Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mempertimbangkan dua dari tiga pilihan penurunan harga gas. Opsi pembebasan impor dinilai justru berpotensi menambah defisit neraca berjalan dan menekan nilai tukar rupiah.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mempertimbangkan dua dari tiga opsi penurunan harga gas industri. Keduanya dinilai bisa membuat harga gas menjadi lebih kompetitif.
Dua opsi itu adalah menurunkan atau menghapus porsi pemerintah dari bagi hasil kegiatan kontraktor kontrak kerja sama senilai 2,2 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Opsi lainnya adalah memberlakukan kewajiban badan usaha pemegang kontrak kerja sama untuk menyerahkan sebagian gas kepada negara (domestic market obligation/ DMO).
Selain dua opsi itu, pemerintah menyampaikan opsi lain, yakni memberikan keleluasaan impor untuk gas industri. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta para menteri terkait mengkaji pilihan dan mengambil keputusan dalam tiga bulan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif di Jakarta, Kamis (9/1/2020), menyatakan, pemerintah tengah mengkaji dua dari tiga opsi tersebut.
”DMO penting untuk menghambat impor. Karena kalau impor, kita akan menghadapi problem lain, yaitu defisit transaksi berjalan (CAD). Kalau CAD meningkat terus, akan menyebabkan tekanan ke nilai tukar rupiah,” kata Arifin.
Kementerian ESDM akan memetakan hulu sampai hilir, mulai dari sumber gas, tata kelola dan tata niaga, serta biaya yang ada. Dengan demikian, pemerintah akan menyesuaikan harga gas dengan mempertimbangkan keuntungan yang wajar bagi pelaku usaha.
Hitung kemampuan
Di sisi lain, pemerintah mendapatkan harga gas yang kompetitif sehingga dapat mendorong industri nasional. Proses evaluasi itu diharapkan selesai dan dapat dilaksanakan akhir triwulan I-2020.
Menurut Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto, melalui pemberlakuan DMO, kebutuhan gas dalam negeri akan diutamakan dibandingkan ekspor. Adapun PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN akan diminta untuk membeli gas.
Saat ini PGN tengah menghitung kemampuannya untuk membeli gas agar harga di tangan konsumen dapat sebesar 6 dollar AS per MMBTU. PGN akan menghitung biaya transmisi, distribusi, dan keuntungannya.
”Terakhir PGN menang lelang dapat 4,8 dollar per MMBTU. Artinya, masih ada selisih 1,2 dollar AS bagi PGN sebelum sampai di konsumen,” kata Djoko.
Kementerian ESDM juga tengah mengkaji opsi menurunkan atau menghapus porsi pemerintah dari bagi hasil kegiatan kontraktor kontrak kerja sama. Djoko mencontohkan, jika harga beli gas di hulu 4 dollar AS per MMBTU, sementara harga keekonomian kontraktor adalah 5 dollar AS per MMBTU, selisih 1 dollar itulah yang kemudian dimasukkan sebagai porsi pemerintah.
Mandatori biodiesel
Selain itu, pemerintah juga mulai mengkaji program B40 atau pencampuran 40 persen biodiesel dalam setiap liter solar meski saat ini program mandatori B30 baru mulai. Kajian dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) bersama PT Pupuk Kujang dan Institut Teknologi Bandung.
Menurut Arifin, untuk memastikan kualitas dan tidak memberikan dampak buruk bagi pengguna, pemakaian biodiesel jenis baru mesti dites terlebih dahulu.
Sebagaimana B30 yang bersifat melenyapkan karat, pada awalnya akan terdapat masalah di filter atau komponen penyaring di kendaraan. Namun, setelah itu mesin akan lebih bersih.