Sebagai daerah pesisir, Kecamatan Jangka, Aceh, memiliki tambak yang luas. Kebutuhan pakan ikan atau pelet besar. Menggunakan dana desa, warga membuat pelet ikan yang kualitasnya tak kalah dibandingkan hasil pabrikan.
Oleh
ZULKARNAINI
·5 menit baca
Kamis pagi (7/11/2019), Muhammad Isa dan Afwadi terlihat sibuk di dalam sebuah bangunan bekas gudang garam di Desa Jangka Alue Bie, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, Aceh. Di lantai keramik terdapat biji jagung, tumpukan ikan kering, dedak padi, bungkil kelapa, dan gaplek.Suara bising mesin memenuhi ruangan. Bahan-bahan itu kemudian digiling menjadi tepung. Tepung-tepung itu dicampur sesuai takaran dan diaduk merata. Karena tidak ada mesin pengaduk, terpaksa digunakan mesin penepung, tapi saringannya dibuka. ”Kami memanfaatkan alat yang ada. Walaupun pekerjaan menjadi lebih lama, yang penting bisa produksi,” kata Isa.
Proses selanjutnya adonan ragam tepung itu dimasukkan ke dalam mesin pencetak. Dalam hitungan detik, pelet berwarna coklat gelap meluncur menumpuk di penampungan yang terbuat dari papan tripleks. ”Ini sudah bisa langsung ditebar ke tambak,” kata Isa memperlihatkan bulir-bulir pelet di kedua telapak tangannya.
Usaha produksi pelet ikan itu berada di bawah Badan Usaha Milik Gampong/Desa Malaka Desa Jangka Alue Bie. Dirintis pada 2017 dengan menggunakan dana desa sebagai modal awal. Dua tahun berjalan, usaha itu mulai menghasilkan laba. Isa menjabat sebagai direktur BUMG Malaka, sedangkan Afwandi dipercaya menjadi kepala unit usaha pengolahan pakan ikan terapung. ”Karena usaha masih dirintis, kami juga jadi pekerja,” kata Isa.
Tahun 2016, Afwadi menyampaikan idenya kepada geuchik (kepala desa) bahwa usaha pelet memiliki potensi besar. Pertimbangannya, di Kecamatan Jangka saja terdapat tambak sekitar 700 hektar dengan kebutuhan pelet 1 ton per hari. Selama ini, petani tambak bergantung pakan yang dipasok dari pabrik di Sumatera Utara.
Selain potensi pasar, bahan baku juga melimpah. Bahan-bahan tersebut semuanya dibeli dari warga sekitar. Afwandi menyebut, keberadaan pabrik pengolahan pakan itu juga memberi keuntungan bagi penyedia bahan baku. Kepala Desa Jangka Alue Bie, Rusli Sulaiman, menuturkan, ide tersebut kemudian dibawa ke forum musyawarah rencana pembangunan desa. Beberapa warga pesimistis dan sebagian optimistis terhadap rencana itu.
Namun, Rusli mampu meyakinkan warga bahwa apabila usaha itu berkembang, pendapatan desa bertambah dan tenaga kerja akan terserap. Saat ini, setidaknya 80 warga Jangka Alue Bie tercatat sebagai pekerja di sana. Sistem kerja bergilir per hari empat orang. Pekerja diupah sehari Rp 70.000.
Adapun jumlah warga Jangka Alue Bie 700 jiwa. Tahap pertama dana desa Rp 150 juta dialokasikan untuk pembelian mesin dan biaya mengirim dua orang ke Medan dan Jawa Timur, belajar di pabrik pakan ikan. Jangka Alue Bie memperoleh dana desa setahun sekitar Rp 780 juta. Dana desa sebagian digunakan untuk pembangunan fisik, pemberdayaan warga, gaji aparatur, dan untuk modal pengolahan pakan ikan.
Tidak mudah
Perjuangan membangun usaha pengolahan pakan ikan itu tidak mudah. Sempat beberapa kali gagal produksi karena mesin bermasalah dan racikan kurang pas. Namun, mereka tidak menyerah, mencoba, dan terus mencoba hingga akhirnya produk BUMG Malaka diterima pasar.
”Kalau sekarang, kami tidak mampu memenuhi permintaan pasar. Coba lihat, tidak ada stok barang, belum produksi sudah ada yang pesan,” kata Rusli. Saat ini, volume produksi per hari hanya 300 kilogram atau 12 zak ukuran 25 kilogram. Harga per zak Rp 160.000. Artinya, dalam sehari pendapatan kotor Rp 1.920.000. Sebulan produksi selama 20 hari. Adapun potensi pendapatan per tahun Rp 460.800.000.
Sebagian keuntungan itu dipakai untuk santunan bagi keluarga warga yang meninggal.
”Tahun lalu produksi tidak maksimal, mesin sering bermasalah, keuntungan Rp 168 juta,” kata Rusli. Keuntungan itu dicatat sebagai pendapatan desa. Namun, mereka sepakat pendapatan itu digunakan kembali sebagai modal tahun berjalan. ”Tahun 2019 belum kami hitung jumlah pendapatan, kemungkinan lebih tinggi,” katanya.
Sebagian keuntungan itu dipakai untuk santunan bagi keluarga warga yang meninggal. Besaran santunan Rp 500.000 per keluarga. Rusli mengatakan, usaha pengolahan pakan ikan diproyeksi sebagai sumber pendapatan desa berkelanjutan. Jika suatu saat pemberian dana desa dihentikan, desanya sudah mandiri.
Namun, untuk pengembangan perlu pengadaan mesin dan peralatan lain agar kemampuan produksi meningkat. ”Kami berharap ada intervensi pemerintah di luar dana desa supaya usaha ini lebih cepat berkembang,” kata Rusli. Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG) Aceh Azhari Hasan mengatakan, dana desa sangat strategis dalam upaya meningkatkan kesejahteraan warga desa. Salah satu kegiatan paling tepat adalah membangun usaha desa.
Tahun 2020, pengembangan BUMDes salah satu bidang yang difokuskan dalam pengelolaan dana desa di Aceh. Setiap desa didorong memiliki usaha sehingga dapat menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan desa. ”Usaha milik desa akan menjadi motor penggerak ekonomi warga di tingkat tapak,” ujar Azhari. Azhari mengatakan, dari 6.498 desa di Aceh, sebanyak 5.826 desa telah memiliki BUMDes. Namun, BUMDes tersebut masih berstatus rintisan dan berkembang.
”Kalau BUMDes yang kategori maju dan mandiri masih sangat minim,” ujar Azhari. Setiap desa memiliki potensi usaha yang dapat dikelola sebagai sumber pendapatan desa. Yang terpenting, ujar Azhari, keberadaan usaha desa menyerap tenaga kerja. Jika setiap BUMDes menyerap tiga tenaga kerja, akan ada 19.494 warga desa yang memiliki pekerjaan.
Nilai transfer dana desa pun terus bertambah. Pada 2018, jumlah dana desa untuk semua desa di Aceh Rp 4,45 triliun. Jumlah itu naik pada tahun 2019 menjadi Rp 4,9 triliun dan tahun 2020 menjadi Rp 5,05 triliun.
”Jumlah dana desa di Aceh setahun hampir separuh dari dana otonomi khusus. Artinya, jika dikelola dengan baik, warga desa bisa sejahtera,” kata Azhari. Saat ini, Jangka Alue Bie dijadikan salah satu desa percontohan pengembangan usaha milik desa. Semangat itu perlu ditebarkan ke semua desa di Aceh, yang sebagian besar masih belum sejahtera.