Banjir yang menggenangi ibu kota Jakarta sepekan pertama tahun 2020 menunjukkan masih ada pekerjaan rumah yang mesti dilakukan bersama. Tidak ada satu institusi yang bisa menyelesaikan semua upaya antisipasi banjir ini.
Oleh
Ichwan Susanto/J Galuh Bimantara/Helena F Nababan
·5 menit baca
Banjir yang menggenangi ibu kota Jakarta sepekan pertama tahun 2020 menunjukkan masih ada pekerjaan rumah yang mesti dilakukan bersama. Tidak ada satu institusi yang bisa menyelesaikan semua upaya antisipasi banjir ini sendirian. Kerendahan hati untuk bergandengan tangan menjadi kunci mengatasi banjir demi mencegah kerugian yang lebih besar di masyarakat.
Salah satu yang penting dikerjakan pemerintah adalah melibatkan masyarakat dalam program adaptasi bencana seperti banjir. Selama ini, pemerintah belum cukup melibatkan masyarakat. Padahal, masyarakat adalah salah satu kunci untuk meminimalkan risiko bencana.
Adaptasi merupakan tindakan untuk mengatasi dampak. Caranya bisa dengan mengurangi kerentanan dan keterpaparan terhadap dampak buruk, bahkan mencari manfaat atau keuntungan dari tindakan itu.
Di Jakarta, program adaptasi bencana antara lain normalisasi dan naturalisasi Kali Ciliwung, revitalisasi waduk, serta pembangunan tanggul pesisir terintegrasi dengan Pembangunan Kawasan Pesisir Terpadu Ibu Kota Nasional (NCICD).
”Adaptasi yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi keterpaparan (masyarakat terhadap bencana), tetapi saat di masyarakat sering kali berbenturan,” ucap peneliti pengurangan risiko bencana dan adaptasi bencana dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Gusti Ayu Ketut Surtiari, dalam jumpa media di Jakarta, Selasa (7/1/2020).
Pentingnya pelibatan masyarakat terlihat dari polemik relokasi dalam upaya pembenahan Kali Ciliwung. Padahal, menurut geografer perkotaan Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Iptek dan Inovasi LIPI, Galuh Syahbana Indraprahasta, penerapan normalisasi versi pemerintah pusat ataupun naturalisasi versi Pemprov DKI sama-sama membutuhkan relokasi warga di bantaran Ciliwung mengingat lebar sungai harus dipulihkan dulu. Pemprov DKI tak bisa menghindari opsi relokasi warga.
Ayu mengatakan, relokasi idealnya melalui empat tahap, yaitu perencanaan, proses penyesuaian diri warga sasaran, memastikan warga mendapat manfaat atau keuntungan (contohnya, bisa mencari nafkah), dan terakhir serah terima unit hunian dilakukan. Seluruh tahap umumnya menghabiskan 5-20 tahun, tetapi durasi bisa diperpendek asalkan pemerintah memastikan tidak ada tahap yang terlewatkan.
Selain itu, membangun kemauan warga di bantaran sungai untuk direlokasi bergantung pada persepsi warga. Persepsi dipengaruhi informasi yang diterima warga. Karena itu, Ayu mendorong pemerintah memastikan seluruh individu, bukan hanya perwakilan seperti ketua RT atau RW saja, menerima informasi program.
”Mau tak mau harus bekerja keras menyamakan persepsi sehingga muncul keinginan untuk melakukan tindakan adaptasi, bukan sekadar kalau banjir ke pengungsian setelah itu gotong royong membersihkan lingkungan. Itu harus sama-sama pelan-pelan diubah,” ujar Ayu.
Tata ruang
Galuh mengatakan, masalah banjir Jakarta terkait dengan pengendalian tata ruang. Ruang merupakan sistem yang terdiri atas tiga subsistem saling, yaitu teknis, sosial, dan ekologi. ”Bicara tentang banjir, apa yang bisa dilakukan pemerintah dan jajarannya adalah bagaimana bisa mengintervensi supaya subsistem-subsistem ini bisa berjalan lebih kurang seimbang,” ucapnya.
