Keriuhan di Natuna bukan soal negara asing masuk ke kawasan zona ekonomi eksklusif. Juga bukan soal terlanggarnya kedaulatan walaupun pelanggaran hak berdaulat bukan hal kecil. Namun, soal kesadaran bangsa maritim.
Oleh
EDNA C PATTISINA
·5 menit baca
Keriuhan di Natuna sebenarnya bukan persoalan negara asing yang masuk ke kawasan zona ekonomi eksklusif. Juga bukan soal terlanggarnya kedaulatan walaupun pelanggaran hak berdaulat yang terjadi bukan hal yang kecil. Dengan demikian, soal Natuna adalah persoalan kesadaran kita sebagai bangsa maritim.
Namun, di balik insiden masuknya kapal-kapal nelayan yang mengambil ikan tanpa izin dan terjadinya pelanggaran wilayah oleh kapal-kapal penjaga pantai China sebulan terakhir ini bisa dipandang sebagai berkah yang terselubung. Peringatan dini dan alarm kewaspadaan kini telah berbunyi bahwa ketidaksadaran kita akan kekayaan laut untuk kesejahteraan rakyat membuat negara dan bangsa lainnya ikut memanfaatkannya.
Terkait hal itu, bagaimana nasib dan masa depan Natuna dibahas dalam acara diskusi Satu Meja The Forum yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (8/1/2020). Acara bincang yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas, Budiman Tanuredjo kali ini mengambil tema ”Siaga di Natuna”.
Peserta diskusi adalah anggota DPD Kepulauan Riau Ria Saptarika, anggota Komisi I DPR Fraksi PKS Sukamta, anggota Komisi I DPR Fraksi PDI-P Effendi Simbolon, mantan Deputi Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani, pengamat pertahanan Andi Widjajanto, dan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana.
Sejauh ini, sensasi di masyarakat yang terbangun di antaranya menuding kedaulatan Indonesia dilanggar. Hal ini lalu dikait-kaitkan dengan banyaknya utang yang diperoleh dari China. Inilah yang tampaknya dijawab oleh Presiden Joko Widodo dengan datang ke Natuna, dan menyatakan dengan tegas bahwa Natuna adalah teritorial Indonesia dan tidak ada yang boleh masuk.
"Inilah yang tampaknya dijawab oleh Presiden Joko Widodo dengan datang ke Natuna, dan menyatakan dengan tegas bahwa Natuna adalah teritorial Indonesia dan tidak ada yang boleh masuk"
Presiden Jokowi lalu menegaskan, hak berdaulat Indonesia di ZEE harus ditegakkan. Ini berarti pula hak Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya Natuna harus dilaksanakan. Simbolnya, kunjungan Presiden untuk menemui nelayan-nelayan Natuna.
Kesadaran tak dibangun
Simbolisasi itu tampaknya sudah tepat. Sayangnya, kesadaran maritim selama itu tidak dibangun secara konkret. Identitas sebagai bangsa maritim seharusnya benar-benar ditunjukkan dalam bentuk implementasi dan program nyata yang memberikan hasil, terutama pada masyarakat. Artinya, identitas maritim dan kedaulatan seharusnya juga bukan dalam bentuk wacana dan simbol semata.
Effendi dan Ria senada menggarisbawahi fakta masuknya kapal-kapal asing ke perairan ZEE bukan hal baru. Walau bukan pelanggaran kedaulatan, realitasnya kita belum menguasai laut yang menyediakan sumber daya alam. Ria yang menggarisbawahi pentingnya UU Daerah Kepulauan mengatakan, selama ini rentang
kendali sangat jauh sehingga Natuna tak diperhatikan. Ia juga menyinggung soal kontrol udara yang sejak 1946 untuk wilayah Kepulauan Riau dikuasai oleh Singapura dan Malaysia.
