Limbah Medis yang Membuat Warga Resah
Berdasarkan hasil pengujian laboratorium KLHK terhadap tanah timbunan limbah medis di Desa Panguragan Kulon, ditemukan 15 jenis mikroorganisme dan seluruhnya tergolong patogen yang membahayakan kesehatan.
Timbunan bekas wadah obat, botol vaksin, dan alat suntik yang telah memadat, membentuk jalan kecil. Setiap kali kaki menginjaknya menimbulkan suara retakan kaca yang beradu dengan plastik. Tebalnya timbunan itu membuat kaki ini terasa berjalan di atas lapisan yang labil.
”Hati-hati di sini banyak jarum. Di depan saja,” ucap Nurkholis (40), warga Desa Panguragan Kulon, Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Timbunan limbah medis tersebut ditemukan di belakang rumah salah seorang warga Desa Panguragan Kulon, Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Timbunan itu merupakan sisa pengolahan limbah medis ilegal, yang sudah ditutup penegak hukum pada 2017.
Sesuai amanat Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 7 Tahun 2019 tentang Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, limbah medis merupakan salah satu jenis limbah bahan berbahaya beracun (B3) yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan atau risiko pencemaran terhadap lingkungan. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.56 Tahun 2015 pun mengatur ketat pengolahannya sehingga hanya pengolah limbah medis berizin yang bisa mengolahnya.
Selama 2017, pengolahan limbah medis ilegal di Desa Panguragan Kulon dijalankan Sersan Mayor Tumpak Dolok Saribu dengan bantuan warga setempat; Agus Seri, Nasikhin, dan 4 orang lainnya yang masih buron. Tumpak, Agus, dan Nasikhin sudah dipidana. Agus dan Nasikhin diadili di Pengadilan Negeri Sumber, Kabupaten Cirebon, sementara Tumpak di Pengadilan Militer Bandung.
Namun, setelah dua tahun berlalu, sisa limbah medis di desa itu dibiarkan begitu saja. Tak ada upaya pihak terkait untuk memindahkan limbah medis tersebut ke tempat pengolahan yang berizin agar bisa tertangani sesuai aturan.
Nurkholis, yang merupakan pekerja Tumpak, kembali mengolah timbunan limbah medis tersebut. Dia mempekerjakan sejumlah warga untuk memilah limbah medis yang laku dijual kembali.
Keberadaan rumah itu diketahui berkat bantuan warga setempat yang sangat resah dengan aktivitas pengolahan limbah medis di lingkungannya. Bahkan, warga membagikan peta lokasi timbunan limbah medis di halaman rumah, yang disebutnya milik Agus.
Selama ini sebagian warga Desa Panguragan Kulon gelisah dengan aktivitas pemilahan limbah medis di lingkungan mereka. Namun, warga tidak berani melarangnya secara terbuka karena Tumpak merupakan tentara.
Warga khawatir Tumpak akan melakukan kekerasan jika aktivitas anak buahnya memilah limbah medis diusik. Apalagi, kata warga, selama menjalankan pengolahan limbah medis di desanya, Tumpak dikenal kerap bersikap kasar terhadap pekerja.
Saat ini, kata warga, aktivitas pemilihan limbah medis di belakang rumah itu berjalan kembali. ”Ada teman saya cerita, di rumah itu masih ada yang mengolah limbah medis,” ucapnya.
Seperti rumah-rumah lainnya di Panguragan Kulon, halaman depan rumah Agus disesaki timbunan barang bekas, terutama botol bekas wadah kecap. Selama bertahun-tahun, selain bertani, warga Panguragan Kulon memang menjalankan usaha daur ulang sampah, terutama pemilahan hingga pencacahan.
Saat memasuki desa pun, pemandangan timbunan barang bekas di kanan-kiri bahu jalan jamak terlihat. Demikian pula di halaman rumah Agus yang tampak sepi seperti tak berpenghuni.
Namun, setelah masuk ke halaman belakang melalui jalan sempit di samping rumah, timbunan limbah medis menggunung setinggi 2 meter hingga nyaris tak tersisa ruang kosong di halaman seluas 100 meter persegi itu.
