Warga sejumlah desa yang terdampak banjir dan longsor di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, masih terisolasi. Mereka harus bertaruh nyawa demi mendapatkan bantuan. Dibantu sejumlah sukarelawan, mereka membuka akses ke desanya.
Oleh
Aguido Adri
·5 menit baca
Seusai subuh, Rabu (8/1/2020), Yuni (50), Titin (50), dan Yanti (30), bersama enam warga lain bergegas dari rumah mereka di Kampung Pasir Walang I Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, untuk mengambil bantuan.
Sekitar pukul 08.00 mereka sudah berada di Kampung Pasir Kupa, Desa Harkatjaya. Setelah menunggu lama, pada pukul 10.30 rombongan tersebut akhirnya mendapatkan logistik. Tak semua kebutuhan, seperti makanan, lilin, dan obat, bisa mereka dapatkan karena mulai berkurangnya logistik. Mereka hanya membawa sebagian pakaian. Pagi itu, bantuan logistik belum banyak yang datang ke Kampung Pasir Kupa.
Setelah berkemas dan memasukkan logistik ke dalam karung, mereka kembali ke kampungnya melalui jalur Kiara Pandak. Siang itu langit berubah menjadi gelap. Sekitar pukul 11.00 turun hujan deras.
Tiada mantel atau payung yang menaungi rombongan, hanya karung berisi logistik sebagai pelindung kepala. Perjalanan menanjak, licin, dan berlumpur bekas longsoran membuat langkah kaki para ibu ini melambat.
Di titik longsor kedua, perjalanan terhenti karena alat berat sedang mengeruk tanah untuk membuka jalan. Seorang petugas menghampiri rombongan, mengimbau tidak meneruskan perjalanan karena jalan belum bisa dilalui. Lumpur tebal dan kondisi tebing bekas longsor masih labil.
Petugas pun tidak meneruskan pengerukan lumpur karena hujan semakin deras. Selain membahayakan, alat berat yang terus dipaksa hidup saat hujan juga akan merusak mesin.
Hampir 15 menit rombongan menunggu, kembali ke Harkatjaya atau meneruskan perjalanan. ”Bismilah, ayo kita teruskan perjalanan. Insya Allah aman,” kata Yuni dan disetujui warga lainnya.
Rasa waswas menghampiri. Jalan berbatu bercampur lumpur sehingga kaki gampang terpeleset. Langkah mereka semakin cepat melewati titik longsor. Sebagian tanah mulai turun ke arah rombongan.
Setelah setengah jam melewati titik longsor, Titin tampak kelelahan, mukanya memerah, napasnya tersengal. Langkahnya melambat. Sementara enam warga lainnya sudah tak terlihat. Kondisi jalan dan beban karung yang harus ia pikul membuatnya berhenti untuk istirahat sejenak. Yanti dan Yuni pun menghentikan langkah ketika melihat Titin. Rombongan tersebut akhirnya terpecah dua. Yanti, Yuni, dan Titin jauh tertinggal.
Di titik longsor selanjutnya, tumpukan tanah basah setinggi sekitar 130 cm menghadang tiga perempuan tersebut. Kali ini Yanti kesulitan melewati. Sandal jepitnya putus karena berusaha mengeluarkan kaki kanan yang tertanam lumpur.
Begitu pula dengan Titin, sepatu bot sebelah kanannya terjebak dan tidak bisa keluar dari tumpukan tanah. Ia melepas sepatu bot dari kakinya dan menarik sekuat tenaga menggunakan tangan.
Beberapa kali harus melewati lumpur setinggi setinggi 60 cm, bahkan pernah masuk kubangan lumpur setinggi 1 meter. Makanya perlu hati-hati dan pintar pilih jalur.
Berbagai rintangan, seperti kubangan lumpur setinggi 1 meter hingga harus memilih jalan ambles bertepi jurang atau melalui jalan berlumpur tinggi sepanjang 200 meter, harus mereka lalui.
”Kami sudah terisolasi selama tujuh hari, bantuan yang datang sangat sedikit karena jalur terputus. Sementara pasokan makanan kami semakin menipis, bantuan ini pun tak cukup,” kata Yuni setelah tiba di simpang Kampung Pasir Walang 1 setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam.
