Gagasan pemerintah dan partai-partai di DPR mengkaji perubahan sistem pemilihan kepala daerah bisa meniadakan keterlibatan rakyat dalam menentukan calon pemimpinnya.
Oleh
AGNES THEODORA
·3 menit baca
Penataan sistem politik harus dilakukan secara holistik, bukan lewat jalan pintas mengubah pemilihan kepala daerah menjadi tak langsung di sejumlah daerah.
JAKARTA, KOMPAS - Gagasan pemerintah dan partai-partai di DPR mengkaji perubahan sistem pemilihan kepala daerah bisa meniadakan keterlibatan rakyat menentukan calon pemimpinnya. Ada solusi lain yang seharusnya ditempuh untuk menjawab akar persoalan politik berbiaya tinggi dan praktik korupsi politik sebelum secara drastis mengubah sistem pilkada.
Namun, solusi lain itu membutuhkan kajian mendalam dan koheren antara sistem kepemiluan dan sistem kepartaian. Penataan sistem politik harus dilakukan holistik dan saling terkait, bukan sektoral atau lewat jalan pintas mengubah pemilihan menjadi tak langsung di sejumlah daerah.
Kementerian Dalam Negeri mengacu pada kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang pilkada asimetris untuk mendukung usulannya mengkaji sistem pilkada langsung. Namun, usulan tersebut berbeda dengan rekomendasi asli dari kajian LIPI.
"Kajian LIPI soal pilkada asimetris bukan serta-merta merekomendasikan pilkada tak langsung DPRD di beberapa daerah. Kajian LIPI soal evaluasi format pilkada pada 2012-2014 yang bertajuk ”Menata Ulang Pemilukada Menuju Tata Kelola Pemerintahan Daerah Demokratis, Akuntabel, dan Berkelanjutan” ditujukan agar pemerintah memperhatikan perbedaan karakteristik dan kondisi setiap daerah untuk menyelenggarakan pilkada secara demokratis"
Peneliti LIPI, Indria Samego, Kamis (9/1/2020) di Jakarta, mengemukakan, kajian LIPI soal pilkada asimetris bukan serta-merta merekomendasikan pilkada tak langsung DPRD di beberapa daerah. Kajian LIPI soal evaluasi format pilkada pada 2012-2014 yang bertajuk ”Menata Ulang Pemilukada Menuju Tata Kelola Pemerintahan Daerah Demokratis, Akuntabel, dan Berkelanjutan” ditujukan agar pemerintah memperhatikan perbedaan karakteristik dan kondisi setiap daerah untuk menyelenggarakan pilkada secara demokratis.
Kajian tersebut tidak merekomendasikan perubahan sistem pilkada menjadi tidak langsung, tetapi justru mempertahankan esensi pilkada langsung sebagai wujud kedaulatan rakyat dalam demokrasi. Asimetris yang dimaksud dalam kajian LIPI justru lebih condong pada konteks keserentakan pilkada.
Untuk menata sistem politik periode ini, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Rabu lalu, mengumpulkan sekretaris jenderal sembilan partai di DPR untuk bertukar pikiran. Salah satu poin ialah mengkaji perubahan sistem pilkada dari langsung menjadi asimetris. Kemendagri menilai, pilkada asimetris mempertahankan pilkada langsung di sejumlah daerah, tetapi menerapkan pilkada tak langsung di sejumlah daerah. Penerapannya secara tingkatan provinsi atau kabupaten/kota, ataupun berdasarkan karakteristik daerah.
”Semangat kami dari awal bukan menyerahkan pilkada kepada DPRD. Kepala daerah tetap dipilih rakyat, tetapi regulasinya diperbaiki. Filosofinya dari awal, mengembalikan kedaulatan demokrasi ke tangan rakyat, bukan elite,” kata Indria.
Ada beberapa daerah yang memerlukan pendampingan khusus untuk melaksanakan pilkada langsung karena kondisi daerah yang belum memadai dari sisi sumber daya manusia (pemilih), kondisi sosiokultural, dan keuangan daerahnya. Dan, bukan berarti pilkada di daerah-daerah digelar tidak langsung.
Kesalahan berpikir
Solusi mengatasi dampak buruk pilkada langsung bukan mengubah sistem, melainkan perbaikan detail di sejumlah aspek. Misalnya, meniadakan politik uang, yang solusinya pengawasan lebih ketat, penambahan jumlah Panwas, serta calon yang harus diaudit kekayaannya oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
”Ini kesalahan berpikir. Faktanya, DPRD adalah aktor paling korup kedua setelah swasta. Tapi, justru pilkada kita digantungkan pada para elite di DPRD. Kita gelisah soal politik uang, tetapi kita tak membenahi tata kelola dana politik partai, tak mengatur tegas politik uang, tetapi malah mengubah sistem”
Praktik uang mahar pencalonan yang diakibatkan minimnya pendekatan ideologis dalam memilih kandidat, misalnya, dijawab dengan keharusan partai mengumumkan calon yang akan diusung sejak dua tahun sebelum didaftarkan. Selama dua tahun itu, partai dapat meningkatkan kapasitas calon yang diusungnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan, solusi mengubah sistem pemilihan langsung adalah solusi jalan pintas, tak akan menjawab persoalan mendasar politik berbiaya tinggi dan korupsi politik.
”Ini kesalahan berpikir. Faktanya, DPRD adalah aktor paling korup kedua setelah swasta. Tapi, justru pilkada kita digantungkan pada para elite di DPRD. Kita gelisah soal politik uang, tetapi kita tak membenahi tata kelola dana politik partai, tak mengatur tegas politik uang, tetapi malah mengubah sistem,” tutur Titi.