Jiwa Muda Menyemai Cinta Alam lewat Jurnalistik
Persoalan lingkungan perlu digaungkan di kalangan pers mahasiswa. Mahasiswa dari beberapa kampus di Aceh dibekali pengetahuan menulis isu-isu lingkungan. Mereka membuka ruang pikir dan menyemai cinta pada lingkungan.
Saat dua bus membawa peserta kemah jurnalistik lingkungan tiba di lokasi wisata air terjun Seuhom, Desa Krueng Kala, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, Sabtu (28/12/2019), hari mulai sore.
Dari Banda Aceh butuh waktu 1 jam mencapai lokasi. Kicauan burung, suara gemercik air, dan udara sejuk bak simfoni alam yang menghadirkan kedamaian.
Sebelum gelap, peserta segera mendirikan tenda, lokasinya tepat di hadapan air terjun. Kemah jurnalistik lingkungan digelar oleh Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Aceh, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh, dan USAID Lestari.
Peserta dibekali pengetahuan teknik menulis berita, fotografi, dan videografi yang mengangkat isu lingkungan. Selain teori, mereka juga praktik lapangan merekam gambar dengan telepon seluler.
Materi disampaikan oleh Sekretaris AJI Banda Aceh Afifuddin, fotografer Agence France Press Chaideer Mahyuddin, mantan Ketua PFI Aceh Fendra, dan pengurus IJTI Aceh Hidayatullah.
Karena alam tidak bisa bersuara, dia perlu kita bela.
Fendra menuturkan tidak banyak jurnalis muda tertarik meliput isu lingkungan, sebab isu itu tidak seksi seperti politik dan kriminal. Meliput isu lingkungan harus diawali dengan rasa cinta dan pemahaman yang komprehensif.
Fendra menuturkan berbagai persoalan lingkungan kini terjadi di Aceh, seperti kerusakan hutan, konflik satwa, dan kebakaran lahan. ”Karena alam tidak bisa bersuara, dia perlu kita bela. Saya berharap kalian adalah penerus jurnalis yang cinta lingkungan,” kata Fendra.
Meski tak bisa bersuara, alam akan memberontak jika terus disakiti. Bentuknya, menurut Fendra, berupa bencana alam seperti banjir, longsor, kekeringan, dan pemanasan global.
Data dari Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), pada 2018 terjadi 294 kali bencana dengan nilai kerugian Rp 800 miliar. Dari total nilai kerugian Rp 600 miliar di antaranya dampak dari bencana banjir dan longsor.
Fotografer AFP Chaideer menuturkan, jurnalis berperan menyelamatkan lingkungan lewat kampanye dan advokasi. Untuk memahami persoalan lingkungan secara mendalam, jurnalis harus turun ke lokasi.
”Foto jurnalistik bicara jujur dan memiliki kekuatan dahsyat. Foto tidak mesti indah yang penting punya cerita dan makna,” ujar Chaideer.
Chaideer mengatakan, satu lembar foto jurnalistik menjadi simbol dari persoalan besar. Dia mencontohkan foto bangkai gajah merupakan perwakilan dari kondisi satwa lindung gajah sumatera yang hidupnya kian terancam karena perburuan dan perusakan habitat.
”Namun sebelum motret isu lingkungan, cari referensi dan dalami supaya foto benar-benar berbicara,” kata Chaideer.
Malam itu, jurnalis kampus belajar di ruang terbuka, duduk di bawah terang bulan beralaskan tikar. Mereka antusias mendengar paparan teknik membuat laporan jurnalistik lingkungan sambil menikmati kacang dan jagung rebus.
Mutia Mukhlisa Rahmi (19) bersama dua temannya dari Kampus Politeknik Kabupaten Aceh Selatan rela menempuh perjalanan delapan jam untuk mengikuti pelatihan tersebut. Meski di perjalanan sempat mabuk darat, dia tetap semangat mengikuti kegiatan. Baginya, menulis jurnalisme lingkungan merupakan hal baru.
”Saya dapat banyak ilmu tentang isu lingkungan. Saya tertarik dengan fotografi, tanpa bicara, pesan tersampaikan kepada publik,” kata Mutia.
Mutia kuliah di jurusan teknik informatika. Di kampus, dia belajar cara membuat website, serta belajar jurnalistik dasar. Mutia ingin mendalami ilmu jurnalistik dan berharap suatu saat bisa bekerja di media arus utama.
Anies Rahmani (20), mahasiswa semester tujuh Universitas Syiah Kuala, juga terlihat antusias. Saat diminta membuat laporan jurnalistik, Anis bersama tim sepakat mengangkat pemanfaatan air terjun Seuhom sebagai tenaga listrik.
Warga Desa Krueng Kala membangun pembangkit listrik mikrohidro sekala kecil. Air terjun itu selain sebagai obyek wisata juga dimanfaatkan sebagai sumber energi. Bagi Anis, informasi tentang mikrohidro menarik untuk ditulis. Untuk mendapatkan informasi utuh, Anis mewawancarai pengelola, kepala desa, dan warga.
Biasanya di kampus dia banyak meliput kegiatan mahasiswa dan sivitas akademika. Melakukan peliputan di alam seperti air terjun merupakan pengalaman baru bagi Anis. Dia harus menyesuaikan diri dengan alam, warga, dan mencari referensi tentang pemanfaatan air sebagai energi listrik.
”Ternyata isu lingkungan tidak sebatas hutan dan binatang. Pertumbuhan penduduk, polusi udara, polusi air, kebakaran, dan bencana alam juga termasuk isu lingkungan,” kata Anis.
Anis berharap setelah menyelesaikan pendidikan S-1 ilmu komunikasi dia dapat bekerja sebagai jurnalis profesional.
Kampanye lingkungan
Sekretaris Forum Jurnalis Lingkungan Ratno Sugito menuturkan, kemah jurnalistik lingkungan digelar untuk menanam rasa cinta dan ketertarikan jurnalis kampus terhadap lingkungan. Pemilihan lokasi air terjun agar mahasiswa bisa melihat langsung pemanfaatan alam sebagai obyek wisata dan pembangkit listrik.
”Secara tidak langsung kami mau mengajak anak muda untuk peduli pada lingkungan,” ujar Ratno.
Mereka adalah generasi yang mencintai alam.
Pada kesempatan itu, Bupati Aceh Besar Mawardi Ali, jurnalis kampus, dan warga menanam pohon di kawasan air terjun. Bibit yang ditanam mangga, durian, dan rambutan. Mereka juga memungut sampah di kawasan wisata itu.
Saat menutup kegiatan itu, Mawardi menuturkan, mahasiswa perlu terlibat dalam kampanye dan menjaga lingkungan. Setelah selesai dari kampus dan kembali ke warga, mahasiswa akan menjadi agen penyebar semangat menjaga alam.
”Mereka adalah generasi yang mencintai alam,” kata Mawardi.