Wahyu Setiawan Tersangka, Diduga Terima Rp 600 Juta untuk Urus PAW PDI-P
KPK menyebut persekongkolan oknum penyelenggara pemilu dengan politisi dapat disebut sebagai pengkhianatan terhadap proses demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah dan biaya yang sangat mahal.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap proses penggantian antarwaktu anggota DPR. Wahyu diduga telah menerima Rp 600 juta dari total Rp 900 juta untuk memproses permohonan penggantian antarwaktu anggota DPR dari PDI-P.
Selain Wahyu, tiga lainnya yang ditetapkan sebagai tersangka, adalah Agustiani Tio Fridelina, Harun Masiku, dan Saeful. Wahyu dan Agustiani disebut sebagai penerima suap. Adapun Harun dan Saeful berperan sebagai pemberi suap.
“Persekongkolan antara oknum penyelenggara pemilu dengan politisi dapat disebut sebagai pengkhianatan terhadap proses demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah dan biaya yang sangat mahal,” ujar Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lili Pintauli Siregar, di Gedung Merah Putih KPK, di Jakarta, Kamis (9/1/2020) malam.
Hingga pengumuman penetapan tersangka, Harun belum menyerahkan diri kepada KPK. “KPK meminta tersangka HAR (Harun) segera menyerahkan diri ke KPK, dan pada pihak lain yang terkait dengan perkara ini agar bersikap kooperatif,” ucap Lili.
Dalam kasus ini, Wahyu menyanggupi untuk membantu menetapkan Harun sebagai anggota DPR pengganti antarwaktu (PAW). Wahyu pun meminta dana operasional sebesar Rp 900 juta.
“WSE (Wahyu) menyanggupi membantu dengan membalas, ‘siap mainkan’,” kata Lili.
Sebelum itu, Lili menjelaskan, awal Juli 2019, salah satu pengurus DPP PDI-P memerintahkan advokat, Doni untuk mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara ke Mahkamah Agung (MA). MA kemudian mengabulkan gugatan dan menetapkan partai sebagai penentu suara dan PAW.
Pengajuan gugatan ini terkait dengan meninggalnya Nazarudin Kiemas, calon anggota legislatif (caleg) terpilih dari PDI-P pada Maret 2019.
Penetapan MA pun menjadi dasar PDI-P mengirim surat ke KPU untuk menetapkan politisi PDI-P, Harun Masiku sebagai pengganti Nazarudin Kiemas.
Namun, pada 31 Agustus 2019, KPU menggelar rapat pleno dan menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin Kiemas.
Selanjutnya, PDI-P mengajukan permohonan fatwa MA dan setelah MA mengeluarkan fatwa, Saeful menghubungi Agustiani dan melobinya untuk mengabulkan Harun sebagai PAW. Selanjutnya Agustiani mengirim dokumen dan fatwa MA kepada Wahyu agar membantu proses penetapan Harun.
Agustiani merupakan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu yang disebut KPK sebagai orang kepercayaan Wahyu. Adapun Saeful adalah staf dari Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto.
Suap yang diberikan kepada Wahyu, dilakukan dalam dua tahap. Pertama, pertengahan Desember 2019. Wahyu menerima Rp 200 juta dari Agustiani di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Sumber dananya masih didalami oleh KPK tetapi KPK menyebut pemberi dana sebenarnya memberikan uang total 400 juta untuk Wahyu melalui Agustiani, Doni, dan Saeful.
Kedua, akhir Desember 2019, Harun memberikan uang Rp 850 juta kepada Saepul. Dari total uang itu, Rp 150 juta diberikan kepada Doni. Kemudian sisa Rp 700 juta diberikan kepada Agustiani Rp 450 juta dan untuk operasional Rp 250 juta. "Dari Rp 450 juta yang diterima Agustiani itu, Rp 400 juta merupakan
suap untuk WSE (Wahyu). Uang masih disimpan ATF (Agustiani),” tutur Lili.
Namun, pada 7 Januari 2020, berdasarkan hasil rapat Pleno, KPU tetap menolak permohonan PDI-P untuk menetapkan Harun sebagai PAW.
Setelah gagal, Wahyu kemudian menghubungi Doni, menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan kembali agar Harun menjadi PAW. Sehari setelahnya, Wahyu meminta sebagian uang yang dikelola oleh Agustiani. “Setelah hal ini terjadi, tim KPK melakukan OTT dan menyita Rp 400 juta dalam bentuk dollar Singapura di tangan Agustiani,” ucap Lili.
Rapat pleno
Ketua KPU, Arief Budiman menyampaikan, KPU akan segera melakukan rapat pleno untuk menyikapi penetapan tersangka atas Wahyu.
Arief menjelaskan, mengacu padaperaturan perundang-undangan, anggota KPU diberhentikan sementara jika sudah menjadi terdakwa. Pemberhentian tetap baru akan dijatuhkan jika sudah divonis bersalah oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
“Tetapi karena kasus ini cukup penting bagi kami, mempengaruhi kepercayaan publik pada penyelenggara pemilu, kami akan lakukan rapat pleno untuk menyikapi hal ini. Kami mengambil inisiatif lebih awal,” ujar Arief.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini menyesalkan terjadinya OTT terhadap komisioner KPU. Kejadian ini sangat kontradiktif dengan semangat antikorupsi yang digadang-gadang KPU, salah satunya dengan mencoba membuat terobosan hukum untuk melarang pencalonan mantan napi korupsi di Pemilu Legislatif 2019.
“Tentu ini menjadi pukulan berat bagi kelembagaan KPU. Saya berpandangan, KPU harus menjadikan momen ini untuk bersih-bersih total di tubuh KPU baik internal maupun pola hubungan eksternal. KPU harus mempersilakan KPK untuk mengusut tuntas kasus ini,” ujar Titi.
Menjelang pemilihan kepala daerah serentak pada 23 September 2020, Titi mengingatkan, KPU perlu meminta dukungan KPK dalam membangun strategi pencegahan korupsi di internal KPU. Hal ini penting untuk mengantisipasi potensi penyimpangan ketika Pilkada 2020.
“KPU mau tidak mau harus meningkatkan keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas tata kelola institusinya sehingga memungkinkan kontrol publik bisa berjalan optimal,” kata Titi.