Pemerintah diminta serius menanggulangi wabah demam babi afrika (ASF) yang sudah lima bulan menyebar di Sumatera Utara.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS – Pemerintah diminta serius menanggulangi wabah demam babi afrika (ASF) yang sudah lima bulan menyebar di Sumatera Utara. Sejak deklarasi ASF oleh Kementerian Pertanian, kondisi peternak justru terpuruk karena tidak diikuti penanganan memadai. Peternak kini tidak bisa menjual ternaknya, sementara langkah depopulasi dan pemberian kompensasi tidak ada kejelasan.
“Pemerintah jangan hanya serius di kata-kata saja karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Sudah banyak anak-anak peternak yang putus kuliah dan putus sekolah karena wabah ini, tetapi kepedulian pemerintah belum kelihatan,” kata Ketua Komisi B DPRD Sumatera Utara Viktor Silaen, dalam rapat dengar pendapat, di Medan, Selasa (7/1/2020).
Seharusnya anggaran sudah disiapkan sejak awal.
Rapat itu dihadiri Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut Azhar Harahap, Kepala Balai Veteriner Medan Agustia, Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Belawan Hasrul, dan Ketua Asosiasi Peternak Babi Sumut Hendri Duin Sembiring.
Viktor menekankan, pemerintah tidak bisa hanya berlindung di balik kekurangan anggaran. Justru, pemerintah harus menyiapkan anggaran yang memadai untuk penanggulangan ASF, baik dari kabupaten, provinsi, maupun kementerian. “Wabah sudah menyebar sejak September dan telah dideklarasikan Kementerian Pertanian pada Desember. Seharusnya anggaran sudah disiapkan sejak awal,” kata Viktor.
Ketua Asosiasi Peternak Babi Sumut Hendri Duin mengatakan, hal yang dibutuhkan peternak saat ini adalah penjelasan apakah akan melakukan depopulasi dan memberi kompensasi. Depopulasi penting untuk memutus rantai penyebaran virus, tetapi harus diikuti pemberian kompensasi ternak yang dimusnahkan.
“Peternak hingga kini juga tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap ternak mati, ternak terjangkit, ternak sehat, dan kandang yang masih bebas ASF. Kami dilepas sendirian menghadapi masalah ini,” katanya.
Hendri mengatakan, perekonomian peternak babi di Sumut semakin terpuruk sejak deklarasi ASF karena tidak diikuti dengan penanggulangan. Ternak babi dari Sumut kini tidak diterima lagi di provinsi lain maupun di luar negeri. “Ini terjadi karena Kementerian Pertanian hanya melakukan deklarasi, tetapi tidak melakukan penanganan lanjutan apa pun,” ujarnya.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut Azhar Harahap mengatakan, kendala utama mereka dalam penanggulangan ASF adalah tidak adanya anggaran. “Kami minta agar ada rapat dengar pendapat lanjutan dengan Komisi IV DPR agar Kementerian Pertanian bisa mengalokasikan anggaran yang memadai untuk penanganan ASF,” ujarnya.
Azhar mengatakan, Pemprov Sumut pun kini menyiapkan anggaran tanggap darurat, tetapi masih menunggu penetapan bencana dari Gubernur Sumut Edy Rahmayadi.
Menurut Azhar, peternak kecil maupun besar kini semakin terpuruk sejak deklarasi ASF karena babi dari Sumut tidak diterima pasar dalam negeri maupun luar negeri. “Pemprov DKI Jakarta, misalnya, tidak menerima lagi babi dari Sumut. Padahal, 60 persen produksi babi Sumut diserap di Jakarta,” katanya.
Azhar mengatakan, meskipun tidak terjangkit ASF, peternakan babi skala perusahaan pun kini ikut terpuruk. Populasi di kandang meningkat dua kali lipat, tetapi tidak bisa dijual.
Untuk mengatasi masalah tersebut, kata Azhar, pemerintah berencana mengeluarkan sertifikat bebas ASF terhadap kandang-kandang tertentu agar bisa dijual ke luar daerah. Mereka pun berkoordinasi dengan Pemprov DKI Jakarta agar kandang bersertifikat bisa diterima di Jakarta.