Hadada, salah satu kawasan di Tripoli. Akademi militer itu salah satu sasaran serangan udara sepanjang Sabtu. Markas pasukan khusus yang setia kepada Pemerintah Nasional Libya (GNA) juga menjadi sasaran serangan udara selumbari.
GNA, yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menuding Tentara Nasional Libya (LNA) bertanggung jawab atas serangan-serangan itu. Serangan udara oleh LNA terhadap aneka fasilitas yang dikendalikan GNA terus meningkat dalam beberapa waktu terakhir.
Pesawat-pesawat yang diduga dioperasikan LNA dan penyokongnya mengebom rumah sakit dan sejumlah lokasi di Tripoli pada Jumat. Fasilitas perawatan intensif dan perawatan diabetes di salah satu rumah sakit Tripoli hancur akibat serangan udara pada Jumat malam.
Kementerian Dalam Negeri Libya mendesak Dewan Keamanan PBB, Misi PBB untuk Libya (UNSMIL), bersikap atas serangan-serangan itu. DK PBB diminta menetapkan Khalifa Haftar, pemimpin LNA, dan para milisinya sebagai penjahat perang. Dalam pernyataannya, UNSMIL mengingatkan bahwa serangan udara yang menyasar permukiman dan fasilitas sipil bisa dianggap sebagai kejahatan perang. Para penjahat perang tidak akan bisa lolos dari hukuman.
Solusi politik
UNSMIL juga mengecam serangan-serangan itu. UNSMIL mengingatkan, peningkatan ketegangan dan kekuatan bersenjata akan menyulitkan pencarian solusi politik bagi perdamaian Libya. Setelah bertahun-tahun perang saudara, Libya kini menjadi ajang perebutan LNA dan GNA. Sejak April 2019, LNA yang berbasis di Benghazi mencoba merebut Tripoli dari GNA. LNA menggempur Tripoli dan sekitarnya dari darat dan udara. Sampai sekarang, GNA masih bisa mempertahankan Tripoli.
Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Rusia, dan sejumlah negara Eropa dituding menyokong Haftar, mantan Jenderal Libya yang memegang kewarganegaraan Amerika Serikat. Sejumlah pihak menuding Rusia mengerahkan tentara bayaran dan aneka persenjataan untuk menyokong LNA.
Tudingan terkait sokongan kepada LNA antara lain disampaikan Menteri Dalam Negeri Libya versi GNA, Fathi Bashagha. Ia meminta hubungan dengan UEA diputus setelah serangan udara sepanjang akhir pekan lalu. Sementara Perdana Menteri Libya Faiez Serraj menyebut, serangan udara LNA dimungkinkan karena pasokan pesawat dari pihak asing. Ia mempertanyakan sikap komunitas internasional atas serangan LNA terhadap Tripoli.
LNA juga menuding GNA disokong asing. Tudingan itu antara lain dilontarkan setelah kubu pertahanan LNA diserang pesawat nirawak Sabtu lalu. LNA menyebut pesawat itu dibuat Turki. Akibat serangan itu, tiga milisi LNA tewas.
Bersama Qatar, Turki memang mendukung GNA. Pekan lalu, parlemen Turki mengesahkan resolusi pengerahan tentara Turki ke Libya. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan, Ankara tidak akan diam saja dengan pengerahan tentara bayaran untuk menyokong LNA dan Haftar.
Utusan Khusus PBB untuk Libya, Ghassan Salame, menyebut peluang mengakhiri kekerasan di Libya terkikis dengan kehadiran pasukan Turki di negara itu. Ankara diminta mempertimbangkan ulang pengiriman tentara dan aneka persenjataan ke Libya.
Kantor berita Turki, Anadolu, menyebut pasukan darat, udara, dan laut Turki akan segera berangkat ke Libya. Ankara akan mengirimkan kapal perang, kapal selam, dan pesawat tanpa awak ke Libya untuk memperkuat GNA. Pesawat tempur dan pesawat angkut militer juga akan dikerahkan ke sana. Aneka kendaraan tempur darat akan dikapalkan ke Libya dalam waktu dekat.
Pasukan Turki dinyatakan akan melatih prajurit yang setia kepada GNA. Akan ada pula pelayanan kesehatan bagi warga di daerah yang dikendalikan GNA. Secara faktual, kendali utama GNA hanya di sekitar Tripoli. (AP/REUTES/RAZ)