Dua Jaksa Didakwa Terima Suap Rp 221 Juta
Dua jaksa didakwa menerima suap senilai Rp 221 juta terkait proyek rehabilitasi saluran air hujan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Yogyakarta, Rabu (8/1/2020).
YOGYAKARTA, KOMPAS — Dua jaksa yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi terkait proyek di Yogyakarta menjalani sidang perdana, Rabu (8/1/2020), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Yogyakarta. Keduanya didakwa menerima suap senilai Rp 221 juta terkait proyek rehabilitasi saluran air hujan.
Kedua jaksa itu adalah Eka Safitra, jaksa di Kejaksaan Negeri (Kejari) Yogyakarta, dan Satriawan Sulaksono, jaksa di Kejari Surakarta. Sidang keduanya digelar secara terpisah. Sidang Eka dimulai lebih dulu sekitar pukul 09.50 dan selesai sekitar pukul 10.30.
Eka dan Satriawan didakwa menerima suap Rp 221.740.000 dari seorang pengusaha asal Solo, yakni Gabriella Yuan Anna Kusuma.
Setelah sidang Eka selesai, Satriawan menjalani sidang mulai pukul 11.00 dan selesai sekitar pukul 11.30. Adapun susunan majelis hakim untuk kedua sidang tersebut sama, yakni Asep Permana selaku ketua serta Samsul Hadi dan Rina Listyowati sebagai anggota.
Jaksa penuntut umum KPK, Luki Dwi Nugroho, menyatakan, Eka dan Satriawan didakwa menerima suap Rp 221.740.000 dari seorang pengusaha asal Solo, yakni Gabriella Yuan Anna Kusuma. Suap itu diberikan agar perusahaan yang dibawa oleh Gabriella, yakni PT Widoro Kandang, bisa memenangi proyek rehabilitasi saluran air hujan (SAH) di Jalan Supomo, Yogyakarta, dan beberapa jalan di sekitarnya.
Proyek di Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPKP) Kota Yogyakarta itu biasa disebut dengan rehabilitasi SAH Jalan Supomo Cs. Berdasarkan informasi di situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kota Yogyakarta, anggaran untuk proyek tersebut Rp 10,887 miliar.
”Terdakwa Eka Safitra bersama Satriawan Sulaksono mengetahui atau patut menduga bahwa hadiah uang yang berjumlah Rp 221.740.000 itu diberikan agar terdakwa mengupayakan PT Widoro Kandang menang dalam lelang pekerjaan rehabilitasi SAH di Jalan Supomo Cs,” kata Luki saat membacakan dakwaan.
Eka Safitra merupakan salah satu anggota Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D) Kejari Yogyakarta Tahun 2019.
Luki menambahkan, Eka Safitra merupakan salah satu anggota Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D) Kejari Yogyakarta Tahun 2019. TP4D, antara lain, bertugas memberi pendampingan hukum dalam setiap tahap program pembangunan dan berkoordinasi dengan aparat pengawasan intern pemerintah untuk mencegah terjadinya penyimpangan.
Selain itu, tim tersebut juga bertugas melaksanakan penegakan hukum represif ketika ditemukan bukti permulaan yang cukup tentang terjadinya perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, dan perbuatan lainnya yang merugikan negara. Namun, penegakan hukum itu dilakukan setelah koordinasi dengan aparat pengawasan intern pemerintah.
Luki menuturkan, berdasarkan surat perintah dari Ketua TP4D Kejari Yogyakarta, terdakwa Eka Safitra menjadi salah satu anggota TP4D untuk mengawal dan mengamankan proyek rehabilitasi SAH Jalan Supomo Cs. Namun, bukannya menjalankan tugas dengan baik, Eka justru mengarahkan agar proyek itu dimenangkan oleh perusahaan tertentu.
Dalam dakwaan yang disusun jaksa penuntut umum KPK disebutkan, lelang proyek Rehabilitasi SAH Jalan Supomo Cs awalnya diumumkan secara terbuka pada 27 Maret 2019 melalui aplikasi LPSE. Dalam pengumuman itu, tidak tercantum syarat terkait sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3).
Baca juga: OTT Jaksa, Reformasi Kejaksaan Kembali Dipertanyakan
Akan tetapi, Eka Safitra kemudian mengarahkan pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek rehabilitasi SAH Jalan Supomo Cs, Aki Lukman Nor Hakim, untuk memasukkan persyaratan SMK3 dan tenaga ahli keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Eka meminta syarat itu dimasukkan agar lelang proyek tersebut bisa dimenangkan oleh perusahaan tertentu.
Setelah mendapat permintaan dari Eka, Aki Lukman melakukan kunjungan konsultasi terkait syarat SMK3 ke Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Dari hasil konsultasi itu, Aki mendapat informasi bahwa selain syarat SMK3, dapat pula dipakai syarat terkait occupational health and safety assessment series (OHSAS).
Oleh karena itu, pada 2 April 2019, pengumuman lelang proyek Rehabilitasi SAH Jalan Supomo Cs akhirnya dibatalkan. Lelang proyek itu kembali diumumkan melalui aplikasi LPSE pada 15 April 2019. Namun, pada pengumuman kedua itu, terdapat syarat terkait SMK3 dan/atau OHSAS.
