Presiden meminta para menteri mengalkulasi penurunan harga gas industri yang dinilai masih tinggi. Pemerintah menyiapkan tiga opsi yang akan diputuskan tiga bulan ke depan.
Oleh
NINA SUSILO / C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Presiden Joko Widodo geram atas berlarutnya penyelesaian masalah tingginya harga gas industri. Dia meminta para menteri terkait mengkaji pilihan yang bisa ditempuh sebagai solusi.
Saat ini 80 persen gas di Indonesia digunakan oleh industri pembangkit listrik, kimia, makanan, keramik, baja, pupuk, dan gelas. Namun, harga gas untuk industri dinilai masih tinggi sesuai janji pemerintah yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Menurut Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia, harga gas di Jawa Timur mencapai 7,89 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU), sementara di Jawa Barat 9,16 dollar AS per MMBTU. Angka itu jauh dari janji pemerintah sesuai regulasi tersebut yang untuk industri keramik ditetapkan 6 dollar AS per MMBTU.
”Gas bukan semata-mata komoditas, melainkan juga modal pembangunan yang akan memperkuat industri nasional. Ketika porsi gas sangat besar pada struktur biaya produksi, harga gas akan sangat berpengaruh pada daya saing produk industri kita di pasar dunia,” kata Presiden dalam pengantar rapat terbatas mengenai ketersediaan gas untuk industri di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (6/1/2020).
Presiden meminta para menteri mengecek kendala penerapan peraturan itu. Selain itu, para menteri juga ditugaskan meneliti penyebab tingginya harga gas, mulai dari harga di hulu, harga di lapangan gas, biaya penyaluran gas, infrastruktur yang belum terintegrasi, sampai di tingkat distributor.
Sejauh ini, pemerintah menyiapkan tiga opsi penurunan harga gas industri. Opsi pertama adalah penurunan atau penghapusan porsi pemerintah dari bagi hasil kegiatan kontraktor kontrak kerja sama yang senilai 2,2 dollar AS per
MMBTU.
Opsi kedua, kewajiban badan usaha pemegang kontrak kerja sama untuk menyerahkan sebagian gas kepada negara (domestic market obligation/DMO) diberlakukan sehingga bisa diberikan kepada industri. Opsi ketiga adalah pemberian keleluasaan impor untuk gas industri.
”Kalau tidak segera diputuskan, akan begini terus. Pilihannya kan hanya dua; melindungi industri atau melindungi ’pemain’ gas. Saya tadi mau ngomong kasar tetapi tidak jadi,” kata Presiden.
Tiga bulan
Presiden memberikan waktu tiga bulan untuk memfinalisasi strategi penurunan harga gas industri. Pada Maret, menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, akan diputuskan opsi mana yang diambil pemerintah.
Menurut Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Dwi Sucipto, setiap opsi akan dihitung untung ruginya.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menilai, penurunan harga gas akan mengurangi penerimaan negara. Namun, di sisi lain produktivitas industri meningkat sehingga berdampak ganda lebih besar, terutama dari sisi perpajakan bagi negara.
”Kami sudah melakukan simulasi, dibantu LPEM UI (Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia), dengan menggunakan pendekatan cost-benefit (biaya dan manfaat),” katanya.
Menurut Agus, pihaknya membuat tiga skenario harga gas. Dengan harga gas 4 dollar AS per MMBTU, misalnya, penerimaan negara akan turun Rp 53,86 triliun, tetapi ada manfaat Rp 85,84 triliun melalui penambahan pajak dari pelaku industri, perorangan, ataupun bea masuk.
Dengan skenario kedua, yakni apabila harga gas 5 dollar AS per MMBTU, pemerintah akan kehilangan Rp 44,88 triliun sebagai biaya. Tetapi pada saat bersamaan pemerintah akan mendapatkan manfaat sebesar Rp 71,53 triliun.
Apabila menggunakan skenario ketiga, yakni harga gas 6 dollar AS per MMBTU, pengurangan penerimaan pemerintah semakin kecil, yaitu sebesar Rp 35,91 triliun. Namun, di sisi lain ada manfaat sebesar Rp 57,23 triliun. "Jadi terlihat bahwa semakin kecil harga gas, semakin besar manfaat yang akan diterima oleh negara," kata Agus.
Manfaat tersebut didapatkan pemerintah melalui penambahan pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan badan, pajak penghasilan orang, dan bea masuk yang jauh lebih besar.