Kemunculan aneka macam layanan aplikasi internet atau over the top di era revolusi industri 4.0 ibarat pedang bermata dua. Kehadirannya membawa angin segar, tetapi juga memunculkan kekhawatiran.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
Kemunculan aneka macam layanan aplikasi internet atau over the top di era revolusi industri 4.0 ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi kehadirannya membawa angin segar, tetapi di sisi lain memunculkan pula kekhawatiran.
Tepat saat pengukuhan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Agustus 2019, Ketua KPI Agung Suprio mengatakan, KPI akan mengawasi media-media baru karena mereka turut bersiaran seperti halnya media-media konvensional. Media-media baru yang dimaksud adalah media-media berbasis internet, seperti Facebook, Youtube, dan Netflix.
”Sekarang banyak generasi milenial menonton media-media baru itu. Sayangnya, konten-konten di dalamnya tak diawasi hingga saat ini,” kata Agung seusai dikukuhkan sebagai komisioner KPI periode 2019-2022.
Sekarang banyak generasi milenial menonton media-media baru itu. Sayangnya, konten-konten di dalamnya tak diawasi hingga saat ini.
Selama ini KPI berpegangan pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang aturannya diterapkan kepada media-media penyiaran konvensional. Namun, pedoman itu belum menjangkau media-media baru yang belakangan bermunculan secara pesat di Indonesia.
Sikap preventif KPI ini menurut Ketua Bidang Penyiaran Aliansi Jurnalis Independen Bayu Wardhana justru melampaui kewenangan KPI. Semestinya, KPI memfokuskan diri pada kewajiban utamanya, yaitu mengawasi dan memperbaiki kualitas konten televisi dan radio.
Sampai saat ini, KPI memang belum memiliki perangkat aturan yang menjangkau keberadaan media-media baru yang fokus pada layanan aplikasi internet (over the top). Aturan tersebut akan disusulkan pada Revisi Undang-Undang Penyiaran yang baru.
Harapan baru
Bertolak belakang dengan sikap KPI, pada Kamis (9/1/2020) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim justru menyambut dengan antusias tawaran Netflix, salah satu layanan aplikasi internet atau OTT yang telah masuk ke Indonesia. Tahun ini, Netflix menginvestasikan anggaran sebesar 1 juta dollar Amerika Serikat untuk mendukung pertumbuhan film Indonesia.
Dengan anggaran tersebut, Netflix akan menggelar program pelatihan di dua tempat, yaitu Hollywood, Los Angeles, Amerika Serikat serta Jakarta. Di Hollywood, Netflix akan mengirim 10 penulis naskah dan produser Indonesia untuk mengikuti program “Script to Screen” di kantor Netflix, Hollywood untuk belajar mengembangkan konten-konten original yang menarik bagi dunia global dari para pakar sinema.
Di Jakarta, Netflix bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan mengadakan pelatihan penulisan skenario sekaligus pelatihan pasca produksi selama 12 bulan. Pada akhir pelatihan penulisan skenario, para peserta diminta mengirimkan konsep cerita film pendek untuk diseleksi dan peserta dengan konsep terbaik nantinya berhak mendapatkan dana untuk memproduksi film mereka.
Selain program pelatihan, Netflix juga akan mengadakan kegiatan Online Safety Training Program bekerjasama dengan Family Online Safety Institute serta lokakarya untuk membantu menumbuhkan tata kelola industri kreatif yang tangkas bersama dengan World Economic Forum di Jakarta.
Timo Tjahjanto, produser film The Night Comes for Us, film original Indonesia pertama di Netflix merasakan bagaimana kehadiran OTT seperti Netflix bisa membuka jalan bagi produser-produser lokal untuk bisa menawarkan konten-konten mereka ke konsumen di seluruh dunia.
Kehadiran OTT seperti Netflix bisa membuka jalan bagi produser-produser lokal untuk bisa menawarkan konten-konten mereka ke konsumen di seluruh dunia.
Data Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) menunjukkan, sampai saat ini, pengembalian modal terbesar industri film memang masih dari bioskop, yaitu sekitar 60-70 persen. Tapi, yang menarik dalam lima tahun terakhir, tren pembayaran lisensi film meningkat.
Tahun 2019, penghasilan dari platform digital (salah satunya Netflix) justru lebih tinggi dibandingkan dari pemasukan pemutaran film di televisi tak berbayar. Sebelumnya, pada tahun 2016, pendapatan dari penayangan film di televisi tak berbayar berada pada peringkat kedua setelah bioskop, tetapi kemudian dalam setahun terakhir tergeser oleh kehadiran OTT.
“Kehadiran OTT menjadi tambahan penghasilan bagi kami. Sekarang kami tidak hanya bergantung pada bioskop saja,” kata Perwakilan Aprofi, Sheila Timothy.
Demikianlah, kemunculan media-media baru OTT memunculkan dualisme sikap. Ada pihak yang was-was tetapi ada pula yang antusias. Tentu, pertimbangan yang mesti dipikirkan bersama adalah, sejauh mana kehadirannya memberikan kemaslahatan bagi masyarakat luas.