Mendung Melingkupi Gedung KPU
Penangkapan anggota KPU RI, Wahyu Setiawan, oleh KPK terkait kasus dugaan suap memukul para ”penghuni” Gedung KPU. Kepercayaan publik terhadap kelembagaan KPU perlu dipulihkan.
Penangkapan anggota KPU RI, Wahyu Setiawan, oleh KPK terkait kasus dugaan suap memukul para ”penghuni” Gedung KPU. Kepercayaan publik terhadap kelembagaan KPU perlu dipulihkan.
Hari Kamis (9/1/2019) itu mendung menggelayut, secara harfiah dan kiasan, di atas Jalan Imam Bonjol Nomor 29, lokasi Gedung Komisi Pemilihan Umum RI di Jakarta. Musim hujan yang baru memasuki awal menjadi sebagian penandanya.
Mendung itu juga tecermin di wajah dan suasana hati sebagian pegawai di lingkungan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kabar penangkapan anggota KPU RI, Wahyu Setiawan, membuat sebagian pegawai KPU terpukul. Mereka tak menyangka akan ada anggota KPU RI periode 2017- 2022 yang akan berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dugaan korupsi. ”Orangnya ramah dan sering ngobrol dengan kami,” tutur salah seorang petugas pengamanan dalam KPU.
Wahyu ditangkap KPK pada hari Rabu, kemudian pada hari Kamis ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK bersama tiga orang lainnya atas kasus dugaan suap pengurusan pergantian antarwaktu anggota DPR RI.
Sebagian pegawai lainnya yang lalu lalang di dalam Gedung KPU memang tampak tidak terlalu terpengaruh.
Baca Juga: Marwah KPU Dipertaruhkan, DKPP Harus Berhentikan Wahyu Setiawan
Namun, sebagian di antaranya, sembari mengobrol pelan, terdengar membicarakan soal sejumlah spekulasi di seputar penangkapan Wahyu. Misalnya pembicaraan mengenai lokasi dan waktu penangkapan.
"Beberapa anggota KPU RI dan unsur Sekretariat Jenderal KPU juga menuliskan status ”mendung” di media sosial terkait dengan penangkapan Wahyu"
Beberapa anggota KPU RI dan unsur Sekretariat Jenderal KPU juga menuliskan status ”mendung” di media sosial terkait dengan penangkapan Wahyu. Ada pula yang hanya menuliskan satu kata ”mendung” dengan foto gedung KPU yang dinaungi awan gelap pertanda akan hujan.
”Bajunya hitam-hitam ini,” kata anggota KPU, Hasyim Asy’ari, sesaat setelah ”lepas” dari kerumunan wartawan yang mengejarnya untuk wawancara di Gedung KPU.
Siang itu, Hasyim bersama Ketua KPU Arief Budiman dan tiga anggota KPU lain, yakni Viryan Azis, Ilham Saputra, dan Pramono Ubaid Tanthowi, baru saja menghadiri pelantikan pergantian sejumlah anggota KPU daerah.
Hasyim mengenakan pakaian hitam. Arief mengenakan jas hitam. Pramono memakai batik dengan sebagian nuansa warna hitam dengan celana hitam. Viryan memakai batik bernuansa hitam dengan kaus hitam di bagian dalam serta celana hitam.
Ditanya tentang responsnya saat pertama kali mengetahui kabar ditangkapnya Wahyu, Viryan mengatakan ia kaget. Ia menunjukkan mata yang membelalak dan mulut yang membuka, menggambarkan kekagetannya saat itu.
”Hah,” katanya menggambarkan kembali kekagetannya.
Saat itu, Viryan tengah berada di KPU Enrekang, di Sulawesi Selatan. Ia dalam perjalanan dari KPU Tana Toraja menuju Makassar. Ia berada di KPU Enrekang untuk menumpang shalat. Kekagetan melandanya saat ia membuka pesan di telepon genggamnya.
Kepercayaan mahal
Jika kasus penyuapan terhadap Wahyu terbukti, hal ini tidak bisa dipandang remeh. Loughman dan Sibery dalam Bribery and Corruption: Navigating the Global Risks menyebutkan, suap dan korupsi terus saja menciptakan lapangan permainan yang tidak setara dalam perdagangan internasional, perdagangan, dan proses pemerintahan. Praktiknya mulai dari negara berkembang di Afrika, Amerika Latin, dan Asia, hingga Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Inggris.
Soal penangkapan Wahyu, Hasyim mengatakan, dirinya susah mengungkapkan perasaan dan pikiran yang berkecamuk, termasuk ketika disinggung mengenai upaya membangun kredibilitas dan reputasi lembaga selama beberapa tahun ini. Hasyim beberapa kali tersenyum getir. Ia seolah mencoba berbicara, tetapi tidak ada penjelasan lebih jauh yang disampaikannya.
”Heee, susah Mas diungkapkan,” katanya.
Namun, tak lama kemudian, ia lalu merujuk pada proses penyelenggaraan pemilu. Bagaimana misalnya, imbuh Hasyim, semua anggota KPU berjibaku dan bahu-membahu untuk membangun kepercayaan. Hasyim mengutarakan, yang sulit dan mahal adalah membangun kepercayaan.
”Itu yang paling berat,” ujar Hasyim.
Beberapa jajak pendapat menunjukkan, KPU termasuk lembaga negara yang cukup dipercaya publik. Misalnya, jajak pendapat Litbang Kompas, 9-10 Januari 2019, menunjukkan 72,9 persen responden percaya KPU dalam bekerja independen dan profesional menjalankan tahapan Pemilu 2019 (Kompas, 14/1/2019).
Baca Juga: OTT Wahyu Setiawan, Hasto Tak Tahu Anggota Stafnya Ikut Ditangkap KPK
Kini, kepercayaan itu terganggu oleh dugaan suap yang melibatkan anggota KPU. Padahal, tahun ini KPU akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah serentak di 270 daerah.
Saat ditanya apa upaya tercepat yang sudah terbayang bisa dilakukan KPU untuk mengembalikan kepercayaan publik, Hasyim hanya menjawab dengan lirih, ”Belum.”
Perlu dipulihkan
Ketua KPU Arief Budiman menuturkan akan menyiapkan langkah-langkah yang akan dilakukan KPU, terutama dalam menghadapi tantangan agar publik bisa tetap percaya pada apa yang dikerjakan KPU.
"KPU memastikan seluruh tahapan dan seluruh kegiatan yang ada di KPU tetap berjalan seperti biasa. Arief juga memastikan sudah meminta KPU tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk tetap menjalankan tugas dengan baik"
Ia memastikan seluruh tahapan dan seluruh kegiatan yang ada di KPU tetap berjalan seperti biasa. Arief juga memastikan sudah meminta KPU tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk tetap menjalankan tugas dengan baik.
Sementara itu, pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay, saat dihubungi mengatakan, KPU harus mendukung proses hukum yang dilakukan KPK agar lancar. Proses hukum yang cepat dinilai bisa menjelaskan posisi sesungguhnya dari permasalahan itu. Jika prosesnya berlangsung panjang, dikhawatirkan publik akan sulit menerima bahwa persoalan itu semata hanya terkait dengan Wahyu sebagai individu.
Selain itu, KPU juga perlu segera mengingatkan diri sendiri dalam artian seluruh jajaran KPU di Indonesia. Ini harus dilakukan resmi lewat semacam surat edaran. Tujuannya untuk menjaga kontrol atas pekerjaan yang dilakukan di depan pintu proses demokrasi. Juga mengembalikan marwah kelembagaan dan demokrasi yang telah tercederai.