DBD Merenggut Satu Anak, 49 Anak Menjalani Perawatan di Sikka
Demam berdarah dengue mewabah di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Satu anak meninggal dunia, sementara 49 anak dirawat di tiga rumah sakit berbeda.
Oleh
KORNELIUS KEWA AMA
·4 menit baca
MAUMERE, KOMPAS — Demam berdarah dengue mewabah di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Satu anak meninggal dunia, sementara 49 orang dirawat di tiga rumah sakit berbeda.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Sikka Petrus Herlemus Baru, dihubungi di Maumere, Kabupaten Sikka, Jumat (10/1/2020), mengatakan, kasus ini mulai terdeteksi sejak Desember 2019 sampai hari ini. DBD muncul serentak pada bulan Desember dan terus meluas sampai di 7 kecamatan dari total 21 kecamatan di Sikka.
”Satu korban meninggal dunia, yakni Elisabeth Marsela, usia satu tahun. Ia meninggal dunia setelah dirawat satu hari di RSUD TC Hillers Maumere. Korban diantar orangtua dalam kondisi muntah-muntah, syok, dan kesadaran menurun. Kondisi pasien sudah grade tiga sampai empat,” kata Petrus.
Ia sempat dirawat di ruang rawat anak, tetapi kondisinya memburuk sehingga dipindahkan ke ruang ICU hingga meninggal dunia, Selasa (7/1/2020) pukul 16.00 Wita. Padahal, petugas kesehatan sudah berupaya maksimal menyelamatkan korban.
Sementara itu, 49 pasien DBD masih dirawat di tiga rumah sakit umum berbeda, yakni RSU Katolik Santa Elisabeth Lela 15 anak, RSUD TC Hiller Maumere 20 anak, dan RSU Katolik Kewapante 14 anak. Mereka diantar orangtua dengan surat rujukan dari puskesmas masing-masing.
Para pasien berasal dari berbagai kecamatan, yakni Magepanda sebanyak 22 kasus, Alok Barat 10 kasus, Alok dan Alok Timur masing-masing 6 kasus. Kecamatan Mego, Paga, Hewokloang, Bola, dan Kecamatan Waigete masing-masing 1 kasus. Semua pasien DBD ini usia delapan bulan sampai dengan 12 tahun, dirawat di ruang rawat anak, di tiga rumah sakit tersebut.
Mereka masih dalam proses perawatan. Sebelumnya, pihak rumah sakit sudah memulangkan sekitar 400 pasien, setelah dinyatakan sehat. Rata-rata para pasien berusia delapan bulan hingga 13 tahun.
Dr Mario Nara Sina, SpA di RSUD TC Hillers Maumere mengatakan, umumnya penderita DBD kekurangan trombosit. Idealnya trombosit seseorang 150.000 -400.000 per mikroliter, tetapi saat terserang DBD menurun sampai 400 per mikroliter.
Penyakit ini ditimbulkan oleh virus dengue akibat gigitan nyamuk Aedes aegypti. Cara yang dapat dilakukan mengatasi yakni menghilangkan nyamuk jenis ini di permukiman penduduk.
Kasus DBD di Sikka periode ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2018/2019. Sebelumnya, hingga 10 Januari belum ada korban meninggal dunia dan jumlah pasien DBD yang dirawat hanya 21 kasus. Bupati telah mengeluarkan surat edaran ke setiap camat dan kepala desa (lurah) untuk mencegah kasus ini dengan menjaga lingkungan masing-masing.
Orangtua penderita DBD, Nunce Isabela, yang sedang menjaga putrinya, Putri Tasya Tiong (3), di RSUD TC Hillers, mengatakan, dirinya sangat kaget saat tahu putrinya menderita DBD. Setiap kamar tidur dia pasangi kelambu sehingga kemungkinan Putri digigit nyamuk sangat kecil. Putri sudah dua hari dirawat di rumah sakit setelah mengalami demam dan muntah selama satu hari di kediaman mereka.
”Kami langsung bawa Putri ke Puskemas Nita. Di sana ia terdeteksi menderita DBD sehingga dirujuk langsung ke RSUD ini. Kemungkinan Putri digigit nyamuk saat bermain di luar rumah bersama kawan-kawan, atau juga di dalam rumah,” kata warga Desa Nita, Kecamatan Nita, itu.
Putri Tasya Tiong adalah salah satu dari 49 pasien DBD yang saat ini sedang dirawat di RSUD TC Hillers. Kemungkinan jumlah ini terus bertambah karena musim hujan masih berlangsung tiga bulan lagi.
Direktur Yayasan Tukelakang NTT Marianus Minggo mengatakan, kepemimpinan daerah masih lemah mengatasi kasus ini. Dalam tujuh tahun terakhir Sikka sudah empat kali masuk kategori kejadian luar biasa (KLB). Semestinya, belajar dari empat KLB itu, Pemda Sikka sudah menyusun satu masterplan penanganan DBD secara dini dan komprehensif di Sikka. Sebelum musim hujan tiba, pemda sudah mengantisipasi munculnya DBD dengan melibatkan semua instansi terkait.
Ia mengatakan, program-program penanggulangan DBD sudah ada, tetapi aplikasi di lapangan kosong karena semua pihak saling menunggu. Setelah ada kasus yang merenggut nyawa anak-anak tak berdosa, instansi terkait seperti Dinas Kesehatan, Dinas Kebersihan dan Tata Kota, dan Dinas Permukiman dan Kependudukan mulai bergerak. Itu pun diawali dengan pertemuan berhari-hari.
”Mereka mengajak masyarakat untuk menguras, mengubur, dan menutup setiap wadah air yang menjadi tempat bertelur nyamuk Aedes aegypti, kemudian dilanjutkan dengan fogging, dan pembagian kelambu. Ini program klasik, yang sebenarnya tidak perlu dibahas, tetapi harus menjadi kebiasaan Pemda bersama masyarakat untuk merealisasikan, pada awal musim hujan,” kata Minggo.
Ia mengatakan, soal DBD tidak hanya di Sikka. Belajar dari periode sebelumnya, kasus serupa mewabah hampir seluruh kabupaten seperti Kota Kupang, Kabupaten Sumba Timur, Malaka, Lembata, dan Timor Tengah Utara. Daerah-daerah itu juga harus siap sebelum ada kasus.