Selain permintaan maaf ke berbagai pihak, Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan segera mundur dari jabatannya. Akankah langkah ini memulihkan nama baik KPU?
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA KOMPAS — Anggota KPU, Wahyu Setiawan, menyampaikan akan segera mengundurkan diri dari jabatannya setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus suap penetapan anggota DPR terpilih. Kasus yang menimpa Wahyu telah mencoreng marwah KPU sebagai penyelenggara pemilu.
”Dengan saya ditetapkan sebagai tersangka; maka, dalam waktu segera, saya akan mengundurkan diri sebagai anggota KPU,” ujarnya dalam surat terbuka yang diterima oleh awak media di Jakarta, Jumat (10/01/2020).
Wahyu mengatakan, kasus tersebut merupakan murni masalah pribadi dan ia akan menjalani proses hukum yang sedang dilakukan KPK. Ia pun juga meminta maaf kepada jajaran KPU seluruh Indonesia atas kasus korupsi yang menimpanya.
”Saya menyampaikan permohonan maaf kepada ketua, anggota, dan sekretaris jenderal KPU RI atas peristiwa yang saya alami. Saya juga minta maaf kepada jajaran KPU seluruh Indonesia,” katanya.
Sebelumnya, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka, yakni Wahyu dan mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina yang diduga sebagai penerima suap serta mantan caleg DPR dari PDI-P Harun Masiku dan anggota staf Sekretariat PDI-P Saeful yang diduga berperan sebagai pemberi suap.
Wahyu diduga menerima suap sebesar Rp 600 juta dalam kasus pengganti antarwaktu (PAW) agar Harun bisa duduk di kursi DPR dan menggeser anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PDI-P Riezki Aprilia.
Sementara itu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) didesak agar segera memberhentikan Wahyu dari jabatannya. Hal ini diperlukan karena marwah KPU sebagai penyelenggara pemilu dipertaruhkan, khususnya dalam pelaksanaan Pilkada 2020 yang tinggal sebentar lagi.
”Seharusnya tindak tanduk Wahyu yang tidak etis dan mencurigakan bisa ditindaklanjuti, bahkan diberikan sanksi tegas oleh DKPP. Tanpa ada pengaduan ke DKPP pun, DKPP seharusnya bisa proaktif bertindak, menggelar sidang untuk menjatuhkan sanksi kepada Wahyu,” tutur Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari.
Feri menjelaskan, apabila tidak segera ditindak, dampaknya buruk kepada KPU. Apa pun kebijakan KPU bisa dikaitkan dengan peristiwa yang menimpa Wahyu. Apalagi, KPU akan membatasi dan memberi jeda lima tahun bagi mantan napi korupsi agar tidak bisa mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah.
Anggota DKPP, Teguh Prasetyo, mengatakan, harus ada laporan tertulis dari penyelenggara atau peserta pemilu, masyarakat, atau rekomendasi DPR untuk menggelar sidang etik guna memberhentikan komisioner KPU. Laporan tersebut kemungkinan akan muncul setelah status Wahyu ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
”Jika memang sudah ada (laporan atas Wahyu), DKPP akan memprioritaskan laporan tersebut dan menyidangkannya karena marwah KPU harus dijaga,” ucapnya.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Gerindra, Sodik Mudjahid, mengatakan, selama ini ada kekhawatiran bahkan kecurigaan kepada KPU akan adanya praktek jual beli suara di berbagai daerah. Ia meminta KPU segera membersihkan jajarannya yang terindikasi bermain-main dengan proses penyelenggaraan pemilu ataupun pilkada.
”Peristiwa ini perlu menjadi pembelajaran bagi jajaran KPU yang selama ini bermain-main dalam proses pemilihan. Selain itu, KPK juga perlu mengawasi kegiatan pilkada nantinya agar semua proses hukum berjalan dengan baik,” katanya.