Kemajuan teknologi yang menyapu sejumlah profesi sebagai dampak otomatisasi tak membuat takut pengukir di Jepara. Keterampilan tangan berpadu olah rasa membuat karya mereka lebih bernilai, berdiri di era yang berubah.
Oleh
Aditya Putra Perdana
·4 menit baca
Tangan M Fatikh Al Mubarok (12) kokoh memegang besi pahat di atas papan kayu berukuran 20 x 7 cm, Kamis (26/12/2019) sore, di Sanggar Persing, Desa Langon, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Secara telaten, ujung besi itu dihantam palu pahat di tangan kanan membentuk motif ukir.
Sore itu, Fatikh tengah berlatih pahat bersama sesama siswa SMPN 1 Tahunan, M Khaidar Fahmi (10). Di sekeliling keduanya, tujuh pengukir senior, rata-rata berusia di atas 45 tahun, juga tengah mengukir. Bedanya, tangan-tangan mereka begitu terampil, sangat cekatan membentuk ukiran motif Majapahit.
”Di sekolah tidak ada pelajarannya (mengukir). Jadi, saya semangat berlatih di sini. Dengan sering berlatih, mudah-mudahan nanti punya usaha sendiri,” ujar Fatikh. Ia satu dari lima remaja yang belajar di Sanggar Persing, bengkel konservasi ukir di Jepara.
Sebelumnya, sanggar itu merupakan komunitas anak-anak muda di Desa Langon. Tahun 2019, mereka menjadikan sanggar sebagai tempat konservasi ukir. Hal itu dilakukan karena menyadari kian sedikit pemuda yang mau belajar ukir. Ironi di tengah identitas Jepara sebagai pusat ukir dunia. Di kelasnya hanya Fatikh yang tertarik belajar ukir. ”Mengukir dibilangnya ndeso, tetapi tidak apa-apa. Saya belajar karena memang senang. Saya ingin jadi budayawan,” ujar cucu pengukir itu.
Dengan sering berlatih, mudah-mudahan nanti punya usaha sendiri.
Menurut Rendra Setiawan atau Wawan (39), pengasuh Sanggar Persing, setelah tahun 2000, minat anak muda menekuni ukir terus berkurang. Mereka memilih menjadi karyawan pabrik garmen yang banyak bermunculan di Jepara tahun 2013. Upaya konservasi ukir mutlak diperlukan. Sanggar Persing pun berdiri secara swadaya.
Berjarak 3 kilometer dari Sanggar Persing, Denni Faturahman (19) juga tengah fokus berlatih mengukir di rumah Sutrisno (50), pemilik Jepara Carver. Mulai berlatih mengukir sejak tujuh tahun lalu, Denni merasa masih perlu mengasah kemampuannya.
Ia baru lulus dari SMAN 1 Tahunan. Tekad Denni bulat jadi pengukir meski berbeda pilihan dari teman-teman. ”Ada teman-teman seangkatan saya yang kuliah, ada yang kerja di pabrik. Pengukir di Jepara makin jarang. Maka, saya ingin meneruskan,” ujarnya.
Ia satu dari enam pemuda yang sedang berlatih ukir di Jepara Carver. Sutrisno membuka pintu lebar-lebar bagi siapa pun yang hendak belajar ukir, tidak hanya anak-anak muda di Desa Senenan, tetapi juga dari luar Jepara, bahkan luar Jawa. Mereka dipersilakan belajar gratis.
Sutrisno prihatin dengan minat mengukir yang merosot. ”Awal 1990-an, dari 20 anak usia 10-12 tahun, minimal 15 berlatih ukir. Sekarang, dari 100 anak, yang mau mengukir paling 10 anak,” ujarnya.
Bagi anak-anak yang mau belajar di tempatnya, Sutrisno tidak memungut bayaran. Bahkan, ia memberi Rp 50.000 per minggu untuk beli pulsa. Ia juga memberi uang lebih bagi mereka yang bisa membantu pekerjaannya. Baginya, yang penting mereka tahu cara mengukir dengan baik.
Tak tergantikan
Kekhawatiran tergerusnya profesi pengukir sempat muncul setelah sejumlah industri mebel dan ukir di Jepara memanfaatkan mesin computer numerical control (CNC). Dengan mesin itu, pengerjaan mebel tak perlu tenaga manusia. Namun, CNC cenderung untuk produk massal.
”Pengukir Jepara tidak takut dengan CNC karena ukiran adalah tentang taste (rasa). Seribu CNC pun kami tak takut. Niat kami tidak menciptakan tukang-tukang ukir, tetapi mengembalikan kesejatian ukir menjadi karya seni,” kata Wawan. Untuk itu, inovasi dan kreativitas mutlak dimiliki pengukir. Sebab, rasa yang keluar dari kreasi pengukir tak akan tergantikan mesin.
Sutrisno mengaku tidak anti teknologi dan mempunyai mesin CNC di bengkel. Namun, ia yakin keterampilan manusia di bidang ukir akan selalu dibutuhkan, tak tergantikan. Patung, misalnya, saat ini bisa dibuat dengan CNC 4 axis (arah potong) dan 5 axis.
”Namun, karakternya tak kelihatan. Sekalipun karakter itu muncul, tidak murni dari imajinasi pengukir atau pematung,” ujarnya. Bagi Sutrisno, yang menentukan baik atau tidaknya hasil karya tak hanya desain, tetapi juga kreativitas pengukir. Di pasaran, ukir buatan tangan pun dihargai jauh lebih mahal.
Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Jepara Raya Masykur Zainuri mengatakan, dari 390 perusahaan mebel menengah di Jepara, 8 perusahaan menggunakan CNC untuk produk massal, seperti kaligrafi. Adapun untuk produk ukir atau mebel, pembeli cenderung menyukai buatan tangan manusia.
HIMKI, kata Masykur, telah melakukan percobaan pada gebyok berukuran 5 meter. Pengerjaan manual memakan waktu tiga bulan, sedangkan dengan CNC bisa 8-9 hari. ”Namun, hasil akhir memang berbeda. Tekstur dan nilai seninya berbeda. Semua tergantung pasar,” paparnya.
Masalah utama industri ukir Jepara adalah kurangnya tenaga kerja di industri kecil. Padahal, dari 390 industri mebel menengah ke atas, 85 persen barang dipasok dari industri kecil. Di industri menengah atau besar, produk tinggal dipilah, diampelas, pengerjaan akhir, dan pengemasan.
Kepala Bidang Perindustrian Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jepara Abas mengatakan, pemerintah daerah terus mendorong Jepara menjadi pusat ukir dunia. Guna meningkatkan minat anak muda, komunitas seperti Sanggar Persing akan terus difasilitasi, termasuk rencana memasukkan lagi seni ukir sebagai muatan lokal di sekolah.
Di tengah penurunan minat mengukir dan masuknya mesin, kreativitas serta inovasi tetap menjadi senjata utama menjaga warisan di bumi ukir.