Akankah dominasi peternak sapi perah di hulu berlanjut dengan kebijakan yang tak memihak mereka? Tanpa keberpihakan, peternak rakyat hanya akan jadi ampas pahit di pasar dan industri susu nasional.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Gerai minuman dan kedai kopi menjamur di kota-kota besar di Indonesia beberapa tahun terakhir. Di Jabodetabek, gerai dan kedai bisa dengan mudah dijumpai di pusat perbelanjaan, perkantoran, pertokoan, pinggir jalan raya, dan di permukiman. Berdiri nyaris tak berjarak.
Di antara banyak minuman yang ditawarkan, kopi susu menjadi salah satu menu favorit. Tak hanya di gerai dan kedai fisik, menu kopi ”kekinian” dijajakan melalui aplikasi pemesanan yang bisa diakses lewat gawai dari mana saja. Dengan teknologi, gelas demi gelas minuman dipesan dan diantar secara masif ke tangan pembeli.
Laporan ”2019 Year in Search Indonesia” menyebut, pencarian dengan kata kunci kopi pada mesin pencari Google tahun lalu melonjak 1,3 kali lipat dibandingkan dengan setahun sebelumnya. Adapun pencarian gula aren, ”teman” kopi dan susu, melonjak 2,2 kali lipat. Lonjakan tersebut melanjutkan tren setahun sebelumnya.
Data lain, Kementerian Pertanian dalam Outlook Susu 2018, mengutip data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik, menyebutkan, konsumsi susu murni melonjak dari 0,15 liter per kapita tahun 2016 menjadi 0,31 liter per kapita per tahun 2017.
Segenap fenomena itu sejatinya menggambarkan pasar sekaligus peluang baik bagi industri susu nasional. Sebagaimana proyeksi sejumlah lembaga, kebutuhan susu akan terus tumbuh, sejalan pertumbuhan penduduk dan kelompok masyarakat ekonomi menengah serta perubahan gaya hidup.
Asosiasi Industri Pengolahan Susu memperkirakan kebutuhan pasar susu nasional mencapai 6,5 juta ton tahun 2020, naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2010 yang masih 3,2 juta ton. Sayangnya, pertumbuhan konsumsi tak sejalan dengan produksi susu segar Indonesia. Pada 2018, menurut Kementerian Pertanian, produksinya disebut 909.638 ton atau turun dibandingkan tahun 2017 yang tercatat 928.108 ton.
Perkembangan pasar susu juga belum sejalan dengan kesejahteraan peternak sapi perah. Selain problem klasik di hulu, yakni soal ketersediaan bibit sapi unggul dan keterbatasan lahan pakan, peternak juga menghadapi ketidakpastian pasar dan harga jual susu.
Dengan struktur pasar yang cenderung oligopsoni, yakni banyak penjual (peternak) dan segelintir pembeli (industri pengolah), peternak tak berdaya menentukan harga. Karakteristik produk yang mudah rusak juga tak menguntungkan peternak.
Situasinya makin mengimpit peternak sapi perah ketika pemerintah tak lagi mewajibkan industri pengolah menyerap susu dari peternakan rakyat tahun 2018 sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 33 Tahun 2018.
Dampaknya, pasar susu peternak semakin tak terjamin. Situasi itu tecermin dari terus turunnya kontribusi susu produksi domestik. Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, susu segar dalam negeri disebut mampu memenuhi 50 persen kebutuhan nasional. Namun, kontribusinya kini kurang dari 20 persen, bahkan lebih rendah lagi.
Tanpa keberpihakan pemerintah, sektor yang bertahun-tahun jadi sumber penghidupan masyarakat ini bakal makin tenggelam. Apalagi, investor besar dan perusahaan multinasional mulai gencar ekspansi untuk memanfaatkan pasar yang prospektif.
Akankah dominasi peternak rakyat di hulu berlanjut dengan kebijakan yang tak memihak mereka? Tanpa keberpihakan, peternak rakyat hanya akan jadi ampas pahit di pasar dan industri susu nasional.