KPK Melakukan Penangkapan Perdana di Era UU No 19/2019
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap dua penyelenggara negara secara terpisah, yakni Bupati Sidoarjo, Jawa Timur, Saiful Ilah, Selasa (7/1/2020), dan anggota Komisi Pemilihan Umum RI, Wahyu Setiawan, Rabu (8/1). Penangkapan dalam waktu tak berbeda jauh itu jadi yang perdana dilakukan KPK di era berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK dan juga yang pertama di era pimpinan KPK periode 2019-2023.
Saiful Ilah ditangkap karena dugaan suap terkait pengadaan proyek infrastruktur di Sidoarjo. Dalam kasus Saiful, Rabu malam, KPK sudah mengumumkan penetapan tersangka terhadap enam orang. Saiful, serta tiga pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, yakni Sunarti Setyaningsih, Judi Tetrahastoto, dan Sanadjihitu, disangkakan sebagai penerima suap, sedangkan dua pihak swasta disangkakan sebagai pemberi suap, yakni Ibnu Ghopur dan Totok Sumedi.
Terkait penangkapan Wahyu, hingga semalam sekitar pukul 23.00, penyidik KPK masih memeriksa Wahyu serta tiga orang lainnya. KPK belum menyampaikan terkait kasus dugaan suap apa Wahyu ditangkap.
Kelanjutan penyidikan
Penangkapan itu berlangsung di tengah skeptisisme publik, yakni KPK diprediksi sukar melakukan penangkapan setelah berlakunya UU No 19/2019. Sebab, dalam UU KPK hasil revisi itu, penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan membutuhkan izin terlebih dahulu dari Dewan Pengawas KPK.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung KPK Jakarta, semalam, menjelaskan, kedua kasus ini merupakan kelanjutan dari penyelidikan yang dimulai pada 2019. Untuk kasus suap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah, penyelidikan dimulai November 2019. Kemudian, terkait kasus yang menjerat anggota KPU, Wahyu Setiawan, penyelidikan dimulai Desember 2019 di masa pimpinan KPK periode 2015-2019.
Saat itu, Dewan Pengawas KPK belum terbentuk. Pasal 69 D UU No 19/2019 menyatakan, ”Sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum undang-undang ini diubah.” Karena itu, proses ini masih mengacu ke UU No 30/2002 tentang KPK. Penangkapan kali ini belum melalui birokrasi Dewan Pengawas.
Namun, terdapat Pasal 70 C UU No 19/2019 yang berbunyi, ”Pada saat undang-undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.” Hal ini dinilai masyarakat sipil membuat penangkapan yang dilakukan KPK rentan digugat.
”Itu hak jika ada yang ingin menggugat. Kami siap menghadapinya,” ujar Marwata.
Di sisi lain, penandatanganan surat perintah penyidikan kali ini juga sempat memakan waktu. Di UU KPK yang baru tidak ada klausul yang menyatakan bahwa pimpinan KPK merupakan penyidik, penuntut umum, dan penanggung jawab tertinggi. Berdasarkan informasi yang dihimpun, ada pembahasan tanda tangan tetap dilakukan pimpinan atau dialihkan kepada Deputi Penindakan.
”Tadi pimpinan yang tanda tangani. Meski tidak eksplisit, pimpinan tetap penanggung jawab tertinggi,” kata Marwata.
Penangkapan terpisah
Saiful ditangkap di kantornya di Sidoarjo, Selasa petang. Total uang yang diamankan dalam kegiatan kali ini mencapai Rp 1,81 miliar yang diberikan dan disita dari sejumlah pihak.
Kasus bermula dari permintaan pihak swasta, yakni Ibnu, kepada Saiful untuk memenangkannya dalam lelang proyek Jalan Candi-Prasung Rp 21,5 miliar. Pada Agustus-September 2019, beberapa perusahaan Ibnu memenangi sejumlah proyek dengan nilai masing-masing Rp 13,4 miliar, Rp 17,5 miliar, Rp 5,5 miliar.
Sementara itu, Wahyu ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, sebelum ia bertolak ke Bangka Belitung untuk berdinas.
Ketua KPU Arief Budiman mengaku belum tahu terkait apa Wahyu ditangkap. Dia menyampaikan akan menunggu keterangan resmi dari KPK.
Arief berharap kasus itu tidak mengganggu kepercayaan publik terhadap KPU. ”Kami akan konsolidasi internal untuk melihat bagaimana hal itu bisa terjadi. Lalu, bagaimana nanti mencegahnya,” kata Arief.
Direncanakan, hari ini KPU akan ikut pada jumpa pers KPK terkait penangkapan Wahyu.
Tahun 2005, anggota KPU, Mulyana W Kusumah, sempat divonis karena suap pengadaan kotak suara. Kepala Biro Logistik KPU Richard M Purba terjerat kasus serupa.