Doni Monardo sudah menegaskan betapa terbatas waktunya sejak baru saja memijakkan kaki di Tahuna, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, Senin (6/1/2020). Namun ternyata ia harus bermalam.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
Doni Monardo sudah menegaskan betapa terbatas waktunya sejak baru saja memijakkan kaki di Tahuna, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, Senin (6/1/2020). Pada sore hari, ia sudah harus bertolak menuju Jawa Tengah. Namun, Tahuna seolah merajuk, memaksanya tinggal lebih lama, setidaknya bermalam.
“Pilot! Kita punya waktu sampai jam berapa?” tanya kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu kepada Kapten Faris Afandi, pilot helikopter Mi-35P TNI AD yang menerbangkannya dari Manado ke Lapangan Gesit, Tahuna. Faris menjawab, antara pukul 11.00 atau 12.00 Wita. Cuaca diperkirakannya masih akan cerah dan bersahabat saat itu.
Jam menunjukkan sekitar pukul 08.50 Wita saat itu. Harus cepat, waktu tak banyak. Doni memutuskan untuk langsung menuju Kampung Lebo, Kecamatan Manganitu, sekitar 25 kilometer dari Tahuna, ibu kota Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Lebo adalah satu dari setidaknya lima kampung yang diterjang banjir bandang, Jumat (3/1) lalu. Dibandingkan daerah kampung lainnya, Lebo bisa dikatakan paling parah karena arus banjir dan longsor yang ditimbulkannya menewaskan tiga warga dan melukai delapan lainnya. Tak ada nyawa yang hilang di kampung lainnya
“Pak Presiden Joko Widodo menanyakan pada saya bagaimana kabar Sangihe. Ini saya artikan sebagai perintah untuk meninjau Sangihe, sehingga saya segera berangkat ke sini,” kata Doni.
Selang sekitar 40 menit, sampailah rombongan di Lebo. Didampingi Bupati Kepulauan Sangihe Jabes Gaghana, Asisten I Sulut Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Edison Humiang, dan Kapolres Kepulauan Sangihe Ajun Komisaris Besar Sudung Napitu, Doni mulai meninjau proses pemulihan pascarbanjir bandang dan longsor.
Dalam waktu sekira 30 menit, Doni tuntas melihat daerah aliran sungai yang rusak, rumah-rumah warga yang tertimbun, hingga area longsoran. “Vegetasi yang kebanyakan cengkeh, pala, dan kelapa harus diganti dengan pohon sukun, aren, atau sagu yang akarnya kuat,” katanya.
Kembali ke Tahuna, rombongan singgah di rumah jabatan bupati. Hari itu bertepatan dengan apel perdana 2020. Jamuan besar telah disiapkan. Sebelum makan, Doni diminta memberikan sambutan dan pidato di depan para aparatur sipil negara (ASN) kabupaten.
Sekitar pukul 11.09 Wita, Doni mengakhiri pidatonya soal komitmen pemerintah dan ASN sebagai pelopor ketanggapan bencana. Doni segera berpamitan setelah secara simbolis memberikan Rp 500 juta dana siap pakai penanganan dampak banjir bandang. Jamuan besar tak disentuhnya.
Mengejar waktu, segera Doni dilarikan kembali ke Lapangan Gesit, tempat helikopter menunggu. Rombongan belasan mobil ikut mengantarnya hingga jarak hanya sekitar 30-40 meter dari helikopter. Semua pejabat dan segenap personel TNI yang hadir berdiri menunggu untuk melambaikan tangan, sementara masyarakat menonton.
Rombongan belasan mobil ikut mengantarnya hingga jarak hanya sekitar 30-40 meter dari helikopter.
Doni, Edison, dan Egy masuk ke helikopter. Baling-baling depan dan belakang sudah berputar. Rumput dan pasir berhamburan ke mana-mana, namun helikopter tak kunjung terbang.
Sesaat kemudian, pukul 11.40 Wita, akhirnya helikopter terangkat. Pasir dan rumput sekitar makin berhamburan. Bupati Jabes yang berlindung di samping sebuah mobil juga membalikkan badan sambil menunduk, menutupi wajah.
Anehnya, helikopter tak kunjung meninggi, malah seperti sebuah lebah besar yang terbang berputar sambil mendengung di atas kepala. Angin dari helikopter menjelma jadi angin ribut buatan.
Tiba-tiba saja suasana menjadi panik. Para pejabat dan ASN yang hadir melarikan diri ke sana kemari. Sebagian menuju sebuah pendopo beratap di salah satu sisi lapangan, sebagian lagi ke perkampungan di sebelah lapangan.