Intervensi berupa normalisasi atau naturalisasi baru menyasar subsistem teknis. Terkait subsistem sosial, kata Galuh, terdapat masalah, seperti kebiasaan membuang sampah ke sungai yang turut memicu bencana. Padahal, produksi sampah warga Indonesia yang rata-rata 0,5-0,8 kilogram per orang per hari masih lebih rendah dibandingkan
Singapura dan Malaysia (rata-rata lebih dari 1 kg per orang per hari). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, banjir Jakarta disebabkan hujan lokal ekstrem yang melanda Ibu Kota. Fenomena ini baru mengingat pada waktu- waktu lalu banjir Jakarta lebih umum disebabkan air kiriman dari hulu, Bogor.
Hujan lokal ini tak mampu ditampung Jakarta. Penyebabnya ada beberapa hal, yakni drainase yang buruk, erosi berat dari hulu, alih fungsi lahan situ dan rawa menjadi bangunan beton, serta penurunan muka tanah. Genangan banjir bertahan berjam-jam karena aliran air menuju muara tertahan pasang tinggi air laut pada pagi hari.
”Curah hujan ekstrem dan pemanfaatan lahan pada situ dan rawa yang tertutup beton membuat banjir tak terelakkan,” kata Hudoyo, Plt Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa.
Ekosistem DAS
Lokasi banjir meliputi bagian hilir dari delapan daerah aliran sungai (DAS), yaitu DAS Kali Angke Pesanggrahan, Krukut, Ciliwung, Sunter, Buaran, Cakung, Bekasi, dan Cisadane. Catatan KLHK dan BMKG, curah hujan pada DAS ini terhitung ekstrem karena lebih tinggi dari 150 mm per hari kecuali DAS Cisadane yang 107 mm.
Luas tutupan lahan tidak bervegetasi pada delapan DAS dalam kawasan hutan mencapai 18.296 ha atau sebesar 38,2 persen dari luas kawasan hutan dan 4,10 persen dari luas DAS. ”Presiden telah memerintahkan agar perbaiki ekosistem DAS,” kata Hudoyo. Ia mengatakan, rehabilitasi DAS secara langsung hanya bisa dilakukan KLHK pada kawasan hutan yang persentase luasannya sangat kecil pada DAS. Pada area penggunaan lain atau lahan-lahan nonkawasan hutan, KLHK hanya membantu memberikan bibit tanaman.
Bangunan konservasi tanah dan air (KTA), seperti dam pengendali, dam penahan, gully plug, dan sumur resapan, hanya bisa dibangun di area hutan. Di luar itu, ia berharap pemda aktif membangun untuk menahan laju air, mengurangi erosi, dan meningkatkan retensi air.
Beberapa tahun lalu, Menteri LHK mengeluarkan surat kepada pemda untuk membangun sumur resapan. Namun, Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS KLHK Saparis Soedarjanto mengatakan, imbauan ini tak dijalankan serius karena KLHK tak bisa intervensi langsung ke pemda.
Saparis mengatakan, sumur resapan sebagai bangunan ramah retensi air ini dibutuhkan 4.041.296 unit di delapan DAS untuk meresapkan air berlebih sebanyak 206.835.276,54 meter kubik yang tak tertampung sungai. ”Intervensi ini pun perlu didukung dengan upaya lain, seperti menjaga kapasitas tampung sungai dari sedimentasi dan penumpukan sampah.,”
Berdasarkan perhitungan curah hujan BMKG pada 31 Desember 2019 dan 1 Januari 2020, kedelapan DAS, termasuk 13 sungai, menyuplai air 7.616,88 meter kubik per detik. Dibandingkan kemampuan 13 sungai mengalirkan air 3.050,62 meter kubik per detik, kata dia, kelebihan air 4.566,28 meter kubik menggenangi Jakarta.
Rehwinda Naibaho, pengampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI, menambahkan, selama pemerintahan Anies, ada 17 kebijakan berbentuk keputusan gubernur, instruksi gubernur, peraturan gubernur, dan surat edaran yang menyasar masalah lingkungan hidup, seperti air, penataan waduk situ dengan konsep naturalisasi, pengendalian pencemaran udara dengan pembuatan jalur sepeda, serta larangan kantong plastik dan pertanian perkotaan. Namun, Walhi menilai itu semua hanya di tataran kebijakan tetapi pelaksanaannya di lapangan kurang.