Saat memasuki halaman itu, kami melangkah cukup hati-hati. Jalan setapak dipadati botol-botol kaca berukuran kecil yang biasa digunakan sebagai wadah vaksin dan vitamin. Ada juga tabung-tabung plastik yang kerap dipakai sebagai wadah sampel darah saat cek kesehatan di laboratorium dan alat suntik beserta jarumnya.
Sementara di kanan kirinya dipenuhi timbunan karungberisi selang-selang infus bekas. Karung-karung itu pun kebanyakan sudah jebol sehingga selang-selang infus menjuntai keluar.
Setelah berjalan agak ke dalam, ada empat perempuan dan satu laki-laki tengah bekerja memilah limbah medis. Sementara Nurkholis duduk mengawasi mereka sehingga tidak mudah untuk mengajak para pekerja berbincang.
Keempat perempuan duduk berkelompok di bawah tenda plastik seadanya. Mereka memilah limbah medis berupa suntikan, regulator selang infus, tabung bekas wadah sampel darah, selongsong plastik penutup jarum suntik, dan berbagai peralatan medis berukuran kecil yang terbuat dari plastik. Sementara laki-laki tersebut, yang duduk memisahkan diri, bekerja memilah tabung-tabung plastik kecil.
Setiap kali mendekati pekerja, Nurkholis segera beranjak dari duduknya menghalau kami. ”Banyak jarum suntik di timbunan itu,” dalihnya.
Setelah beberapa lama duduk bersama, Nurkholis pun menuturkan, dia mulai mengolah lagi limbah medis tersebut pada Juni 2019. Tak lama setelah Tumpak keluar dari penjara.
Ia mengungkapkan bahwa timbunan itu adalah sisa limbah dari pengolahan limbah medis ilegal bosnya, Tumpak. Hanya Nurkholis sama sekali tak menyinggung Agus ataupun Nasikhin.
Setelah berjalan agak ke dalam, ada empat perempuan dan satu laki-laki tengah bekerja memilah limbah medis.
Setidaknya relasi bisnis Tumpak bersama Agus dan Nasikhin tergambarkan dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sumber, Kabupaten Cirebon. Dalam putusan Nomor 179/Pid.B/LH/2019/PN Sbr untuk perkara Agus, dan Nomor 109/Pid.B/LH/2019/PN Sbr terkait perkara Nasikhin, keduanya divonis hukuman lebih dari 2 tahun penjara.
Hingga kini, menurut Lusia Sulastri selaku pengacara probono (gratis) untuk Agus dan Nasikhin, kedua kliennya masih menjalani hukuman penjara di Cirebon. Selama proses peradilan berlangsung, pihaknya terus mendorong keduanya untuk mengungkap yang sesungguhnya. Jika keduanya divonis hukuman 2 tahun penjara, itu karena mereka sempat buron.
”Keduanya sempat buron sehingga hukumannya jadi agak berat walaupun mereka bukan pelaku utama,” jelas Lusia.
Sementara Tumpak, menurut Nurkholis, baru bebas pada Juni lalu. Sejak bebas, lanjutnya, Tumpak memerintahkannya untuk kembali mengolah timbunan limbah medis di rumah Agus.
Saat disambangi ke tempatnya bekerja, Sekolah Calon Perwira TNI Angkatan Darat di Bandung, Tumpak enggan menemui kami. Ia beralasan sedang sakit sehingga tidak bersedia ditemui.
Dalam catatan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, setidaknya masih ada empat tersangka lagi dalam perkara ini yang masih buron, yakni Darjo, Sunedi, Akhyadi, dan Sukeni. Keempatnya juga warga Desa Panguragan Kulon. Sama halnya dengan Agus dan Nasikhin, mereka juga bekerja untuk Tumpak.
Kini, dari sisa limbah medis yang ada, Nurkholis bersama lima pekerjanya mengumpulkan benda-benda medis yang berbahan plastik bening jenis polipropilena (PP), seperti tabung obat.
Menurut Nurkholis, setiap hari pekerjanya bisa memilah 100 kilogram limbah medis. Mereka diupah Rp 60.000 per hari.
Limbah yang telah dipilah, menurut Nurkholis, kemudian dicacah untuk dijual seharga Rp 5.000 per kilogram ke lapak daur ulang di Tangerang, Banten. Nurkholis enggan menyebutkan tempat ia mencacah limbah medis yang telah dipilah. Ia pun enggan menyebut pabrik peleburan plastik di Tangerang, tempatnya memasok pilahan dan cacahan limbah medis.
