Aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan tetap kongruen dengan regulasi utamanya.
Oleh
NINA SUSILO/M IKHSAN MAHAR/RIANA AFIFAH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan tetap kongruen dengan regulasi utamanya. Kesesuaian ini terkait dengan konten ataupun bentuk aturan turunan dari UU KPK hasil revisi itu.
Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyampaikan, Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK yang diajukan Kementerian Hukum dan HAM belum memperoleh izin prakarsa dari Presiden Joko Widodo.
Karena itu, bentuknya juga belum diputuskan apakah perpres atau peraturan KPK. Sementara itu, aturan turunan UU KPK terkait manajemen kepegawaian KPK akan diwujudkan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) yang izin prakarsanya sudah disetujui Presiden Jokowi saat diajukan oleh KPK.
Terkait Perpres Organisasi dan Tata Kerja KPK yang diajukan Kemenkumham, masyarakat sipil mengingatkan, hal itu tidak tepat.
”Tidak dengan peraturan presiden. Jadi, jika memang belum ada pembahasan lebih lanjut, yang tepat tetap seperti yang didelegasikan dalam undang-undang.”
Oce Madril, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, menuturkan, mengacu pada Pasal 25 Ayat (2) dan Pasal 26 UU No 30/2002 yang tak ikut diubah dalam UU No 19/2019 disebutkan, ketentuan mengenai prosedur tata kerja KPK diatur lebih lanjut dengan keputusan KPK.
”Tidak dengan peraturan presiden. Jadi, jika memang belum ada pembahasan lebih lanjut, yang tepat tetap seperti yang didelegasikan dalam undang-undang,” kata Oce, Selasa (7/1/2020), saat dihubungi dari Jakarta.
KPK akan terlibat
Ditemui di Istana Negara, Jakarta, Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan sudah diberi tahu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi terkait isi aturan turunan UU No 19/2019. Namun, belum ada pembahasan lebih jauh di tingkat kementerian.
Sejauh ini, menurut Firli, yang sudah ada ialah perpres mengenai Dewan Pengawas. Ke depan, katanya, masih akan dibicarakan aturan turunan UU No 19/2019 tentang status pegawai KPK, hak keuangan, dan fasilitas pegawai KPK. ”Pembahasan mengenai rancangan perpres adalah tugas bersama. Kami akan bahas bersama, dong,” ujarnya.
Ia menambahkan, pihaknya telah berkunjung ke Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan serta Kementerian Keuangan. Di Kemenkeu dibahas mengenai masa transisi status pegawai KPK selama dua tahun dan disampaikan bahwa hak keuangan pegawai KPK yang ada akan tetap berlaku sampai ada putusan lebih lanjut. Adapun di Kemenko Polhukam dibahas sinergi pemberantasan korupsi.
Izin prakarsa yang sudah dikeluarkan Presiden tetap menjadi acuan untuk membahas Rancangan PP tentang Manajemen Kepegawaian KPK.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri kembali menyampaikan agar izin prakarsa yang sudah dikeluarkan Presiden tetap menjadi acuan untuk membahas Rancangan PP tentang Manajemen Kepegawaian KPK. Hal-hal terkait alih status pegawai, teknis organisasi dan jabatan, pengadaan pegawai KPK, manajemen karier, manajemen kinerja, kompensasi, dan ketentuan lain juga sudah disusun dalam rancangan itu.
Melalui rancangan PP ini, pegawai KPK yang statusnya sudah tetap dapat langsung dikonversi sebagai aparatur sipil negara, sedangkan pegawai tidak tetap disyaratkan mengikuti tes sesuai aturan yang ada. Karena itu, dia mengingatkan, tidak diperlukan lagi rancangan PP terpisah terkait alih status pegawai KPK.
Saat dikonfirmasi terkait informasi adanya Rancangan PP Alih Status Pegawai KPK yang terpisah dari manajemen kepegawaian KPK, Kepala Biro Humas Kemenpan dan RB Andi Rahadian menyampaikan akan memeriksa terlebih dahulu hal itu.