Tiba-tiba saja suasana menjadi panik
Warga yang tadinya membalikkan badan untuk melindungi diri dari angin ribut helikopter akhirnya bisa memandangnya dari tempat berlindung. Ternyata helikopter Mi 35P bernomor registrasi HS-7154 itu terbang rendah dengan sebuah mobil Suzuki Ertiga tersangkut di sayap kiri tempat tangki avtur. Mobil milik TNI AL itu ikut terangkat.
Panik. Semua orang yang masih di lapangan berhamburan. Wakil Bupati Helmud Hontong bahkan terjatuh saat berusaha berlindung.
Sesaat kemudian mobil yang tersangkut di kaca belakangnya itu terjatuh sendiri. Tangki avtur juga jatuh di belakang sebuah mobil lain. Segera pilot membawa helikopter ke titik pendaratan awal, lalu mematikan mesin. Doni, Edison, dan Egy segera keluar dari pesawat.
Jabes dan rombongannya beserta para tentara mendekat, memastikan penumpang helikopter tak terluka. Doni tampak tenang, wajahnya datar saja.
“Ada apa tadi? Gimana kok bisa terjadi?” tanya Doni pada sang pilot dengan tenang. Faris menjawab dengan tenang juga, “Tadi kehilangan power untuk terbang, jadi saya tidak paksakan. Yang penting selamat dulu,” katanya.
Hanya itu penjelasan yang ada. Angin di sekitar lapangan, yang terletak di sekeliling perbukitan, tidak bertiup kencang saat itu.
Mengetahui kehadiran wartawan di sekeliling, beberapa penerbang Angkatan Darat sigap melarang dokumentasi. “Hei, jangan difoto! Sini hapus dulu, daripada saya banting kameramu!” seru seorang penerbang.
Insiden itu menyebabkan kerusakan minor pada sayap dan ekor helikopter. Tangki avturnya yang berbentuk seperti roket pecah dan bocor. Korban lainnya adalah sebuah Toyota Rush yang rusak ringan dan Suzuki Ertiga yang rusak parah. Bumper mobil lepas, kaca belakang pecah, dan pintu bagasi ringsek.
Jadi wisatawan
Diputuskan saat itu juga, Doni batal pulang siang itu ke Manado. Ia akan menginap semalam di Sangihe. “Alhamdulillah, aman. Saya diselamatkan doanya Pak Bupati Jabes. Memang, tidak boleh pergi dulu sebelum menginap,” kata Doni yang mengaku belum tidur sejak malam sebelumnya.
Jabes pun segera mengajak Doni kembali ke rumah jabatannya. Hidangan yang tadi tak tersentuh, kini disantap Kepala BNPB itu. Sebuah kamar juga disiapkan baginya untuk beristirahat. Jabes juga langsung menyuruh para pegawainya untuk membelikan baju dan berbagai alat mandi untuk Doni, Edison, dan Egy.
“Nanti jam 16.00 Wita kita akan keliling, tapi sebagai turis saja,” kata Jabes.
Sore itu, Doni, Edison, dan rombongan diajak ke Puncak Alpha, sebuah kafe di atas puncak berkabut dengan pemandangan kota Tahuna di tepi laut. Sekalipun tak bisa lepas dari gawainya, Doni terlihat menikmati, apalagi saat pisang goreng dengan sambal roa dihidangkan.
“Bagus, seperti negeri di atas awan,” kata Doni, mengacu pada Lolai di Toraja Utara, Sulawesi Selatan.
Doni dijadwalkan kembali ke Manado, Selasa (7/1) dengan penerbangan komersial Wings Air pada 08.15 Wita, satu-satunya pesawat yang singgah di Bandara Naha, Tahuna dalam sehari. Namun, hujan deras melanda Tahuna sejak Selasa pagi.
Vadiel, Staf Seksi Pemeliharaan Logistik dan Peralatan BNPB yang mendampingi Doni, mengatakan, Doni belum berangkat dari rumah jabatan bupati hingga 08.46 Wita. “Pesawat dari Manado belum berangkat ke Tahuna karena cuaca buruk. Nanti Pak Doni berangkat ke Bandara Naha kalau pesawat sudah take off dari Manado,” katanya.
Keterburu-buruan Doni malah berujung molor sampai sehari penuh. Tahuna ternyata belum ingin Doni Monardo cepat pulang.