”Saya yang antar, di Tangerang sana. Bos (Tumpak) yang memerintah,” ucapnya.
Nurkholis mengaku tidak mengetahui persis volume timbunan limbah yang ada di belakang rumah sehingga ia tak bisa memperkirakan sampai kapan limbah itu akan habis dipilah.
Namun, jika diamati, dapat diperkirakan bahwa limbah medis yang memenuhi halaman seluas hampir 100 meter persegi dengan timbunan setinggi 1-2 meter itu setidaknya memiliki volume 100-200 meter kubik atau setara dengan 100-200 ton.
”Tidak tahu sampai kapan. Saya hanya diperintah bos untuk memilahnya sampai akhirnya bersih (habis),” ucapnya.
Tertusuk jarum
Mereka duduk beralaskan bangku papan tipis dengan dikelilingi sisa timbunan limbah medis setinggi 1-2 meter. Tanpa peralatan pelindung, mereka memilah limbah itu dengan tangan telanjang. Pilahannya dibagi ke dalam beberapa ember hitam. Sebagai contoh, selongsong plastik bekas selubung jarum suntik dipisahkan dari tabung plastik bening bekas wadah obat.
Karena sudah tertimbun cukup lama, setidaknya selama dua tahun, tak ditemukan lagi cairan dan bau darah menyengat pada limbah medis yang berserakan di halaman rumah. Hanya pada beberapa tabung bekas wadah sampel darah, masih ditemukan darah kental dan memadat di dalamnya.
Padahal, menurut SL (50), warga yang pernah ikut memilah limbah medis di desa itu selama 2017, limbah medis yang baru saja datang biasanya masih berlumuran darah. ”Kecipratan darah, ketusuk jarum. Itu pernah,” kenangnya.
Meskipun pernah bekerja memilah limbah infeksius, SL merasa hingga saat ini ia masih sehat. Namun, rona wajahnya berubah saat mengungkapkan enam warga yang bekerja memilah limbah medis bersamanya kala itu telah meninggal belum lama ini.
”Ya, enggak tahu sih apa sebabnya (meninggal), tetapi mereka sama-sama milah (limbah medis) dengan saya,” tuturnya.
Kekecewaan warga
Dari rumah Agus, kami pindah sekitar 400 meter ke rumah Nasikhin. Di halaman samping rumah Nasikhin yang berlokasi di tepi sawah, limbah medis berserakan.
Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan di halaman rumah Agus dan dibiarkan begitu saja. Tak ada pekerja yang memilahnya seperti di rumah Agus.
Seorang warga menghampiri kami. Dia mengingatkan agar berhati-hati karena banyak jarum suntik bekas berserakan di halaman.
Ia pun mengungkapkan kekecewaannya karena pemerintah tak kunjung mengangkut limbah medis itu setelah menangkap Tumpak dan kawan-kawan. Ia khawatir timbunan limbah medis lambat laun semakin mencemari lingkungan dan menimbulkan penyakit bagi warga.
”Enggak tahu ini, mau sampai kapan dibiarkan begini? Enggak diangkut-diangkut,” ujarnya.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan warga lainnya. Menurut warga, ulah Nurkholis kembali mengolah limbah medis bisa menyebabkan tumbuhnya kembali pengolahan limbah medis ilegal di desanya. ”Sekarang masalahnya limbah itu kembali diolah Kholis. Saya khawatir, ini akan terus berlanjut. Akan muncul lagi pengolahan limbah medis di desa kami,” jelasnya.
Apalagi, lanjut warga tersebut, Tumpak mengajak beberapa warga di desanya untuk kembali bekerja mengolah limbah medis di tempat lain, diduga di Kecamatan Plumbon, Cirebon. ”Informasi yang saya dengar, Tumpak mau buka lagi pengolahan limbah medis di Plumbon. Beberapa warga sini sudah ada yang diajak kerja lagi sama dia,” tuturnya.
