Menyapu Jagat Politik
Urgensi menyusun undang-undang sapu jagat politik—Tajuk Rencana harian Kompas, Jumat, 3 Januari 2020—ibarat berkejaran dengan waktu mengingat akhir tahun ini akan ada pemilihan 270 kepala daerah sekaligus memastikan agar format pilkada dan pemilu serentak berbasis paradigma politik yang jelas.
Membiarkan kerancuan regulasi politik tanpa arah mengakibatkan fungsi utama negara mewujudkan kesejahteraan rakyat dan tugas pokok pemerintahan melayani publik hampir mustahil dilakukan.
Ini mengingat jantung kehidupan bersama tidak sekadar menata sistem dan struktur politik, tetapi juga membangun peradaban. UU sapu jagat politik juga harus mampu mendesain perangkat regulasi yang menghasilkan kader bangsa dengan kualitas serta niat kuat memihak kepentingan rakyat. Hulu upaya mewujudkan kehidupan bersama yang bermutu adalah kualitas manusia-manusia yang membuat keputusan politik.
Namun, betapa pun mendesaknya penyusunan UU sapu jagat politik, arah dan acuannya harus jelas, yakni konstitusi! Undang-Undang Dasar 1945 adalah orientasi serta landasan berpikir menyusun omnibus law bidang politik. Tidak sekadar pasal-pasal di UUD 1945, tetapi juga suasana kebatinan dan original intent (niat awal) para penyusun konstitusi agar UU sapu jagat politik itu tidak tersesat dalam penafsiran amatir atau mengutamakan kepentingan politik kekuasaan jangka pendek. Lebih dari itu, UU itu harus jadi bagian tak terpisahkan dari agenda besar penataan politik yang lebih komprehensif, holistik, serta sesuai cita-cita pendiri negara.
Beberapa isu penting dan perlu diperhatikan dalam menyusun UU sapu jagat politik agar tidak semakin tersesat jauh adalah fenomena hasrat memperkuat sistem presidensial. Ini mengingat dua dekade terakhir, keinginan memurnikan sistem presidensial—mengopi sistem presidensial Amerika Serikat—makin menguat. Berbagai upaya parsial telah dilakukan, antara lain membentuk Dewan Perwakilan Daerah sebagai padanan senator, pemilu presiden secara langsung, dan pemilu serentak.
Sementara itu, kajian RM AB Kusuma atas berbagai dokumen dan naskah penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 menemukan data valid bahwa para penyusun konstitusi sepakat membentuk ”sistem sendiri”. Mereka tak mau menganut sistem presidensial ala AS karena sistem itu membelah pemerintahan sekaligus menimbulkan ancaman kemacetan dalam pengambilan keputusan. Mereka juga tidak mau sistem parlementer (Inggris) karena takut terjebak dalam kediktatoran parlemen apabila partai pemerintah mendominasi parlemen (RM AB Kusuma, Sistem Pemerintahan Pendiri Negara Versus Sistem Presidensial Orde Reformasi; Universitas Indonesia, 2011). Mengingat tahun 1940-an sampai dengan awal 1950-an hanya dikenal sistem pemerintahan presidensial yang berkiblat kepada AS dan sistem parlementer, seperti di Inggris, para penyusun konstitusi menamakan ”sistem sendiri” dengan sebutan sistem presidensial. Kurun waktu itu belum dikenal sistem semiparlementer atau semipresidensial. Perancis menerapkan semipresidensial tahun 1958, Republik ke V (Yamin, 1959, 339-340, dalam AB Kusuma).
Perbedaan pokok ”sistem sendiri” dengan presidensial AS ialah negara ”Paman Sam” menganut pemisahan kekuasaan murni antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sedangkan Indonesia menganut pemisahan kekuasaan parsial. Meski dalam konstitusi disebut pemerintahan adalah presidensial, praktik penyelenggaraan pemerintahan setelah kemerdekaan berubah-ubah secara bergantian; adakalanya sistem presidensial, parlementer, atau semipresidensial. Bahkan, pada awal reformasi, melalui UU yang mengatur otonomi daerah, yakni UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, praktik pemerintahan nyaris seperti sistem federal. Karena itu, memaksakan pemurnian sistem presidensial, selain ahistoris, juga harus merombak paradigma struktur kekuasaan secara mendasar.
Isu berikutnya adalah sistem perwakilan. Dalam khazanah teori perwakilan antara lain di kenal wakil rakyat sekadar petugas parpol (messenger) atau sosok yang dipercaya menyampaikan kepentingan umum (trustee). Model terakhir, meski kader parpol, mereka menyuarakan kepentingan rakyat (Edmund Burke, 1729-1797). Dua mazhab ini perlu direnungkan, antara lain, karena akan berimplikasi pada penentuan pilihan sistem pemilu legislatif; proporsional, distrik, atau campuran. Selain itu, peran DPD yang selama ini dirasakan mandul serta eksistensi MPR yang kabur perlu dipertegas peran dan fungsinya agar keberadaannya tidak mubazir. Kajian empirik- komparatif membuktikan menerjemahkan kedaulatan rakyat dalam sistem demokratis harus memperhatikan adat istiadat, kebiasaan, pendidikan, geografis, dan aspek-aspek sosial lainnya. Salah satu alternatif sebagai pertimbangan adalah semipresidensial Perancis. Dua faktor yang mirip, yakni bentuk negara kesatuan dan keragaman masyarakatnya.
Penyusunan UU sapu jagat politik sangat penting dan vital karena akan menjadi rute membumikan asas kedaulatan rakyat agar fungsi-fungsi lembaga negara, pemerintahan, dan politik secara struktural dan sistemik terintegrasi secara harmonis serta saling kontrol. Dengan begitu, bisa menghasilkan keputusan politik yang memihak kepentingan umum.
Namun, harus diakui, prosesnya sangat rumit, tidak saja karena sistem itu sendiri rumit, terlebih karena politik transaksi dan politik dinasti sudah berurat berakar dalam praktik politik selama ini. Semua berharap UU sapu jagat politik dapat menyisir dan menyapu onggokan ”kotoran” yang berserakan karena limbah praktik jorok yang dilakukan para penikmat kerusakan negara; yang apabila tidak segera dihentikan, itu bisa melumpuhkan kehidupan politik.