Gempa berkekuatan M 6,1 yang melanda Kabupaten Simeulue, Aceh, Selasa (7/1/2020), menimbulkan keretakan rumah dan pecahnya kaca. Warga diminta memantau info gempa.
Oleh
Zulkarnaini/Erika Kurnia/Ahmad Arif
·3 menit baca
SINABANG, KOMPAS - Gempa berkekuatan M 6,1 yang melanda Kabupaten Simeulue, Aceh, Selasa (7/1/2020) pukul 13.05, dilaporkan menimbulkan kepanikan warga. Mereka yang berada di dalam bangunan bergegas keluar. Getaran dirasakan hingga Medan, Sumatera Utara. Namun, gempa tidak berpotensi tsunami.
Tidak ada laporan korban jiwa dalam kejadian, tetapi pemerintah setempat menerima informasi terjadi sejumlah kerusakan bangunan berupa dinding retak dan pecah kaca.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Aceh Besar Djati Cipto Kuncoro mengatakan, gempa berpusat di Pulau Simeulue, berjarak 24 kilometer barat daya pulau tersebut. Gempa berkedalaman 13 km dan termasuk gempa dangkal. ”Getaran dirasakan di Simeulue, Meulaboh, Tapaktuan, Aceh Singkil, Nias, dan Gunungsitoli,” katanya.
Kepala Humas Pemerintah Kabupaten Simeulue Dodi Juliardi mengatakan, akibat gempa itu, dinding beberapa bangunan retak dan kacanya pecah. Pemkab masih berupaya mendata kerugian lebih rinci. Pemkab Simeulue mengimbau warga agar tetap tenang. Masyarakat diimbau tak segera kembali ke rumah hingga kondisi normal. ”Belum ada korban jiwa,” kata Dodi.
Mohon untuk aktif mencari informasi dari BMKG agar tidak mudah termakan hoaks.
Ahmadi, warga Simeulue, mengisahkan, saat gempa, dirinya panik. Namun, beberapa jam sesudahnya kondisi stabil. Menurut dia, tiada peringatan tsunami dari pemerintah. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati di Jakarta mengatakan, sejak gempa terjadi Selasa pukul 13.05 hingga pukul 15.10, terjadi empat gempa susulan.
”Hasil monitoring kami pada rentang waktu itu menunjukkan ada empat aktivitas gempa susulan berkekuatan terbesar dengan magnitudo 4,2, dan terkecil magnitudo 2,6,” ujarnya. Gempa terjadi akibat aktivitas subduksi Lempeng Indo- Australia yang menunjam di bawah Lempeng Eurasia di barat Sumatera. Ia mengimbau masyarakat terus memantau informasi dan mengikuti arahan terkait dengan kebencanaan dari sumber tepercaya, yakni BMKG atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
”Mohon untuk aktif mencari informasi dari BMKG agar tidak mudah termakan hoaks. Kalau kami cermati, konten hoaks ini sama saja dan ada musimnya, misalnya saat mau akhir tahun atau habis gempa,” ujarnya.
Cari tempat aman
Deputi Bidang Geofisika BMKG Muhammad Sadly mengingatkan warga agar mewaspadai bangunan yang rusak akibat gempa. ”Kalau rumah sudah mau roboh, jangan dihuni. Cari tempat berlindung lebih kuat, atau ikuti arahan pemerintah daerah. Kalau disediakan tempat mengungsi sementara, bisa mengungsi dulu,” ujarnya.
Dosen Magister Kebencanaan Universitas Syiah Kuala, Nazli Ismail, mengatakan, gempa itu terjadi di jalur megathrust Simeulue-Nias. ”Di jalur tersebut, frekuensi kejadian memang tinggi. Hasil riset kami, frekuensi periode ulang terjadi gempa di sana lumayan dekat, 5 sampai 10 tahun,” kata Nazli.
Sebelumnya, pada 11 Maret 2019, gempa bermagnitudo 5,3 juga terjadi di Simeulue dan Nias. Gempa bersumber dari megathrust Simeulue-Nias.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono menyebutkan, pusat gempa berada di lokasi serupa dengan gempa bumi M 7,6 pada 1907, yang memicu tsunami besar saat itu. Tsunami pada 1907 melahirkan istilah smong atau tsunami dan menyelamatkan warga Simeulue dari tsunami pada 2004.