Dewan Pengawas KPK Belum Terima Permohonan Izin Penggeledahan Terkait Kasus Caleg PDI-P
Keberadaan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi membuat prosedur penegakan hukum semakin panjang. Kali ini, surat permohonan penyidikan dari Dewan Pengawas menjadi diskursus di tengah proses hukum yang berjalan.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum menerima surat permintaan penggeledahan dan penyitaan kasus dugaan suap permohonan penggantian antarwaktu anggota DPR dari PDI-P. Penggeledahan dan penyitaan oleh KPK dapat dilakukan setelah mendapat izin Dewan Pengawas KPK.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) KPK Nomor 19 Tahun 2019 Pasal 47 (1), dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewas. Pasal (2) disebutkan, Dewas dapat memberikan izin tertulis atau tidak memberikan izin tertulis terhadap permintaan izin sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) paling lama 1 x 24 jam sejak permintaan izin diajukan.
Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Panggabean menyampaikan, belum ada permintaan dari pimpinan KPK untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan atas kasus dugaan suap terkait permohonan penggantian antarwaktu anggota DPR dari PDI-P. Jika sudah ada permintaan, tentu akan dibahas terlebih dahulu.
Belum adanya permohonan terkait penyidikan juga dibenarkan anggota Dewas Pengawas lain, yakni Syamsudin Haris dan Albertina Ho. ”Untuk (kasus dugaan suap) KPU, belum ada permintaan izin,” ujar Syamsudin.
”Dewas belum terima,” tambah Albertina, Jumat (10/1/2020).
Di sisi lain, pimpinan KPK menyatakan telah mengajukan permohonan penyidikan atas kasus dugaan suap terkait dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait dengan penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024.
Sejauh ini, KPK telah menerbitkan surat perintah penyidikan dan menetapkan empat tersangka, termasuk Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan. Meski demikian, proses penyidikan belum dilakukan karena penyidikan harus melalui izin Dewan Pengawas (Dewas).
”Kalau sprindik sudah terbit dan mungkin besok penyidikan, pasti mereka (tim KPK) akan melakukan penggeledahan, kan. Pasti harus melewati Dewas,” kata Lili, Kamis (9/1/2020) malam.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri pun membenarkan tim penyidik KPK sudah mulai bekerja sejak semalam. Namun, untuk kepentingan penyidik, belum dapat disampaikan secara detail terkait lokasinya.
”Tim penyidik sejak semalam sudah langsung bekerja dan saat ini izin dari Dewan Pengawas untuk melakukan beberapa kegiatan di beberapa tempat sudah kami terima,” ujar Ali.
Dalam kasus ini, selain Wahyu sebagai pihak penerima, KPK juga menetapkan status tersangka kepada mantan anggota Badan Pengawas Pemilu sekaligus orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina. Adapun sebagai pemberi yang ditetapkan tersangka adalah calon anggota legislatif PDI-P dari dapil Sumatera Selatan I, Harun Masiku dan anggota staf Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, Saiful, sebagai tersangka.
Wahyu diduga telah menerima Rp 600 juta dari Rp 900 juta untuk menjadikan Harun Masiku, calon anggota legislatif dari PDI-P, sebagai anggota DPR pengganti antarwaktu. Padahal, dalam rapat pleno, KPU menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin Kiemas, bukan Harun.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Adnan Topan Husodo, menyatakan, inilah celah dari UU Nomor 19/2019 yang dapat menghambat kerja penegakan hukum dari KPK. Sebab, rute birokrasi penegakan hukum menjadi lebih panjang karena adanya konsep Dewan Pengawas.
Belum lagi, kata Adnan, keadaan ini juga menimbulkan kerawanan terhadap gugatan praperadilan dari para tersangka. Sebab, kegiatan tangkap tangan merupakan tindakan hukum yang harus memiliki kejelasan dalam aturannya.
”Kami memang belum melihat apa reaksi dari para tersangka yang ditetapkan oleh KPK. Bisa saja nantinya mereka akan mempersoalkan prosedural yang ada di KPK,” ujarnya.
Untuk itu, UU Nomor 19/2019 harus dibatalkan demi menguatkan kembali lembaga antirasuah. ”Kita berharap di persidangan MK, itu yang diputuskan (pembatalan UU 19/2019) oleh MK,” ucap Adnan.