Bank Dunia dalam Laporan Ekonomi Indonesia 2019 menyebutkan bahwa kerugian akibat karhutla mencapai 5,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 72,91 triliun. Jumlah tersebut ditaksir 0,5 persen dari PDB 2019.
Luasan lahan yang terbakar seolah-olah mengulang kembali krisis kebakaran pada 1998 dan 2015. Pada 1998, karhutla Indonesia menghanguskan 9,75 juta hektar lahan hutan. Melihat besaran luas kebakaran, tak heran pada periode itu perubahan luas hutannya paling besar.
Adapun pada 2015, luasan lahan yang terbakar mencapai 2,61 juta ha. Wilayah yang paling terdampak karhutla adalah Sumatera, Kalimantan, Papua, dan Bali-Nusa Tenggara.
Untuk akumulasi luas karhutla pada 2014 sampai 2019, Sumatera Selatan menempati posisi teratas, yakni 1.011.898 ha. Provinsi itu diikuti Papua (759.252ha), Kalimantan Tengah (947.062 ha), Kalimantan Selatan (442.546 ha) serta Riau (409.665 ha).
Karhutla menghanguskan hutan di tanah mineral dan tanah gambut. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dari tahun 2015 sampai Juli 2018, setidaknya 1,06 juta hektar tanah gambut habis terlalap api. Untuk tanah mineral, areal yang terbakar lebih luas, yaitu 2,23 juta hektar.
Kehilangan hutan
Salah satu dampak kebakaran hutan adalah perubahan luas hutan. Indonesia memiliki hutan seluas 91,01 juta hektar, sekitar 50 persen total luas daratan negara. Indonesia menempati peringkat ke-8 dalam daftar negara dengan hutan terluas di dunia.
Sayangnya, pengelolaan hutan Indonesia menghadapi masalah deforestasi. Dari 10 negara dengan hutan terluas, hanya tiga negara yang termasuk 10 negara dengan kehilangan hutan terbesar. Ketiganya adalah Brasil, Indonesia, dan Republik Demokratik Kongo.
Jika dibandingkan dengan 10 negara yang memiliki hutan terluas, Indonesia menjadi negara dengan perubahan luasan hutan terbesar.
Luas hutan yang hilang di Indonesia mencapai 641.000 hektar. Perubahan luas hutan dari tahun ke tahun menunjukkan tingkat yang kian mengkhawatirkan.
Tren perubahan hutan dapat dilihat dari persentase luasan hutan terhadap daratan dari tahun 1990 sampai 2016. Tren tersebut dibagi menjadi beberapa periode dengan jangka lima tahun di setiap periodenya.
Hasilnya, jika dibandingkan dengan 10 negara yang memiliki hutan terluas, Indonesia menjadi negara dengan perubahan luasan hutan terbesar. Sayangnya, perubahan yang dimaksud adalah menurunnya luasan hutan dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Penurunan luas hutan terbesar terjadi antara periode 1992-1996 dan 1997-2001. Luas hutan pada 1997-2001 menurun 8,34 persen dibandingkan periode 1992-1996. Luasan hutan masih berkurang sampai 2016. Penurunan luas hutan antara periode 2002-2006 dan 2012- 2016 mencapai 3,03 persen.
Pengendalian karhutla
Sejak peristiwa karhutla 2015, pemerintah membuat beberapa kebijakan, diawali dengan Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Karhutla. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga mengeluarkan Peraturan Menteri LHK Nomor 32 Tahun 2016 tentang Pengendalian Karhutla.
Namun, Instruksi Pengendalian Karhutla yang dikeluarkan presiden hanya menahan laju kebakaran hutan selama tiga tahun. Dari karhutla seluas 2,61 juta hektar pada 2015 turun menjadi 438.360 hektar pada 2016. Pada 2017, luas karhutla turun menjadi 165.480 ha. Namun, setahun berikutnya, luas karhutla naik mencapai 510.560 ha. Puncaknya terjadi pada 2019 dengan luas hutan dan lahan yang terbakar 942.484 ha.
