BPK Temukan Kejahatan Korporasi pada Pengelolaan Jiwasraya
BPK menemukan kejahatan korporasi dalam pengelolaan PT Asuransi Jiwasraya yang berakibat pada kerugian secara internal dan kerugian negara. Kejahatan itu diduga melibatkan direksi, general manager, dan pihak luar.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Investigasi Badan Pemeriksa Keuangan terhadap PT Asuransi Jiwasraya (Persero) pada 2018 menemukan kejahatan korporasi dalam pengelolaan perusahaan yang berakibat pada kerugian secara internal dan kerugian negara. Kejahatan tersebut diduga melibatkan jajaran direksi, general manager, dan pihak lain di luar perusahaan.
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna, Rabu (8/1/2020), di Jakarta, menjelaskan, pihaknya telah dua kali memeriksa PT Asuransi Jiwasraya (Persero) sepanjang 2010-2019.
Pertama, pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang dilakukan pada 2016, kemudian pemeriksaan investigatif dilaksanakan sejak 2018. Keduanya dilakukan atas dasar dugaan korupsi yang dilaporkan pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Kejaksaan Agung.
”Investigasi yang kami lakukan pada 2018 menemukan, sejak 2006 laba yang dibukukan Jiwasraya adalah laba semu yang merupakan hasil rekayasa akuntansi (window dressing),” kata Agung dalam jumpa pers.
Jumpa pers dihadiri pula oleh Wakil Ketua BPK Agus Joko Pramono, anggota I BPK Hendra Susanto dan anggota VII BPK Daniel Lumban Tobing. Isi dari pemeriksaan BPK mengungkapkan ada 16 temuan terkait megaskandal PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Pada 2017, Jiwasraya membukukan laba sebesar Rp 2,4 triliun. Namun, laba tersebut tidak wajar karena terdapat kecurangan pencadangan sebesar Rp 7,7 triliun pada laporan keuangan. ”Jika pencadangan dilakukan sesuai ketentuan, semestinya perusahaan sudah merugi,” ujar Agung.
Kerugian terjadi pada 2018. Saat itu, tercatat Jiwasraya merugi sebesar Rp 15,3 triliun. Kerugian terjadi kembali pada tahun berikutnya, per September 2019, Jiwasraya tercatat merugi sebesar Rp 13,7 triliun.
Bahkan, keuangan perusahaan terus memburuk. ”Pada November 2019, Jiwasraya diperkirakan mengalami ekuitas negatif sebesar Rp 27,2 triliun,” kata Agung.
Agung menambahkan, kerugian tersebut terjadi karena kesalahan tata kelola dan sejumlah kecurangan terkait pengelolaan produk simpanan Saving Plan. Sejak 2015, misalnya, produk tersebut dijual dengan cost of fund yang sangat tinggi, melebihi bunga deposito dan obligasi. ”Pada penjualan Saving Plan, kami juga menemukan beberapa penyimpangan,” ucapnya.
Pertama, penunjukan pejabat kepala pusat bancassurance yang tidak sesuai ketentuan. Kedua, pengajuan cost of fund langsung dilakukan oleh direksi tanpa melibatkan divisi terkait dan tidak didasarkan pada dokumen serta kajian perhitungan cost of fund.
Ketiga, penetapan cost of fund Saving Plan tidak mempertimbangkan kemampuan investasi perusahaan untuk menghasilkan pendapatan yang diperlukan guna menutup biaya atas produk asuransi yang dijual. ”Dalam penjualan Saving Plan, diduga juga ada konflik kepentingan karena pihak-pihak terkait di Jiwasraya mendapatkan fee atas penjualan produk tersebut,” ucap Agung.
Investasi bermasalah
Agung menambahkan, dana yang dihimpun dari Saving Plan kemudian diinvestasikan pada instrumen saham dan reksa dana berkualitas rendah dan tidak sesuai ketentuan. Pada investasi saham, misalnya, analisis pembelian dan penjualan dilakukan secara proforma dan tidak didasarkan pada data yang valid.
