Operasi Tangkap Tangan Bupati Sidoarjo Rawan Timbulkan Gugatan
Bupati Sidoarjo Saiful Ilah menjadi kepala daerah pertama yang ditangkap dalam operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru. Namun, pegiat antikorupsi mengkhawatirkan adanya gugatan.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan operasi tangkap tangan terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah yang berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa. Surat perintah penyelidikan dan surat perintah penyadapan ini sudah dikeluarkan sejak era pimpinan KPK periode 2015-2019 dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Saiful pada Selasa (7/1/2020) dilakukan di masa Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artinya, untuk menetapkan sebagai tersangka harus ada surat perintah penyidikan yang memerlukan tanda tangan dari penegak hukum.
Padahal, dalam UU No 19/2019, status pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut umum dihapuskan. Dewan Pengawas pun tidak disebutkan secara jelas apakah berstatus sebagai penegak hukum atau bukan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, menjelaskan, keadaan ini membuat OTT terhadap Saiful menjadi rawan digugat. Sebab, jika sprindik tetap ditandatangani berlandaskan pada UU No 19/2019, maka bukan ditandatangani oleh penegak hukum. ”Ini yang (masih) simpang siur dan berpotensi menjadi masalah (adanya gugatan praperadilan), apalagi ini perdana setelah UU KPK baru berlaku,” tutur Donal saat dihubungi, Rabu (8/1/2020).
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, menyatakan, OTT ini tidak serta-merta menghasilkan kesimpulan bahwa UU KPK baru dinilai efektif untuk menjerat pelaku korupsi. Sebab, ke depan proses perizinan tindakan projusticia dipastikan akan melambat dengan hadirnya Dewan Pengawas.
ICW pun meyakini KPK ke depan akan menghadapi banyak gugatan praperadilan yang mempersoalkan penindakan karena hadirnya UU KPK baru. ”Jika itu benar terjadi, Presiden Joko Widodo dan DPR adalah pihak yang paling layak dipersalahkan atas kondisi tersebut,” kata Kurnia.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menyampaikan, pimpinan KPK saat ini harus mampu menjelaskan secara detail bagaimana proses penetapan tersangka. Hal ini penting agar ke depan tidak dipraperadilkan oleh para tersangka korupsi.
”Surat perintah penyelidikan dan surat perintah penyadapan (terhadap Saiful), sudah agak lama, sebelum kami pensiun,” ujar mantan Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo kepada Kompas.
Surat perintah penyelidikan dan penyadapan diterbitkan, kata Agus, sebelum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi direvisi. ”Tetapi saya yakin dengan UU No 19/2019, KPK tetap bisa melakukan OTT,” ucapnya.
Saiful tiba di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, sekitar pukul 09.00. Selain Saiful, ada juga satu orang lainnya yang tiba dengan mengenakan masker penutup mulut.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menyampaikan, OTT dilakukan para penyidik KPK pada Selasa (7/1/2020) di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. KPK menangkap Saiful dan beberapa orang lainnya terkait dengan pengadaan barang dan jasa.
”Informasi selengkapnya akan disampaikan saat konferensi pers. Kami akan jelaskan para pihak yang terlibat dalam proyek pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Sidoarjo. KPK juga telah bekerja sama dengan Kepolisian Daerah Jawa Timur untuk melakukan pemeriksaan awal, ada belasan orang yang dimintai keterangan,” ujar Ali.
Atas OTT ini, Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan, pimpinan KPK melaksanakan tugas pokok dan kewenangan berlandaskan pada Pasal 6e UU No 19/2019, yaitu KPK bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Selain itu, mengacu pada Pasal 12 Ayat (1), yakni dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6e, KPK berwenang melakukan penyadapan.