Menyalakan Lentera, Menyembuhkan Luka
Sebuah lentera sudah menyala di Batukaru. Pertanyaan besar yang menjadi renungan bersama menyambut tahun yang baru adalah, ”Akankah lentera itu menyala di seluruh pelosok bumi Nusantara?”
Judul buku: Lentera Batukaru Cerita Tragedi Kemanusiaan Pasca-1965
Penulis: Putu Setia (Mpu Jaya Prema Ananda)
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun Terbit: 2019
Tebal: vi + 258 hlm
ISBN: 978-602-481-143-3
Dalam catatan sejarah Tragedi 1965, Bali merupakan daerah yang paling banyak menelan korban. Penulis buku Nasib Para Soekarnois-Kisah Penculikan Gubernur Bali Sutedja 1966 (2015) menyebutkan tiga alasan mengapa Bali kehilangan sekitar 5 persen populasi penduduknya atau sekitar 100.000 orang.
Pertama, terjadi konflik internal Partai Nasional Indonesia (PNI), antara Anak Agung Bagus Sutedja (Gubernur pertama Bali, seorang Soekarnois yang kemudian hilang diculik) dan I Nyoman Mantik (yang mendapat dukungan suara terbanyak di Bali).
Kedua, persaingan memperebutkan posisi dan jabatan antarbangsawan Bali, yang dilakukan dengan melaporkan saingannya sebagai anggota partai terlarang untuk disingkirkan. Ketiga, perilaku simpatisan partai yang menyepelekan umat Hindu Bali yang lalu mendapat perlawanan dari umat Hindu.
Novel otobiografis Lentera Batukaru: Cerita Tragedi Kemanusiaan Pasca-1965 karya Putu Setia yang kini bergelar Mpu Jaya Prema Ananda memotret Tragedi 1965 dengan pendekatan jurnalistik. Buku ini disusun sebagai jalan spiritual melupakan ”berbagai cobaan hidup yang penuh kegetiran” sebelum melakoni jabatan fungsional religius kepanditaan sebagai ida bhawati.
Novel yang disusun secara kronologis ini diawali dengan prolog ”Kedamaian di Lereng Batukaru” dan diakhiri dengan epilog ”Nyalakan Lentera di Batukaru”. Maksud penulisan buku ini terlihat jelas dari kedua judul ini, yakni mengembalikan ketenangan dan kedamaian di ”Pulau Dewata” pasca-Tragedi 1965.
Potret kehidupan politik di tahun 1965-1967 yang banyak disebut para ahli sebagai ill-understood period ini digambarkan dengan terang oleh Putu Setia. Dengan sudut pandang seorang anak kelas III SMP yang polos, ada banyak informasi sejarah yang tersaji di dalamnya. Ketika itu pedoman atau ajaran Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme) harus diikuti.
Di sekolah pun unsur Nasakom sedapat mungkin dipertahankan. Siswa-siswa SMP diminta ikut terjun ke politik dengan menjadi anggota organisasi onderbouw partai. Putu sendiri berafiliasi ke organisasi Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI) karena warga kampungnya tergabung dalam Partai Nasional Indonesia (PNI). Selain GSNI yang sangat dominan di sekolahnya, ada pula Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) yang menjadi onderbouw Partai Komunis Indonesia.
Dinamika politik nasional dirasakan dan dialami di sekolah- sekolah dan di kampung-kampung. Persaingan antara GSNI dan IPPI di sekolah sering meruncing dan kadang membawa korban. Waktu istirahat sekolah diisi dengan berbagai ceramah dan pentas kesenian berlabel partai. Perang jargon politik sangat meriah melalui kesenian janger dan vokal grup.
Malapetaka pasca-Oktober 1965 pun datang tanpa mampu dinalar oleh Putu Setia, siswa SMP berusia 14 tahun yang ketika itu menjabat Ketua GSNI di sekolahnya. Amuk massa tiba-tiba saja meluluhlantakkan warung dan rumah-rumah orang Partai Komunis Indonesia. Pemandangan mengerikan dan memilukan tersaji di hadapannya.
Apa yang sesungguhnya terjadi? ”Pokoknya ada perintah penumpasan Partai Komunis Indonesia sampai ke akar-akarnya, tetapi kita di dusun ini jangan seperti itu, kalau bisa,” pesan Pak Mindra, guru saya yang juga tokoh PNI (hlm 26). Agar dusunnya ”jangan seperti itu”, kepala sekolah bersama Ketua GSNI menyusun strategi menyelamatkan anak-anak IPPI dengan memberikan mereka surat keterangan simpatisan GSNI.