Jual beli saham dilakukan dalam waktu berdekatan untuk menghindari pencatatan yang terindikasi rekayasa akuntansi. Pihak yang terlibat dalam jual beli saham itu diduga merupakan pihak yang bisa diajak bernegosiasi agar bisa mendapatkan harga yang diinginkan.
Dari sejumlah penyimpangan pada investasi saham, kerugian perusahaan ditaksir sekitar Rp 4 triliun. ”Pihak yang terkait berasal dari internal Jiwasraya pada tingkat direksi, general manager, dan ada juga yang dari luar perusahaan,” kata Agung.
Ia menambahkan, pola serupa diterapkan pada investasi reksa dana. BPK menemukan, analisis manajer investasi (MI) Jiwasraya dalam rencana pembelian reksa dana juga dilakukan secara proforma. Analisis itu hanya dibuat agar seolah-olah MI berkinerja baik sehingga layak untuk dipilih dalam penempatan dana investasi.
Reksa dana yang dipilih juga memiliki jaminan (underlying) saham dan medium term notes (MTN) berkualitas rendah. Transaksi saham dan MTN itu dilakukan dengan pihak yang terafiliasi dengan Jiwasraya sehingga harga yang digunakan berpotensi merupakan harga rekayasa.
Akibatnya, terjadi penurunan nilai saham pada investasi reksa dana Jiwasraya. Kerugian sementara dari penurunan nilai itu mencapai Rp 6,4 triliun.
Melanggar hukum
Selain pemeriksaan keuangan oleh BPK, dugaan korupsi Jiwasraya disidik oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Menurut Agung, hasil penyidikan sementara dipaparkan Kejagung kepada BPK pada 30 Desember 2019.
”Dari pemaparan itu, BPK menyimpulkan, terjadi penyimpangan atau perbuatan melawan hukum dari pengumpulan dana dari produk Saving Plan ataupun penempatan investasi dalam bentuk saham dan reksa dana yang mengakibatkan adanya kerugian negara,” ujar Agung.
Sejauh ini, potensi kerugian negara ditaksir sebesar Rp 13,7 triliun. Akan tetapi, nilai tersebut belum final. ”BPK masih akan menghitung dan menetapkan nilai kerugian negara dalam dua bulan ke depan,” ujar Agung.
Selain itu, BPK juga masih akan meneruskan investigasi untuk mengungkap ketidakpatuhan yang berindikasi kecurangan, kerugian negara, dan unsur pidana. Adapun ruang lingkup pemeriksaan meliputi seluruh kegiatan Jiwasraya, seperti jasa asuransi dan investasi.
Pemeriksaan nantinya juga dilakukan terhadap pengawasan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan, pembinaan dan pengawasan oleh komisaris dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara, serta pemeriksaan oleh akuntan publik.
Sementara itu, Jaksa Agung mengatakan, hingga saat ini sudah diperiksa 98 orang terkait dugaan korupsi Jiwasraya. Sebanyak 13 obyek pemeriksaan juga sudah digeledah untuk mencari barang bukti.
Dari pemeriksaan dan penggeledahan itu, Kejagung sudah bisa menyimpulkan terjadinya pelanggaran hukum. ”Perbuatan melawan hukumnya sudah mengarah pada satu titik, bukti-buktinya juga sudah ada,” lanjutnya.
Sekalipun titik terang untuk menentukan tersangka sudah semakin jelas, Kejagung belum bersedia menetapkan tersangka. Sebab, kata Burhanuddin, mereka masih menunggu investigasi lanjutan dari BPK terkait penghitungan kerugian negara.
Selain itu, ia juga tak ingin gegabah, mengingat skala kasus yang besar. Dari segi transaksi, ada lebih dari 5.000 transaksi keuangan yang perlu diteliti. ”Kami ingin menemukan siapa yang paling bertanggung jawab. Dalam waktu dua bulan, kami sudah bisa menentukan siapa pelaku dalam kasus ini,” ujar Burhanuddin.
Baik Agung maupun Burhanuddin mengatakan, pengusutan kasus Jiwasraya akan dilakukan hingga tuntas. Selain penegakan hukum, mereka juga meminta pemerintah untuk membantu pemulihan Jiwasraya.