Kekhawatirannya bukan tanpa dasar. Selama tahun 2017, warga kerap menyaksikan air bekas pencucian limbah medis mencemari saluran irigasi. Pada masa itu, ada saja petani yang mengeluh sakit gatal-gatal karena air irigasi yang tercemar pengolahan limbah medis ilegal.
”Saya juga baca berita di internet terkait bahaya limbah medis. Sementara saya juga punya anak. Saya tidak ingin anak saya terkena penyakit akibat limbah ini,” tuturnya.
Kekhawatiran tersebut cukup beralasan. Berdasarkan hasil pengujian laboratorium Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap tanah tempat limbah medis ditimbun di Desa Panguragan Kulon, ditemukan 15 jenis mikroorganisme dan seluruhnya tergolong patogen yang membahayakan kesehatan manusia dan makhluk hidup di sekitarnya. Laporan pengujian itu pun menjadi bagian dari pertimbangan hakim saat mengadili Agus dan Nasikhin.
Sayangnya, hingga kini belum ada kepastian dari KLHK terkait penanganan timbunan limbah medis di Desa Panguragan Kulon. Sebaliknya, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 KLHK Vivien Ratnawati menyatakan bahwa pihaknya telah mengangkut semua tumpukan limbah medis di kawasan Panguragan pada akhir 2017. Limbah itu juga telah dimusnahkan di salah satu pengolahan semen terdekat.
Vivien berharap agar semua pihak mulai dari fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) hingga pihak jasa pengolah limbah medis untuk selalu mematuhi peraturan dalam mengolah limbah medis. ”Diharapkan semua pihak mematuhi peraturan, sehingga masalah timbunan limbah medis di Cirebon tidak akan terjadi lagi,” jelasnya.
Belum menyadari bahaya
Sementara masih banyak pemulung yang belum menyadari bahaya limbah medis. Seperti AK (50), pemulung di Kota Bandung, mengaku, jika ia memperoleh wadah infus bekas dari rumah sakit atau pihak lain, akan dia cuci. Wadah infus itu kemudian dia jual ke lapak daur ulang yang memiliki mesin pencacah plastik.
”Dicuci dulu, baru dijual,” ucapnya.
Lain halnya Sri (50), pengumpul barang rongsok di Karawang ini cukup selektif dalam menerima barang bekas. Ia mengaku pernah didatangi seseorang dan menawarkan bekas alat suntik dari rumah sakit.
Tawaran itu langsung ia tolak karena khawatir dengan penyakit yang bisa ditularkan. ”Saya tidak mau terima. Bahaya itu, isinya cuma penyakit, tetapi memang ada saja yang menawarkan,” tuturnya.
Di pasar daring Bukalapak, kami pun bisa memesan alat suntik bekas dari dua toko berbeda. Alat suntik bekas berukuran 20 mililiter dan 50 mililiter. Di pasar daring itu juga ada toko yang menawarkan alat suntik bekas berukuran 1 mililiter seharga Rp 12.000 untuk 20 buah. Namun, saat dipesan muncul keterangan bahwa barang itu sudah habis.
Rawan disalahgunakan
Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia Dwi Sawung mengatakan, beredarnya limbah medis ke pemulung dan lapak daur ulang tak hanya membahayakan lingkungan seperti di Cirebon. Menurut dia, limbah itu juga rawan disalahgunakan untuk dijadikan wadah obat palsu.
Dwi kembali mengingatkan bahwa kasus vaksin palsu yang terungkap beberapa tahun lalu itu juga menggunakan botol vaksin bekas. ”Nah, dia (vaksin palsu) itu dari limbah yang tercecer, tidak terkelola dengan baik, akhirnya bocor ke orang lain, dan digunakan untuk vaksin palsu. Jadi, yang ditakutkan dari beberapa jenis limbah medis tertentu itu sebenarnya bukan hanya karena dia mengandung toksik. Botol infus bekas, misalnya, bisa diisi lagi dengan cairan NaCl buatan sendiri, kemudian dijual ke rumah sakit,” jelasnya.
Kiranya memang dibutuhkan kepedulian bersama untuk mengawasi pengolahan limbah medis ilegal. Seperti halnya kesadaran yang tumbuh di kalangan warga Desa Panguragan Kulon meskipun penanganan terhadap pengolahan limbah medis ilegal di desa ini tak tuntas juga selama dua tahun ini.