Indonesia Perlu Percepatan Adopsi 4.0 di Bidang Ekonomi
Indonesia harus segera mengimplementasikan industri 4.0 dalam sistem perekonomian. Transformasi teknologi itu akan menjadi pembuka kunci bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selama ini bertahan di kisaran 5 persen.
Oleh
M Zaid Wahyudi/Karina Isna Irawan/M Paschalia Judtih J/Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Siap tidak siap, Indonesia harus segera mengimplementasikan industri 4.0 dalam sistem perekonomian. Transformasi teknologi itu akan menjadi pembuka kunci bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selama ini bertahan di kisaran 5 persen.
Adopsi teknologi akan meningkatkan produktivitas, efisiensi energi, perencanaan dan penganggaran, dan kualitas produk. Namun, banyak pekerjaan rumah harus segera dilaksanakan, mulai dari meningkatkan kemampuan teknis, menyiapkan sumber daya manusia, hingga menata berbagai regulasi.
Berdasarkan riset Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, transformasi teknologi akan menambah produk domestik bruto (PDB) Indonesia 2,8 triliun dollar AS pada 2040. Pengadopsian teknologi baru juga berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekitar 0,5 persen.
Kepala Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Dudi Hidayat mengatakan, implementasi industri 4.0 yang menekankan pada kecerdasan buatan (AI), robotika, dan otomasi adalah sebuah keniscayaan.
”Implementasi industri 4.0 penting bagi peningkatan daya saing Indonesia,” katanya.
Selain itu, lanjut Dudi, industri 4.0 berpeluang untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antardaerah, khususnya di wilayah terpencil, perbatasan, dan kepulauan. Namun, saat ini, baru sejumlah industri besar, anak perusahaan multinasional, yang sudah mengaplikasikan industri 4.0 di Indonesia.
Sementara, secara keseluruhan, masih banyak industri Indonesia, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang untuk menerapkan industri 1.0 saja belum dilakukan.
Country Economist ADB Yurendra Basnett mengatakan, ada lima hambatan transformasi teknologi di Indonesia, yakni kebutuhan biaya besar, keahlian tenaga kerja rendah, ketidakpastian teknis, resistensi terhadap perubahan pola pikir, dan pembangunan infrastruktur digital yang belum mencukupi.
Di Indonesia, perusahaan manufaktur yang aktif berinovasi dan melakukan riset kurang dari 6 persen. Perusahaan yang tetap melakukan adopsi teknologi baru terbatas sekitar 30 persen, sementara perusahaan berbasis konvensional yang tidak aktif melakukan riset dan inovasi mencapai 54 persen.
”Kesadaran pengadopsian teknologi baru dalam bisnis juga harus ditingkatkan. Tujuannya agar ekosistem riset dan inovasi juga terbentuk,” ujarnya.
Kesadaran pengadopsian teknologi baru dalam bisnis juga harus ditingkatkan. Tujuannya agar ekosistem riset dan inovasi juga terbentuk.
Adopsi teknologi di era Revolusi Industri 4.0 itu dapat meningkatkan kontribusi perindustrian dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Sebaliknya, jika tak ada adopsi teknologi, kontribusi perindustrian terhadap ekonomi dapat turun.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjadja Kamdani berpendapat, di era Revolusi Industri 4.0, pelaku usaha dan industri telah mengadopsi teknologi untuk meningkatkan kecepatan, akurasi, dan luaran (output) produk yang berkualitas.
”Secara tidak langsung, kontribusi terhadap PDB turut meningkat jika output-nya sesuai dengan kebutuhan pasar, baik dari segi jenis, kualitas, maupun kuantitas,” ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2018, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB sebesar 19,82 persen. Pada periode ini, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,17 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara, pada 2011, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB sebesar 24,3 persen. Adapun ekonomi Indonesia pada 2011 tumbuh 6,17 persen.
Kedua perbandingan itu menunjukkan, porsi industri pengolahan terhadap struktur PDB semakin turun dan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut kajian Kementerian Perindustrian, porsi industri pengolahan atau manufaktur terhadap struktur PDB dapat menurun jika tidak dilakukan intervensi. Pada 2030, penurunannya diperkirakan bisa sebesar 16 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah sudah menyusun peta jalan transformasi digital dalam beberapa sektor, yakni perdagangan, infrastruktur, dan ketenagakerjaan. Peraturan perpajakan dan birokrasi berbasis digital juga terus dimatangkan.
Sementara itu, di sektor keuangan, industri jasa keuangan mulai bertransformasi mengikuti poros digitalisasi ekonomi. Perbankan, utamanya, berkolaborasi dengan perusahaan teknologi finansial (tekfin) untuk mengembangkan segmen bisnis dan memperluas inklusi keuangan.
Bank Indonesia (BI) bahkan memperkuat ekosistem sistem pembayaran Indonesia. Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Filianingsih Hendarta mengatakan, sejak tahun lalu, BI telah meluncurkan ekosistem Gerbang Pembayaran Nasional.
Selain itu, BI akan turut mendorong terciptanya ekosistem perbankan terbuka dengan mewujudkan standardisasi antarmuka pemrograman aplikasi (API) dengan menghubungkan perbankan sebagai lembaga keuangan utama dengan pelaku industri keuangan lainnya.