Sukarelawan
Demi mempermudah korban yang masih terisolasi mendapat bantuan, para sukarelawan juga terus berusaha mendistribusikan berbagai kebutuhan. Deden (25) dan kawan-kawannya yang masih bertahan di Desa Adat Urug. Butuh waktu sekitar satu jam dari simpang Kampung Pasir Walang 1 menuju Desa Adat Urug. Desa ini merupakan salah satu desa yang terkena imbas banjir dan longsor. Setidaknya ada 151 jiwa di tiga RW yang terdampak.
Hingga Kamis (9/1/2020) sore, petugas Binamarga Kabupaten Bogor sudah membuka 9 titik longsor dari total 16 titik. Di titik 10 dan 11, petugas masih berusaha membuka jalur dan sudah bisa d lalui kendaraan. Namun, pekerjaan petugas bertambah berat dengan curah hujan tinggi sejak Kamis siang. Akibatnya, terjadi longsor susulan di 14 titik.
”Stok logistik masih kurang di Desa Adat Urug. Sukarelawan lain ada yang mengirim logistik, tetapi harus kami pilah karena Abah Ukat (Kepala Adat Desa Urug) tidak mau sembarangan menerima bantuan. Bantuan harus disesuaikan dengan kebutuhan warga desa,” kata Deden.
Abah Ukat tidak ingin seperti desa lainnya yang menjadi kumuh karena terlalu banyak bantuan yang tidak tepat guna. Pakaian menumpuk hingga sampah dari para sukarelawan memenuhi desa.
Sukarelawan lainnya, Iwan (50) dan Abimanyu (50), dari Perpolisian Masyarakat Bogor Raya, yang pertama kali membuka jalur Parigi menuju Kampung Pasir Kupa, Desa Harkatjaya. Dibantu warga dengan peralatan seadanya, mereka membuka jalur yang tertimbun tanah.
Jalan menuju Kampung Pasir Kupa yang berlubang, licin, dan berlumpur, membuat siapa saja yang menuju kampung ini harus berhati-hati. Seusai mengantar kebutuhan pokok ke Desa Adat Urug, mereka melewati Desa Babakan. Di desa ini mereka bertemu warga yang sakit hingga ibu hamil yang harus segera ditolong. Dengan kondisi beberapa jalur yang masih tertutup longsor dan jalan terjal, mereka membawa ibu beserta tiga anak kecilnya untuk mengungsi.
”Perjalanan membawa ibu dan tiga anaknya ke desa terdekat yang aman untuk mengungsi butuh tiga setengah jam dengan medan terjal. Beberapa kali harus melewati lumpur setinggi setinggi 60 cm, bahkan pernah masuk kubangan lumpur setinggi 1 meter. Makanya perlu hati-hati dan pintar pilih jalur,” ujar Abimanyu.
Para sukarelawan ini masih akan bertahan di lokasi bencana. Bersama warga yang menjadi korban, mereka tetap akan bertaruh nyawa demi membuka akses menuju desa-desa terdampak bencana.
Desa Adat Urug
Butuh waktu sekitar satu jam dari simpang Kampung Pasir Walang 1 menuju Desa Adat Urug. Desa ini merupakan salah satu desa yang terkena imbas banjir dan longsor. Setidaknya 151 jiwa di tiga RW terdampak.
Kekhawatiran bencana sudah diingatkan jauh hari oleh Abah Ukat. Selama turun-temurun, warga selalu menjaga lingkungan dan hutan. Mereka sadar jika alam dirusak akan menimbulkan bahaya. Sumber kehidupan akan menjadi sumber bahaya.
”Ada hukuman bagi yang menebang pohon. Bahkan, ada satu orang yang izin menebang pohon bambu tidak saya kasih karena jika sekali saya izinkan orang lain akan meminta juga. Sudah turun-temurun kami menjaga tanah adat dengan tidak menebang pohon secara sembarangan. Sudah sejak lama berhektar tanah kami tanam pohon untuk menjaga lingkungan,” kata Abah Ukat.
Bencana banjir dan longsor, kata Abah Ukat, menjadi pengingat untuk semua orang bahwa menjual lahan untuk dijadikan tempat bertani atau pemukiman baru dengan cara menebang pohon sehingga alam rusak berakibat fatal untuk wilayah yang luas. ”Alam dan manusia adalah sahabat. Manusia hidup dari alam. Air adalah kehidupan. Air itu yang harus kita jaga,” kata Abah Ukat.