Selanjutnya novel otobiografis ini mengisahkan penderitaan keluarga-keluarga miskin dan minim pendidikan di dalam pusaran sejarah pasca-Tragedi 1965. Kegetiran semakin menusuk perasaan ketika Putu mendengar berita keponakannya sendiri bernama I Wayan Sunawa ”kena garis”—sebuah istilah untuk menyebut garis imajiner yang dibuat oleh tentara bagi orang-orang yang dianggap terlibat G30S.
Novel ini selanjutnya merepresentasikan dan merefleksikan kengerian pembunuhan demi pembunuhan serta pahitnya perjuangan hidup keluarga- keluarga sederhana pasca- Tragedi 1965 yang telah dicap ”kena garis”.
Menyembuhkan luka sejarah
Novel ini bersama karya sastra lainnya sedang melakukan rekonstruksi politik ingatan terhadap Tragedi 1965. Selama rezim Orde Baru, sudah ada ”buku putih” yang berisi kebijakan pemerintah tentang apa yang perlu diingat dan dilupakan tentang Tragedi 1965. Namun, proses rekonstruksi ulang politik ingatan tentang Tragedi 1965 dimulai lagi sejak awal tahun 2000-an, dengan menjamurnya karya sastra dan memoar-memoar yang mengungkap peristiwa tersebut. Sebut saja antologi cerpen Bunga Tabur Terakhir karya GM Sudarta (2011), novel Pulang karya Leila S Chudori (2012), novel Amba karya Laksmi Pamuntjak (2012), dan novel Candik ala 1965 karya Tinuk R Yampolski (2011).
Yang terbanyak jumlahnya adalah memoar, seperti Memoar Pulau Buru karya Hersri Setiawan (2004); Diburu di Pulau Buru karya Hersri Setiawan (2004); Dari Kalong sampai Pulau Buru karya Adrianus Gumelar Demokrasno (2006); Kesaksian Tapol Orde Baru: Guru, Seniman, dan Prajurit Tjakra karya Suyatno Prayitno (2003); Kidung pada Korban: Dari Tutur Sepuluh Narasumber Eks-Tapol karya Hersri Setiawan (2006). Tahun ini hadir lagi sebuah memoar berjudul Lentera Batukaru: Cerita Tragedi Kemanusiaan Pasca-1965 karya Putu
Setia.
Karya sastra dan memoar-memoar tentang Tragedi 1965 membuka tabir pembunuhan massal dan menggambarkan dengan terang luka kemanusiaan yang kita alami sebagai sebuah bangsa.
Tragedi itu telah menggoreskan luka sosial yang panjang, termasuk kemiskinan, gangguan mental, trauma, dendam sosial, gejala somatis, ingatan yang menyakitkan, kehilangan rasa cinta, kehilangan rasa percaya diri, melemahnya ikatan sosial, tidak stabilnya jaringan sosial, ketergantungan ekonomi, dan berlanjutnya konflik dan reproduksi kekerasan. Bangsa ini memiliki berbagai beban pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu yang perlu dihadapi dan disikapi dengan bijak. Luka-luka yang perih itu meminta untuk disembuhkan dengan pendekatan struktural ataupun kultural.
Novel Lentera Batukaru diakhiri dengan epilog ”Nyalakan Lentera di Batukaru” yang mengandung mimpi besar menyembuhkan luka sejarah. I Wayan Sunawa yang dulunya ”kena garis’ kini resmi menjadi pemangku dengan belangkon berwarna putih. Penobatannya sebagai pemangku diawali dengan mebayuh weton agar Sunawa menghilangkan dan melupakan pengalaman buruk masa lalunya. Keponakannya yang lain, I Gusti Ngurah Nurjaya, berjaya dengan mendirikan Koperasi Lentera Manikgeni di Batukaru. Sebuah lentera sudah menyala di Batukaru. Pertanyaan besar yang menjadi renungan bersama menyambut tahun yang baru adalah, ”Akankah lentera itu menyala di seluruh pelosok bumi Nusantara?”
YOSEPH YAPI TAUM Dosen Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta