Soal Pelanggaran China di Natuna, Pemerintah Jangan Mundur Jaga Kedaulatan
Majelis Permusyawaratan Rakyat meminta pemerintah tetap tegas menghadapi insiden pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, oleh kapal nelayan dan Pemerintah China.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Permusyawaratan Rakyat meminta pemerintah tetap tegas menghadapi insiden pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, oleh kapal nelayan dan Pemerintah China. Peningkatan kewaspadaan dengan memperkuat armada dan pasukan penjaga pantai juga diperlukan karena pelanggaran yang mengancam kedaulatan Republik Indonesia itu sudah berulang kali dilakukan.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (7/1/2019), mengapresiasi sikap tegas dan tanpa kompromi yang ditunjukkan Presiden Joko Widodo dan para menteri dalam menjaga kedaulatan negara. Menurut dia, pemerintah tak boleh mundur meski ketegasan tersebut bisa berimplikasi pada berbagai sektor, termasuk investasi.
”Jika ada implikasinya terhadap ekonomi, itu merupakan risiko dari upaya menjaga kedaulatan,” ujarnya.
Masalah serupa, kata Syarief, pernah dihadapi Pemerintah Indonesia pada 2006. Saat itu, kedaulatan Indonesia juga terancam dalam kasus Ambalat. Namun, pemerintah mampu menunjukkan ketegasan dalam melawan Pemerintah Malaysia dan mempertahankan kedaulatan negara.
Kini, ancaman kedaulatan muncul seiring dengan pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Luat Natuna Utara, Kepulauan Riau, oleh kapal nelayan dan Pemerintah China yang mencari ikan di ZEE Indonesia pada Desember 2019. Pada Minggu (5/1/2020), kapal-kapal itu masih berada di sekitar 130 mil (240 kilometer) sebelah timur Ranai, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau.
ZEE mencakup perairan yang ditarik sepanjang 200 mil dari garis pantai terluar. Di kawasan tersebut, Indonesia memiliki hak berdaulat.
Sumber daya alam yang berada di dalam ZEE ditujukan secara eksklusif untuk diolah negara pantai pemilik ZEE. Adapun sepanjang 12 mil ditarik dari garis pantai terluar disebut sebagai laut teritorial atau wilayah kedaulatan negara. Kedaulatan perairan RI telah diakui dan ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982.
Untuk menghadapi pelanggaran kapal nelayan dan Pemerintah China, lima kapal perang RI (KRI) telah dikerahkan. Mereka diminta meninggalkan Laut Natuna Utara.
Syarief mengusulkan agar pemerintah menjajaki kemungkinan diplomasi ke Mahkamah Internasional. Sebab, ada kecenderungan China melakukan pelanggaran serupa ke negara lain, contohnya masalah dengan Filipina. Selain itu, masalah di Laut China Selatan juga melibatkan negara lain, seperti Vietnam dan Malaysia.
Berulang
Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, pelanggaran ZEE Indonesia oleh China bukan pertama kali dilakukan. Pelanggaran serupa juga pernah terjadi pada 2016.
Saat itu, kapal nelayan China juga masuk ke perairan Natuna secara ilegal untuk mencuri ikan. Upaya penangkapan kapal yang dilakukan TNI pun dihalangi kapal penjaga pantai (Coast Guard) China.
”Modus yang sama dipraktikkan lagi pada Desember 2019. Puluhan kapal ikan China masuk perairan Natuna dikawal pasukan penjaga pantai China plus kapal perang fregat untuk kegiatan IUUF (illegal, unreported, and unregulated fishing). Jadi, semacam rencana bersama mencuri ikan yang diketahui dan melibatkan organ resmi Pemerintah China,” kata Bambang.
Untuk mempertahankan kedaulatan RI atas Laut Natuna Utara, tidak diperlukan lagi perundingan atau negosiasi dengan pihak mana saja, termasuk China
Bahkan, kata Bambang, China juga menolak keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional tentang Laut China Selatan pada 2016. Dalam putusan itu, disebutkan bahwa klaim China mengenai sembilan garis putus-putus di Laut Natuna sebagai batas teritorial Laut China tidak memiliki dasar historis.
”Berpijak pada UNCLOS 1982 yang legalitasnya diperkuat oleh keputusan Arbitrase Internasional tahun 2016 itu setapak pun Indonesia tidak boleh mundur dari Laut Natuna Utara. Dan, untuk mempertahankan kedaulatan RI atas Laut Natuna Utara, tidak diperlukan lagi perundingan atau negosiasi dengan pihak mana saja, termasuk China,” ujar Bambang.
Berkaca dari pengulangan pelanggaran yang pernah dilakukan China, Bambang memprediksi upaya serupa masih akan terus dilakukan. Masih ada nada aksi provokasi terhadap pasukan TNI yang bertugas agar pelanggaran hukum internasional justru dilakukan Indonesia.
Oleh karena itu, kewaspadaan harus terus ditingkatkan. ”Penguatan armada penjaga pantai di perairan Natuna juga menjadi sangat relevan,” katanya.