Seladi Si ‘Polisi Pemulung’ Ajari Kesederhanaan Pada Siswa SMA Yogyakarta
Seladi Si ‘Polisi Pemulung’, mengajari Kesederhanaan Pada Siswa SMA Yogyakarta pada 6-10 Januari 2020.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
Masih ingat dengan Seladi, si polisi jujur asal Kota Malang yang memilih menjadi pemulung daripada menerima suap? Setelah pensiun dari Kepolisian tahun 2017, Seladi terus menularkan kejujuran dan kesederhanaan hidup pada siapa saja.
Selasa (07/01/2020), Seladi (61), mengajari 30 siswa kelas 11 SMA Kolese De Britto Yogyakarta menjalani live-in atau hidup berbaur dengan masyarakat di kawasan tempat pembuangan akhir (TPA) Lowokdoro, Kota Malang, Jawa Timur. Mereka belajar kesederhanaan dan kejujuran dari ‘polisi pemulung’ tersebut. Mereka akan tinggal di TPA sejak 6-10 Januari 2020.
Selasa pagi pukul 11.00 WIB, TPA Lowokdoro riuh oleh 30-an siswa yang belajar memilah sampah. Mereka terbagi dalam tiga kelompok dan ditempatkan di tiga lokasi berbeda. Lokasi pemilahan awal, pemilahan lanjutan, dan pembersihan. Bersama kelompok masing-masing, mereka turut bekerja memilah sampah dengan Seladi.
“Ini kan sampah, harus dipilah mana yang bernilai dan tidak. Plastik, botol, kardus, ini bisa jadi uang. Yang telaten saja memilahnya,” kata Seladi menjelaskan.
Sekelompok pemuda berusia 17-an tahun tersebut cermat memerhatikan perkataan Seladi. Sesekali bau anyir sampah membuat mereka menutup hidung. Namun, tampak mereka bersemangat memunguti sampah di depan mereka satu persatu.
Di sudut TPA lain, sekelompok pemuda mengupas plastik dari botol air mineral. Plastik-plastik tersebut akan dijual terpisah.
“Anak-anak ini oleh pembinanya memang dititipkan ke saya untuk dididik. Mereka harus tahu rasanya menjadi orang susah, hidup sederhana, tapi tetap harus memegang sikap jujur. Para pengajarnya memberi tahu saya bahwa harapannya, nanti kalau mereka sudah menjadi pejabat, mereka bisa berempati pada rakyat kecil dan tidak korupsi,” kata Seladi.
Belajar hidup sederhana dan jujur, menurut Seladi adalah kunci menjadi pejabat yang baik, sehingga tidak tergoda untuk korupsi. Korupsi, menurut Seladi memakan hak masyarakat kecil dan merugikan banyak orang.
Anak-anak ini oleh pembinanya memang dititipkan ke saya untuk dididik. Mereka harus tahu rasanya menjadi orang susah, hidup sederhana, tapi tetap harus memegang sikap jujur.
Ignatius Yudhistira Indrakusuma (16), siswa De Britto kelas 11, mengaku tidak pernah membayangkan akan live-in di kawasan TPA. “Saat itu kami berangkat naik bus sebanyak 50 orang dari Yogyakarta. Tidak ada yang tahu kami akan dikirim ke mana. Sebagian dari kami berhenti di yayasan yang mengurusi orang disabilitas, dan lainnya berada di TPA ini,” katanya.
Yudhistira mengaku, sebagai anak ibukota (dari Jakarta), ia mengaku tidak pernah membayangkan akan tinggal di TPA. Ya, puluhan siswa tersebut tinggal di gubuk-gubuk di kawasan TPA. Mereka tidak diperbolehkan membawa HP dan tidak dibekali uang saku. Mereka makan yang disediakan oleh orang tua asuh mereka, yaitu Seladi.
“Saya untuk menyelami kehidupan para pemulung ini tidak butuh hitungan hari. Dalam hitungan jam saja, sudah terasa betapa beratnya hidup mereka. Harus memilah sampah yang selama ini kita buang-buang. Mereka memungutinya untuk hidup. Ini semua mengajari saya hidup benar-benar menjadi manusia,” katanya.
Sebagai anak guru di Jakarta, Yudhistira mengaku bahwa selama ini ia tidak pernah bersentuhan langsung dengan pemulung, apalagi tinggal di TPA. Kondisi itu sempat membuatnya kaget dan bingung.
“Awalnya saya pikir kami akan tinggal di antara kardus-kardus kering di depan. Rupanya belakangan, kami tahu bahwa kami juga harus berbaur dengan sampah-sampah basah yang jorok dan menjijikkan. Awalnya pingin kabur saja. Tapi saya rasa saya bisa, dan harus bertahan,” katanya sambil tersenyum.
Latihan Mental
Seladi tersenyum melihat polah tingkat anak SMA tersebut. Baginya, tingkah anak-anak tersebut wajar, karena mereka merasakan hal baru yang belum pernah dialami. “Ini semacam latihan mental. kalau mereka lulus, maka harapannya ke depan saat mereka jadi pejabat, bisa lebih paham kondisi orang kecil seperti kami ini,” kata pensiunan polisi tersebut.
Sekadar mengingatkan, Seladi adalah polisi yang bertugas di bagian pembuatan SIM A Polres Malang Kota. Tahun 2016, kisahnya terungkap ke publik bahwa ia sejak tahun 2004 telah mencari uang tambahan dengan memulung sampah. Ia memulung untuk menambah pemasukan, karena gaji Rp 5,7 juta sebulan tidak cukup memenuhi kebutuhan keluarga (dengan tiga anak) serta untuk membayar hutang-hutangnya.
Seladi menolak menerima ‘uang haram’ berupa tips atau uang balas budi dari para pembuat SIM A. Meskipun, selama ini tak sedikit orang yang berusaha memberinya uang. Namun pria yang masuk polisi tahun 1977 itu memilih mencari tambahan uang dengan cara halal yaitu memulung sampah dan menjual hasilnya.
Kisah kejujuran Seladi dengan menolak ‘amplop’ dari orang-orang pun membuatnya mendapat simpati dari Ketua DPR Bambang Soesatyo saat itu. Bambang merelakan gaji pokoknya Rp 4,2 juta sebulan diberikan ke Seladi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun memberikan penghargaan atas dedikasi dan kejujuran Seladi.
Sikap Seladi diturunkan pada anak-anaknya, termasuk pada Rizal Dimas Wicaksono, anak keduanya yang sering diajak memulung saat itu. Kini, Rizal telah diterima jadi Tamtama Polri. Sedangkan Seladi, hingga kini ia tetap memulung sampah.
Kejujuran Seladi pun bertahan hingga sekarang. terbukti, hari Selasa itu, Seladi menunjukkan mobil pengangkut sampah miliknya, yang saat itu dikendarai oleh anak buahnya, pulang dengan mengantongi sebuah surat tilang. Anak buah Seladi tidak membawa kelengkapan surat-menyurat saat berkendara.
“Ya beginilah, kalau memang salah ya harus mau diberi sanksi,” katanya sambil tersenyum kecut.
Ya beginilah, kalau memang salah ya harus mau diberi sanksi,
Seladi, seperti tak pernah berhenti membanjiri bumi dengan kesederhanaan dan kejujurannya. Semoga akan terus lahir Seladi-Seladi lain di negeri tercinta ini.