Dijual Lewat Medsos, Dua Bayi Orangutan Diselamatkan
Dua bayi orangutan sumatera, korban perburuan di Taman Nasional Gunung Leuser, diselamatkan dari perdagangan ilegal satwa. Pelaku diduga tergabung dalam jaringan perdagangan besar yang menjual satwa lewat media sosial.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Dua bayi orangutan sumatera, korban perburuan di Taman Nasional Gunung Leuser di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, diselamatkan dari perdagangan ilegal satwa. Orangutan itu diburu warga desa penyangga yang masih buron. Pelaku diduga tergabung dalam jaringan perdagangan besar yang menjual satwa lewat media sosial.
”Kami menyelamatkan dua orangutan dari upaya perdagangan ilegal. Satwa dilindungi itu sudah sempat dipromosikan lewat media sosial,” kata Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Jefry Susyafrianto di Medan, Jumat (10/1/2020).
Kami masih mencari pelaku yang berperan sebagai pemburu dan pedagang satwa dilindungi.
Jefry mengatakan, satwa itu dapat diselamatkan setelah mereka mendapat informasi dari warga yang menyatakan ada dua orangutan ditangkap oleh pemburu di Desa Simpang Pulau Rambung, Kecamatan Bahorok, Langkat. Wilayah itu merupakan desa penyangga taman nasional yang berada sekitar 8 kilometer dari kawasan TNGL.
Petugas Balai Besar TNGL pun langsung berpatroli ke desa itu dan menemukan bayi orangutan berada di rumah Riswansyah alias Iwan Gondrong (38). Bayi orangutan dikurung dalam keranjang plastik yang sempit. Namun, petugas tidak menemukan Riswansyah di rumah itu. Hanya ada istri dan anaknya. ”Kami masih mencari pelaku yang berperan sebagai pemburu dan pedagang satwa dilindungi,” kata Jefry.
Jefry mengatakan, orangutan sumatera merupakan spesies kunci di TNGL bersama tiga spesies lainnya, yakni gajah sumatera, harimau sumatera, dan badak sumatera.
Namun, orangutan sumatera kini terus menghadapi ancaman, khususnya kerusakan habitat, kehilangan habitat, dan perburuan. Status konservasi orangutan sumatera kini sudah kritis dengan populasi sekitar 14.600 individu.
Kepala Seksi Wilayah I Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sumatera Haluanto Ginting mengatakan, mereka berfokus mencari pelaku dan membongkar jaringan perdagangan di belakangnya. Jaringan perdagangan satwa biasanya memanfaatkan warga desa penyangga untuk berburu satwa.
”Sindikat yang lebih besar lalu menampung satwa dan menjualnya di dalam negeri hingga luar negeri,” katanya.
Haluanto mengatakan, perburuan dan perdagangan ilegal itu diancam dengan Pasal 21 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ancaman hukumannya maksimal penjara lima tahun dan denda Rp 100 juta.
Sementara itu, dua satwa itu akan menjalani pemeriksaan dan perawatan kesehatan di pusat karantina dan rehabilitasi orangutan. Keduanya akan dilepasliarkan jika kondisinya sudah mampu bertahan hidup di alam liar. Satu di antaranya diduga sudah lama ditangkap dan sudah jinak.
Para pemburu biasanya hanya mengambil bayi orangutan, sedangkan induknya kemungkinan besar dibunuh.
Ketua Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Center Panut Hadisiswoyo mengatakan, penyitaan dua bayi orangutan itu menunjukkan perburuan orangutan masih terus terjadi. Ini merupakan ancaman besar bagi orangutan.
Setiap tahun, petugas menyita sekitar 15 ekor orangutan sumatera yang hendak diperdagangkan atau yang sudah dipelihara masyarakat. Para pemburu biasanya hanya mengambil bayi orangutan, sedangkan induknya kemungkinan besar dibunuh.
”Perburuan dua bayi berarti dua induk orangutan juga mati. Bayi orangutan selalu dipeluk induknya hingga usia delapan tahun dan hanya bisa diambil jika induknya dibunuh,” kata Panut.
Panut mengatakan, TNGL merupakan habitat orangutan sumatera yang terbesar yang masih tersisa saat ini. Populasi orangutan sumatera di TNGL yang berada di Aceh dan Sumut itu sekitar 10.000 individu, yang terbagi di blok timur dan blok barat.
Selain perburuan, kata Panut, ancaman terbesar yang dihadapi adalah kerusakan dan kehilangan habitat. Dalam 75 tahun terakhir, populasi orangutan sumatera menurun 80 persen, terutama akibat kerusakan dan kehilangan habitat.