Andi Widjajanto yang juga mantan Sekretaris Kabinet mengatakan, intinya ke depan bangsa Indonesia memiliki kemampuan mengelola sumber daya alam. Hal ini termasuk mencegah pihak-pihak luar bertindak ilegal mencuri sumber daya alam. Yang terjadi dengan China adalah adu klaim karena dasar yang digunakan berbeda. Hikmahanto yang senada dengan Andi mengatakan, dari insiden yang ada, ia kaget kapal-kapal TNI Angkatan Laut mengadakan perkuatan di Natuna. Padahal, idealnya yang maju adalah kapal Bakamla.
Sementara, Sukamta melontarkan kritik terhadap pernyataan Presiden Jokowi bahwa Natuna adalah wilayah Indonesia. Ia mengatakan, ketika hal yang sudah disepakati semua orang itu dinyatakan kembali, seolah-olah maknanya ingin memberi penegasan tidak adanya masalah di Natuna. Padahal, pelanggaran hak berdaulat di ZEE masalah besar. Menurut Sukamta, Presiden diharapkan membuat pernyataan tegas di tengah situasi saat ini. Misalnya, keamanan akan dilakukan Bakamla. Namun, persepsi Sukamta dibantah Jaleswari. Ia mengatakan, pesan Presiden jelas bahwa kedaulatan tak bisa ditawar. Hal ini karena tak saja soal obyektivitas, tetapi juga subyektif yaitu emosi publik.
Pengerahan nelayan
Sayangnya, pernyataan yang benar pun bukan solusi. Namun, apa pun solusinya harus dilaksanakan. Pengerahan nelayan ke Natuna bukan aspek mudah. Kapal juga harus sesuai. Ada keluhan, selain masalah kuantitas, juga kapal yang dibagikan pemerintah tak cocok dengan ombak tinggi di Natuna. Prosedur pembelian ikan yang membuat nelayan tak terikat pada tengkulak juga belum berjalan mulus.
"Memindahkan nelayan dari Jawa ke Natuna juga bukan soal mudah seperti membalikkan telapak tangan. Masalahnya, mulai dari BBM yang biayanya tinggi hingga faktor sosial. Belum lagi masalah utama, yaitu ukuran kapal mengingat ukuran kapal ikan China bisa ratusan gros ton, sementara kapal ikan Indonesia yang 150 GT pun sedikit"
Persoalan memindahkan nelayan dari Jawa ke Natuna juga bukan soal mudah seperti membalikkan telapak tangan. Masalahnya, mulai dari BBM yang biayanya tinggi hingga faktor sosial. Belum lagi masalah utama, yaitu ukuran kapal mengingat ukuran kapal ikan China bisa ratusan gros ton, sementara kapal ikan Indonesia yang 150 GT pun sedikit.
Namun, Andi mengakui, karena masalah ini terus berulang, ada pekerjaan rumah pemerintah. Ia mengatakan, harus dipastikan bahwa di Natuna ada industri perikanan, selain nelayan-nelayan yang harus mampu melaut terus-menerus. Untuk keamanan, pastikan Bakamla bisa terus hadir dan armada TNI AL juga diperkuat.
Secara diplomasi, tak boleh ada langkah mundur. Hikmahanto menambahkan, pemerintah China tentu ingin mencoba-coba pemerintahan baru. Nelayan menjadi ujung tombaknya. Sementara, Sukamta menilai, jika Indonesia tak memberi respons memadai taktik dan strategi China, ”Negara Tirai Bambu” itu tentu akan meningkatkan klaimnya. ”Lima tahunan selalu menjadi bahan debat calon presiden, dan sekarang terjadi lagi. Kita tak pernah ada solusi jangka pendek, menengah, dan pajang,” kata Sukamto.
Hal senada dikatakan Effendi yang menilai respons pemerintah hanya muncul saat masyarakat heboh. Setelah itu, semuanya kembali normal. Untuk itu, ia menekankan pentingnya komitmen peningkatan anggaran. Anggaran Bakamla hanya Rp 1 triliun untuk menjaga laut Indonesia. ”Kita bohong. Mau jaga kedaulatan, tapi tak tingkatkan kemampuan. Memangnya pakai belas kasihan,” kata Effendi.