Ribuan warga asing tinggal di Irak dan sekitarnya. Keselamatan mereka dikhawatirkan terancam seiring peningkatan ketegangan selepas pembunuhan Qassem Soleimani.
KAIRO, KOMPAS —Sejumlah negara mempersiapkan evakuasi massal warganya dari Irak dan Iran. Kondisi keamanan selepas pembunuhan Mayor Jenderal Qassem Soleimani jadi alasan utama. Pembunuhan itu juga memicu parlemen Irak meminta Amerika Serikat menarik pasukan dari Irak.
Dalam pernyataan pada Senin (6/1/2020), Kementerian Luar Negeri Korea Selatan mengumumkan rencana evakuasi sedang dibahas. Hampir 1.900 warga Korsel tinggal di Irak dan Iran untuk bekerja, belajar, hingga menjadi pengusaha.
Sementara Panglima Angkatan Bersenjata Filipina Letnan Jenderal Felimon Santos Jr mengatakan, militer Filipina telah mempersiapkan sejumlah rute evakuasi dari Irak, Iran, dan Israel. ”Kami terus memperbaiki rencana untuk mengantisipasi jika terjadi apa-apa,” ujarnya seusai rapat darurat dengan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
Sekutu Duterte, Senator Christopher Lawrence Go, menyebut Duterte meminta militer menyiapkan kapal dan pesawat untuk keperluan evakuasi. Di Irak dan Iran, sedikitnya 7.000 warga Filipina bekerja di sejumlah kedutaan dan perusahaan asing di sana.
AS malah lebih dulu memerintahkan seluruh warga sipilnya keluar dari Irak. Perintah itu dikeluarkan beberapa jam setelah serangan udara AS di Bandara Internasional Baghdad, Jumat (3/1), menewaskan komandan brigade Quds, sayap Garda Revolusi Iran yang mengurus operasi dan intelijen luar negeri, Qassem Soleimani. Serangan udara itu juga menewaskan sejumlah warga Irak, termasuk Jamal Jaafar Ibrahimi alias Abu Mahdi al-Mohandis yang mendirikan Brigade Hezbollah dan kini menjadi wakil komandan organisasi induk aneka kelompok milisi Irak, Hashed al-Shaabi.
Kedutaan Besar Iran di Jakarta menyatakan, pembunuhan Soleimani itu bentuk nyata terorisme oleh negara. Pembunuhan itu bertentangan dengan komitmen internasional AS dalam melawan teror. Sebab, AS malah memusuhi orang-orang yang memerangi teror seperti Soleimani.
”Republik Islam Iran akan mengerahkan seluruh kapasitas politik, hukum, dan internasional untuk membalas teror ini. Iran tidak akan terpancing,” demikian pernyataan itu.
Usir AS
Wartawan Kompas di Kairo, Musthafa Abd Rahman, melaporkan, parlemen Irak mengesahkan resolusi mengusir pasukan asing dari Irak. Kini ada 5.200 pasukan AS dan ratusan prajurit dari sejumlah negara lain di Irak. Dalam sidang darurat pada Minggu malam, 168 dari 326 anggota parlemen Irak mendukung resolusi itu. Lewat resolusi itu, parlemen meminta keberadaan pasukan asing di negara itu diakhiri. Parlemen juga membatalkan permintaan bantuan internasional untuk memerangi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Parlemen merekomendasikan pemerintah Irak melaksanakan hasil sidang darurat parlemen itu.
Sidang itu tidak dihadiri para politisi dari kubu Kurdi dan Sunni. Sementara kelompok Syiah, yang sebelumnya terpecah, kompak mendukung resolusi itu.
Juru bicara militer Irak, Abdul Karim Khalaf, mengungkapkan, Baghdad sedang menyiapkan mekanisme untuk memulai mengeluarkan pasukan AS dari negara itu. Baghdad juga membekukan gerakan darat dan udara pasukan koalisi internasional di Irak.
Pengamat politik Irak, Wasik al-Hashemi, kepada stasiun televisi Aljazeera mengatakan, pemerintah Irak tidak akan mampu mengeluarkan pasukan AS dari Irak. ”Jika AS menjatuhkan sanksi terhadap Irak, negara itu akan lumpuh total yang membuyarkan siapa pun yang berkuasa di Irak. Sekarang saja, Irak menghadapi aksi unjuk rasa yang menumbangkan pemerintah PM Abdul Mahdi, apalagi nanti mendapat sanksi AS,” ujar Al-Hashemi. Karena itu, lanjutnya, pemerintah Irak tidak akan berani mengusir pasukan AS.
Presiden AS Donald Trump memang serta-merta mengancam menjatuhkan sanksi kepada Irak jika negara itu mengusir pasukan AS dari sana. Ia meminta Baghdad membayar kembali miliaran dollar AS yang dihabiskan Washington untuk membangun pangkalan militer AS di Irak.
Langkah Jepang
Di tempat terpisah, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengumumkan pengerahan Pasukan Bela Diri Jepang (JSDF) ke Timur Tengah. Kapal-kapal JSDF akan mengawal kapal-kapal pengangkut muatan tujuan Jepang. Kapal-kapal JSDF juga akan melakukan operasi intelijen di sana.
Seorang pejabat Kementerian Pertahanan Jepang menyebut, operasi intelijen itu akan dijalankan Januari ini. Pada Februari, Jepang akan mengerahkan kapal perusak ke wilayah itu. Walakin, tidak akan ada pengerahan kapal JSDF ke Selat Hormuz yang terletak di pesisir Iran.
Abe beralasan, situasi yang memburuk di Timur Tengah menjadi pemicu rencana itu. ”Ketegangan meningkat di Timur Tengah dan saya sangat khawatir. Peningkatan ketegangan harus dihindari dan saya mengajak semua pihak mengerahkan semua upaya diplomatik untuk meredakan keadaan,” ujarnya.
Pada 2019, Abe pernah menawarkan diri untuk menengahi AS-Iran. Sayangnya, tidak ada hasil positif dari niat Jepang yang merupakan sekutu AS sekaligus dekat dengan Iran itu.
(AP/REUTERS/RAZ)