Lima Gedung Kebanjiran, Kemenkeu Ajukan Klaim Asuransi Rp 50,68 Miliar
Sejauh ini pengasuransian barang milik negara hanya untuk gedung dan bangunan milik Kementerian Keuangan. Ke depan, pengasuransian akan dilakukan secara bertahap pada seluruh kementerian dan lembaga.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk pertama kali, pemerintah mengajukan klaim asuransi atas barang milik negara yang terdampak bencana. Klaim asuransi masih sebatas gedung dan bangunan yang berfungsi sebagai layanan publik.
Pemerintah mulai mengasuransikan barang milik negara (BMN) untuk mengantisipasi dampak bencana secara bertahap hingga 2023. Pengasuransian BMN berlaku untuk bangunan-bangunan bernilai ekonomi tinggi dan berfungsi sebagai layanan publik.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan, ada lima bangunan kantor Kementerian Keuangan yang terdampak bencana banjir awal tahun 2020. Estimasi kerugian atau nilai pertanggungan kelima bangunan itu mencapai Rp 50,68 miliar.
”Pemerintah akan mengajukan klaim asuransi kerusakan bangunan. Ini sekaligus uji coba program asuransi bencana yang digagas sejak 2019,” kata Isa.
Klaim bangunan yang terdampak banjir adalah gedung Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Cibitung senilai Rp 8,4 miliar, KPP Pratama Cibinong Rp 6,3 miliar, KPP Pratama Bekasi Utara Rp 1,5 miliar, KPP Pratama Bekasi Selatan Rp 24,9 miliar, serta Balai Laboratorium Bea dan Cukai Tipe A Jakarta Rp 9,5 miliar. Saat ini, klaim asuransi baru diajukan untuk gedung dan bangunan milik Kemenkeu.
Isa mengatakan, pengasuransian BMN diharapkan mengurangi beban APBN dan mempercepat rehabilitasi bangunan. Selama ini seluruh biaya rehabilitasi bangunan akibat bencana bersumber dari APBN sehingga prosesnya bisa bertahun-tahun. Ini karena alokasi APBN yang terbatas.
”Risiko bencana semakin besar sehingga program asuransi diperlukan karena apabila mengikuti proses APBN lama,” kata Isa.
Risiko bencana semakin besar sehingga program asuransi diperlukan karena apabila mengikuti proses APBN lama.
Ketua Konsorsium Asuransi BMN, yang juga Direktur Pengembangan Bisnis Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo), Sahata Lumban Tobing mengatakan, pengajuan klaim asuransi BMN segera ditindaklanjuti. Saat ini memasuki proses survei klaim kerugian ke lokasi bencana. Proses survei akan selesai akhir Januari 2020.
”Nantinya akan dihitung jumlah klaim yang sesuai dengan kontrak polis, berikut teknisnya,” ujar Sahatan.
Pelaksana jasa asuransi BMN adalah konsorsium asuransi yang terdiri dari 50 perusahaan asuransi dan 6 perusahaan reasuransi. Konsorsium dibentuk karena nilai aset pemerintah yang akan diasuransikan sangat besar. Perusahaan yang terlibat dalam konsorsium asuransi juga harus memiliki nilai modal lebih dari Rp 1,5 triliun.
Pengasuransian bertahap
Direktur Barang Milik Negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Encep Sudarwan mengatakan, sejauh ini pengasuransian BMN hanya untuk gedung dan bangunan milik Kemenkeu. Ke depan, pengasuransian BMN akan dilakukan secara bertahap pada semua kementerian dan lembaga.
Untuk tahap awal, pada 2019, pemerintah mengasuransikan 1.360 gedung Kemenkeu senilai Rp 10,84 triliun. Premi asuransi yang harus dibayar Kemenkeu sekitar Rp 21,26 miliar per tahun. Selanjutnya, asuransi akan menjamin BMN di 10 kementerian/lembaga pada 2020, 20 kementerian/lembaga tahun 2021, 40 kementerian/lembaga pada 2022, dan seluruh kementerian/lembaga tahun 2023.
Implementasi asuransi tak bisa dilakukan secara serentak karena bergantung dari kesiapan kementerian/lembaga dan konsorsium asuransi. Adapun aset BMN setelah revaluasi diperkirakan mencapai Rp 6.000 triliun.
Tahapan pelaksanaan pengasuransian BMN ini diatur dalam Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 253 Tahun 2019. BMN yang diasuransikan untuk tahun 2019 mencakup gedung bangunan kantor, bangunan pendidikan, dan bangunan kesehatan.
Pengasuransian BMN diharapkan dapat mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berdasarkan peta risiko fiskal tahun 2020 yang dihitung Kemenkeu, bencana alam menjadi sumber risiko fiskal bagi APBN. Rata-rata kerugian ekonomi langsung akibat bencana alam tahun 2000-2016 mencapai Rp 22,85 triliun per tahun.
Sementara rata-rata realisasi dana cadangan penanggulangan bencana pada APBN periode 2005-2018 hanya sekitar Rp 2,5 triliun per tahun.
Sebagai perbandingan, rehabilitasi bencana besar, seperti gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004, membutuhkan dana Rp 51,4 triliun, sementara APBN hanya mampu Rp 3,3 triliun atau 7,9 persen dari total kerugian. Hal serupa terjadi saat bencana gempa di DI Yogyakarta yang mengakibatkan kerugian Rp 26,1 triliun, sementara APBN Rp 2,9 triliun atau 11,1 persen dari total kerugian.