Naturalisasi dan Normalisasi, Haruskah Dipertentangkan?
Solusi penanganan banjir dengan konsep normalisasi dan naturalisasi sungai disebut ampuh mengendalikan banjir. Bisa dibilang, keduanya beda prinsip tetapi satu tujuan.
Oleh
M Puteri Rosalina
·4 menit baca
Jarak waktu yang terentang dan perkembangan teknologi rupanya tidak juga mengubah perilaku dan cara pandang terhadap sungai. Sungai dianggap ”tempat sampah”, selain sebagai area yang bisa seenaknya diokupasi untuk permukiman, kawasan komersial, hingga industri.
Ego sektoral membuat para pihak lengah terhadap fokus melindungi masyarakat melalui upaya pengendalian banjir yang maksimal. Bencana banjir (dan longsor) di Jabodetabek dan Lebak awal 2020 menyebabkan 67 orang meninggal dan puluhan ribu jiwa mengungsi menurut data BNPB hingga Senin (6/1/2019).
Tentu upaya untuk mencari solusi penanganan banjir bukan tidak terlihat. Saat ini, dua konsep, yakni normalisasi dan naturalisasi sungai, disebut ampuh mengendalikan banjir. Bisa dibilang, keduanya beda prinsip tetapi satu tujuan. Keduanya bertujuan meningkatkan kapasitas aliran sungai dan mengembalikan lebar sungai, meski dengan cara pengelolaan sungai yang berbeda.
Kelebihan dan kekurangan masing-masing penting sebagai bahan pertimbangan untuk diterapkan di Jabodetabek. Bedanya, normalisasi mengembalikan lebar sungai dengan memperkuat dinding sungai dengan sheet pile. Peningkatan kapasitas aliran dilakukan dengan mengeruk sedimentasi sungai secara rutin.
Sungai dianggap ”tempat sampah"
Bantaran sungai selebar 9 meter di kanan dan kiri sungai akan menjadi jalan inspeksi yang berfungsi sebagai lalu lintas kendaraan dan jalur kendaraan ekskavator untuk mengeruk sedimentasi sungai.
Adapun naturalisasi mengembalikan lebar sungai dengan membiarkan dinding sungai tetap alami tanpa perkerasan beton. Bantaran sungai menjadi lahan hijau yang ditanami tanaman ekosistem sungai. Jika air sungai meluap, air akan melimpas ke kanan dan kiri bantaran yang merupakan dataran banjir alami.
Naturalisasi mensyaratkan tidak adanya lahan terbangun, seperti kawasan permukiman, industri, dan komersial yang mengokupasi wilayah sungai. Jika ada, naturalisasi tidak bisa dilakukan karena lahan terbangun akan mengganggu proses restorasi sungai dan kembalinya ekosistem alami sungai. Selain itu, akan merugikan aktivitas manusia yang ada di dataran banjir.
Garis sempadan sungai ditetapkan 10-30 meter dari bibir sungai. Ruang di kiri dan kanan palung sungai berfungsi sebagai penyangga antara ekosistem sungai dan daratan agar fungsi sungai serta kegiatan manusia tidak terganggu. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengembalikan lebar sungai. Di Jakarta, mengembalikan lebar sungai menjadi pekerjaan rumah tersendiri karena lebar sungai semula sekitar 50 meter telah menciut menjadi 10-15 meter. Penyempitan akibat bantaran sungai jadi lahan terbangun.
Normalisasi
Istilah normalisasi ”naik daun” sejak penertiban kawasan Kampung Pulo pada 2016. Saat itu 300 warga di bantaran Sungai Ciliwung direlokasi ke Rumah Susun Jatinegara Barat, Cipinang Besar Selatan, dan Pulo Gebang. Ini bagian dari upaya pengendalian banjir Jakarta yang dikerjakan Pemprov DKI bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Jauh sebelum itu, normalisasi sungai dilakukan pemerintah kolonial Belanda. Sejak abad ke-16, Sungai Ciliwung yang disebut Sungai Besar sudah ”diiris-iris” menjadi kanal untuk menyediakan alur pelayaran, alur pembuangan air, dan sarana pertahanan kota. Pada abad berikutnya mulai dibangun pintu air di beberapa sungai untuk mengendalikan arus banjir dari wilayah selatan.
Sistem koreksi sungai yang terkenal adalah rencana Van Breen (1920) untuk membuat Terusan Kanal Barat sebagai pengendali banjir, pengadaan air, dan perbaikan sungai. Pembangunan terusan ini bermula di Manggarai yang jadi ”pecahan” Sungai Ciliwung. Tak hanya Van Breen yang menggagas normalisasi sungai.
Abad ke-19, sejumlah ahli tata air Belanda mengusulkan hal serupa berupa sodetan atau percabangan sungai di suatu bagian badan sungai yang dialirkan ke kanal baru. Sodetan yang diusulkan lokasinya di antara Sungai Ciliwung dan Cisadane serta Sungai Ciliwung-Kanal Timur. Di antara dua usulan itu, hanya sodetan Sungai Ciliwung-Kanal Timur yang dibangun.
Normalisasi sungai sebenarnya metode menyediakan alur sungai dengan kapasitas mencukupi untuk menyalurkan air, terutama air yang berlebih saat curah hujan tinggi, seperti disebutkan dalam buku Pembangunan Sungai dan Dampak Restorasi Sungai karya Agus Maryono (2003) yang juga dosen Teknik Sipil UGM.
Dalam Peraturan Daerah DKI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang serta Peraturan Zonasi; dan Perda DKI Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, normalisasi sungai jadi bagian dari rencana prasarana drainase untuk mengalirkan air hujan. Normalisasi, menurut rencana, dilakukan di Kecamatan Pesanggrahan dan Cakung.
Naturalisasi
Setelah DKI berganti pemerintahan, penataan sungai memakai naturalisasi. Naturalisasi yang dimaksud adalah pembangunan fisik menggunakan material alami dan ramah lingkungan serta prosesnya dilaksanakan secara manusiawi.
Dalam Peraturan Gubernur DKI No 31/2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi, naturalisasi merupakan cara mengelola prasarana sumber daya air melalui pengembangan ruang terbuka hijau (RTH) dengan tetap memperhatikan kapasitas tampungan, fungsi pengendalian banjir, dan konservasi.
Konsep tersebut terdiri dari aspek penataan RTH, penyediaan sarana-prasarana umum, pengelolaan sumber daya air dan sanitasi, ekologi lingkungan, pengelolaan sampah dan pemantauan kualitas air, serta pemberdayaan masyarakat.
Konsep normalisasi dan naturalisasi bisa sama-sama diterapkan di sebuah aliran sungai, bergantung pada lokasi, yakni di wilayah hulu-tengah atau hilir sungai. Yang paling penting, masyarakat hanya ingin terbebas dari banjir, apa pun konsep pengendalian banjir yang dipilih. Jakarta yang dilintasi 13 sungai dengan 40 persen wilayahnya berada di bawah permukaan laut mengharuskan semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat, ikut menangani banjir. (Litbang Kompas)