Tren peningkatan karhutla mungkin terjadi pada tahun-tahun mendatang, dengan kondisi iklim tidak menentu seperti sekarang. Karena itu, salah satu pencegahan yang dapat dilakukan adalah mencermati fase- fase puncak kemarau.
Kemarau panjang meningkatkan risiko kekeringan dan karhutla. Melihat rekaman jumlah titik panas dari satelit Terra/Aqua milik Lapan, puncak kebakaran hutan selalu terjadi pada periode Agustus-September.
Negara lain
Karhutla adalah sebagian kecil dari permasalahan pengelolaan hutan Indonesia. Permasalahan utamanya terletak pada pencegahan deforestasi dan rehabilitasi hutan.
Pada aspek rehabilitasi hutan, Indonesia masih tertinggal. Dibandingkan dengan 10 negara yang memiliki hutan terluas, pencapaian Indonesia masih jauh dari pencapaian negara lain. China, India, Rusia, dan Amerika Serikat berhasil melakukan rehabilitasi hutan sehingga luasnya bertambah.
China paling berhasil menerapkan penanaman kembali hutan. Sejak 1990-2006, hutan China bertambah luas. Penambahan luasan hutan tertinggi terjadi pada periode 1997-2001 sampai 2002-2006. Dalam dua periode tersebut, luas hutan China meningkat 8,12 persen.
Tak berhenti sampai 2015, Pemerintah China mengeluarkan rencana proyek reforestasi tahun lalu. Penanaman 6,66 juta hektar hutan baru menjadi target 2018. Kebijakan tersebut dilakukan untuk meningkatkan tutupan hutan dari 21,7 persen menjadi 23 persen dalam satu dekade.
Keberhasilan China berbeda jauh dengan situasi di Indonesia. Rehabilitasi hutan dan lahan masih belum mencapai target. Capaian penanaman lahan kritis baru mencapai 788.080 hektar. Adapun target pemerintah untuk penanaman lahan kritis, sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2015-2019, mencapai 5,5 juta hektar. Dengan kata lain, capaian target baru mencapai 14,3 persen pada 2018.
Rehabilitasi
Dengan capaian tersebut, terhitung realisasi rehabilitasi hutan dan lahan oleh pemerintah pada periode 2015-2018 hanya 197.020 hektar per tahun. Hal ini tidak sebanding dengan laju deforestasi, yaitu 480.000 hektar per tahun (Kompas, 31 Mei 2019).
Masalahnya adalah penanaman kembali hutan dan lahan tersebut sudah lama menjadi program pemerintah yang belum mencapai target. Berdasarkan publikasi Cifor, ”Rehabilitasi Hutan di Indonesia”, target pemerintah untuk merehabilitasi 18,7 juta hektar selama 1970-an sampai 2004 tidak tercapai.
Sisa hutan yang terdegradasi seharusnya tinggal 24,9 juta hektar. Namun, sampai laporan disusun pada 2008, luasnya justru meningkat dua kali lipat menjadi 43,6 juta hektar.
Deforestasi hutan yang terus terjadi tak diimbangi dengan reboisasi hutan. Tren karhutla sebagai penyebab utama deforestasi meningkat dua tahun terakhir. Jika dibiarkan hutan Indonesia dalam kondisi berbahaya, tidak hanya lingkungan, hubungan bilateral negara dan sektor ekonomi pun terancam.
Karena itu, selain pencegahan kebakaran hutan dan lahan sebagai penyebab utama deforestasi, upaya rehabilitasi hutan serta lahan kritis perlu ditingkatkan. Hukum dan kebijakan yang tegas terhadap perubahan lahan hutan menjadi peruntukan lain perlu dipertimbangkan. (LITBANG KOMPAS)