Sementara itu, Eka juga diketahui telah menghubungi Satriawan Sulaksono dan meminta dikenalkan dengan kontraktor atau pemilik perusahaan di Solo yang biasa mengikuti lelang proyek pemerintah. Pada Maret 2019, Eka dan Satriawan bertemu dengan Gabriella Yuan Anna Kusuma selaku kontraktor dan beberapa pihak lain di sebuah hotel di Solo. Dalam pertemuan itu, Gabriella menyampaikan keinginan mengikuti proyek rehabilitasi SAH Jalan Supomo Cs.
Baca juga: Penangkapan Jaksa Nakal Mendapat Dukungan Warga
Mendengar keinginan itu, Eka kemudian meminta Gabriella memberikan fee atau jatah sebesar 8 persen dari nilai proyek. Dalam pertemuan itu, Eka juga meminta Gabriella menyiapkan tiga perusahaan untuk mengikuti lelang proyek rehabilitasi SAH Jalan Supomo Cs. Tiga perusahaan itu harus mengantongi syarat SMK3 atau ahli K3.
”Terdakwa Eka Safitra juga memberikan arahan agar Gabriella Yuan Anna Kusuma menyiapkan tiga perusahaan yang memiliki persyaratan SMK3 atau ahli K3 mengingat perusahaan di Yogyakarta masih sedikit yang memiliki persyaratan SMK3 atau ahli K3,” kata jaksa penuntut umum lain dari KPK, Bayu Satrio, saat membacakan dakwaan.
Imbalan
Sesudah pertemuan itu, Eka dan Satriawan kembali bertemu dengan Gabriella pada April 2019 di Solo. Dalam pertemuan itu, Gabriella menyampaikan akan memberikan fee sebesar 5 persen dari nilai proyek kepada Eka dan Satriawan. Besaran fee tersebut disetujui oleh Eka.
Lalu, pada 5 April 2019, Eka meminta uang ”tanda jadi” kepada Gabriella sebesar Rp 10 juta. Tiga hari kemudian, uang itu diserahkan oleh seorang karyawan Gabriella kepada Eka di Stasiun Balapan, Solo. Pada 15 Juni 2019, Eka kembali menerima uang Rp 100.870.000 dari karyawan Gabriella. Uang itu diserahkan di rumah Eka di Solo.
Pada 15 Juni itu pula, PT Widoro Kandang yang dibawa Gabriella dinyatakan sebagai pemenang lelang proyek rehabilitasi SAH Jalan Supomo Cs. Berdasarkan informasi di situs LPSE Kota Yogyakarta, nilai kontrak proyek itu adalah Rp 8,382 miliar.
Sesudah itu, pada 19 Agustus 2019, Eka kembali menerima uang Rp 110.870.000 dari salah seorang karyawan Gabriella. Sama seperti sebelumnya, uang itu juga diberikan di rumah Eka di Solo.
Baca juga: Kejaksaan Agung Akui Masih Ada Jaksa Nakal
Namun, pada 19 Agustus itu pula, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Eka dan beberapa orang lain yang terlibat. Eka, Satriawan, dan Gabriella kemudian ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus tersebut.
Menurut jaksa penuntut umum KPK, Eka dan Satriawan didakwa melanggar Pasal 12 Huruf a dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Keduanya terancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun. Selain itu, kedua terdakwa juga terancam denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Tak ajukan eksepsi
Dalam sidang perdana itu, Eka Safitra menyatakan tidak akan mengajukan nota keberatan atau eksepsi terhadap dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum KPK. Selain itu, Satriawan Sulaksono melalui kuasa hukumnya juga mengatakan tak akan mengajukan eksepsi.
Kuasa hukum Eka dan Satriawan, Richard Valentino Tomasoa, menyatakan, pihaknya memang memutuskan tidak mengajukan eksepsi terhadap dakwaan jaksa penuntut umum KPK. Sebab, kata Richard, eksepsi hanya berkaitan dengan aspek formil dakwaan.
”Kalau eksepsi itu, kan, pada dasarnya hanya dari sisi formil. Kalau dari sisi formil, dakwaan dari KPK itu sudah memenuhi semua unsur formil dakwaan. Oleh karena itu, untuk mempersingkat waktu juga, kami rasa tidak perlu mengajukan eksepsi,” ujar Richard.
Baca juga: Jejak Sejarah Pemberantasan Korupsi
Sementara itu, saat ditanya apakah uang suap terkait kasus tersebut juga mengalir pada pihak lain, Richard tak mau berkomentar. Dia menyatakan, ke depan, hal itu akan terlihat dalam persidangan. ”Saya rasa nanti itu kita bisa lihat fakta di persidangan. Nanti akan terungkap semua di persidangan ketika pemeriksaan saksi-saksi,” tuturnya.
Sidang dengan terdakwa Eka dan Satriawan akan dilanjutkan pada Rabu (15/1) dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi. Sementara itu, pelaku lain dalam kasus ini, yakni Gabriella Yuan Anna Kusuma, telah disidangkan lebih dulu sejak 31 Oktober 2019. Namun, sampai sekarang belum ada putusan terkait perkara dengan terdakwa Gabriella.