Usulan agar Natuna Menjadi Provinsi Khusus Tak Relevan dalam Pengamanan Laut
Desakan agar pemerintah membuka keran pemekaran daerah kembali hadir. Salah satunya dari Bupati Natuna. Namun, usulan itu dinilai tidak relevan dengan alasan pengajuannya, yaitu terkait pengamanan wilayah Laut Natuna.
NATUNA, KOMPAS — Desakan agar pemerintah membuka keran pemekaran daerah kembali hadir, salah satunya dari Bupati Natuna, Kepulauan Riau, Abdul Hamid Rizal. Namun, usulan itu dinilai tidak relevan dengan alasan pengajuannya, yaitu terkait pengamanan wilayah Laut Natuna. Pemerintah pun menegaskan, belum ada keputusan politik untuk menghentikan moratorium pemekaran daerah yang diterapkan sejak 2014.
Usulan pemekaran Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, disampaikan Abdul Hamid Rizal di Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin, Natuna, Kepulauan Riau, Selasa (7/1/2020).
Hamid menilai, guna menjaga wilayah laut Kepulauan Natuna dengan maksimal, diperlukan peningkatan status pemerintahan di Kabupaten Natuna. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pengelolaan laut tidak lagi dimiliki bupati. Padahal, menurut dia, hampir sebagian besar wilayah Kabupaten Natuna adalah area laut.
”Jadi, kalau kita tidak memiliki kewenangan laut, ini menjadi keterbatasan dalam mengawal keamanan laut kita,” kata Hamid.
Hamid juga menilai, moratorium pemekaran wilayah yang diterapkan pemerintah pusat sejak 2015 tidak berlaku untuk Natuna karena lokasinya yang strategis dan berpengaruh terhadap kedaulatan Indonesia. Dalam Pasal 31 Ayat 4 dan Pasal 49 memang disebutkan bahwa pembentukan daerah berdasarkan kepentingan strategis nasional berlaku untuk daerah perbatasan, pulau-pulau terluar untuk menjaga kepetingan dan kedaulatan Indonesia.
Secara terpisah, Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung menilai, pemekaran daerah tidak terkait langsung dengan kedaulatan negara. Oleh karena itu, usulan untuk memekarkan Kabupaten Natuna menjadi provinsi khusus sebagai salah satu langkah penyelesaian persoalan di Laut Natuna dinilai tidak relevan.
”Usulan pemekaran daerah dan upaya menjaga kedaulatan itu urusan yang berbeda. Kedaulatan negara bukan hanya tanggung jawab pemerintah daerah, tetapi juga pemerintah pusat dan kita semua,” kata Doli.
Ia menambahkan, usulan itu juga hadir tiba-tiba. Sebelumnya, ide tersebut belum pernah disampaikan, baik ke Komisi II maupun kepada pemerintah.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, belum ada pertimbangan untuk menindaklanjuti usulan Bupati Natuna. Hingga saat ini, pemerintah masih berpedoman pada moratorium pemekaran daerah yang dilaksanakan sejak periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 2014.
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Bahtiar membenarkan, moratorium pemekaran daerah masih akan dilaksanakan. ”Kami menghargai aspirasi masyarakat, tetapi hingga saat ini kebijakan pemerintah masih akan melaksanakan moratorium,” kata Bahtiar.
Usulan pemekaran daerah dan upaya menjaga kedaulatan itu urusan yang berbeda. Kedaulatan negara bukan hanya tanggung jawab pemerintah daerah, melainkan juga pemerintah pusat dan kita semua.
Keinginan untuk memekarkan daerah bukan hanya datang dari Kabupaten Natuna. Sejak tiga bulan terakhir, beberapa daerah di Papua dan Sumatera Utara mengajukan pemekaran ke Komisi II. Selain itu, ada pula 315 usulan pemekaran daerah yang masuk melalui Kemendagri.
Beda pandangan
Bahtiar mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Kemendagri bertanggung jawab untuk menerbitkan dua peraturan pemerintah (PP) terkait pemekaran. Kedua aturan tersebut adalah PP tentang Desain Besar Penataan Daerah serta PP tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Namun, hingga saat ini keduanya belum tuntas, apalagi diundangkan.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik mengatakan, draf PP tersebut sebenarnya sudah selesai disusun. Namun, keduanya belum diterbitkan karena belum ada keputusan politik Presiden Joko Widodo untuk menghentikan moratorium. Adapun penerbitan kedua PP itu sekaligus menandakan dibukanya kembali pemekaran daerah.
Berbeda dengan pemerintah yang masih ingin memertahankan moratorium, DPR justru mendorong agar kedua PP terkait pemekaran daerah segera diterbitkan. Menurut Doli, kedua PP itu merupakan kunci untuk mengevaluasi otonomi pelaksanaan otonomi daerah selama ini. Sebab, regulasi tersebut tidak hanya mengatur perihal pembentukan daerah otonom baru (DOB), tetapi juga penggabungan dan penyesuaian terhadap DOB yang sudah terbentuk.
Evaluasi komprehensif dibutuhkan untuk memeriksa ketercapaian tujuan otonomi daerah pada sejumlah DOB yang sudah terbentuk. “Tahapannya memang begitu, kita harus menerbitkan PP tentang Desain Besar Penataan daerah dan PP tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, sebelum mengevaluasi DOB yang sudah terbentuk,” ujar Doli.
Menurut rencana, pimpinan Komisi II akan mengadakan rapat terbatas dengan Menteri Dalam Negeri pekan ini. Agenda utama pertemuan tersebut adalah membahas ihwal pemekaran Papua, yang tidak bisa dilepaskan dari gagasan pencabutan moratorium.
Sekalipun keputusan tentang pemekaran daerah merupakan kewenangan penuh pemerintah, DPR tidak memungkiri akan ikut memberikan pandangan. ”Mungkin nanti kami juga akan sampai pada pembahasan sikap bersama antara DPR dan pemerintah mengenai pemekaran,” kata Doli.