Eksistensi RI di Laut Natuna Utara perlu dipertegas dengan meningkatkan patroli keamanan laut, meramaikan dengan kapal-kapal nelayan Indonesia, dan penindakan terhadap pelaku illegal fishing.
Oleh
Muhammad Ikhsan Mahar/Nina Susilo/ B.M. Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Seiring kapal nelayan China yang sudah meninggalkan wilayah zona ekonomi eksklusif di Laut Natuna Utara, momentum tersebut harus dimanfaatkan Indonesia untuk mempertegas keberadaan di kawasan perairan itu. Pemerintah perlu melakukan langkah konkret untuk menunjukkan hak berdaulat Indonesia.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dave Laksono, mengatakan, kondisi yang semakin kondusif di Laut Natuna Utara yang berada di Kepulauan Riau harus dimanfaatkan pemerintah untuk meningkatkan eksistensi Indonesia di wilayah itu. Dari sisi keamanan, semua kementerian/lembaga terkait, seperti Tentara Nasional Indonesia, Badan Keamanan Laut (Bakamla), serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus meningkatkan patroli dan pengamanan di wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.
Di sisi lain, kata Dave, pangkalan TNI di Natuna juga harus lebih diberdayakan untuk memperkuat pengawasan. Tak hanya itu, radar untuk memantau keberadaan kapal dan pesawat asing di wilayah itu harus dioptimalkan beroperasi selama 24 jam.
Natuna adalah kawasan subur, yang kalau tidak dijaga, bukan hal aneh ada negara lain yang ingin nyerobot hak Indonesia di sana.
Di bidang ekonomi, Dave menekankan perlunya pemerintah memfasilitasi dan melindungi kapal-kapal nelayan Indonesia mencari ikan di wilayah Laut Natuna Utara. Begitu pun potensi minyak dan gas di kawasan itu, harus segera dimanfaatkan agar kekayaan Natuna dapat dinikmati masyarakat Indonesia.
”Natuna adalah kawasan subur, yang kalau tidak dijaga, bukan hal aneh ada negara lain yang ingin nyerobot hak Indonesia di sana. Oleh karena itu, tugas pemerintah dan seluruh elemen bangsa untuk memastikan dan memantau wilayah perairan Natuna,” ujar Dave, Jumat (10/1/2020), di Jakarta.
Secara terpisah, Kepala Bakamla Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrochman mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan KKP untuk meramaikan Natuna dengan nelayan Indonesia.
”Kami bertugas untuk mengawal mereka, terutama untuk menjamin mereka tidak mengalami gangguan dari kapal asing,” ujarnya.
Sejak akhir Desember lalu, dua kapal penjaga pantai China berada di kawasan ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara. Mereka hadir bersama sekitar 30 kapal nelayan China. Akan tetapi, pada Kamis (9/1), semua kapal nelayan itu telah bergerak ke arah utara untuk kembali ke teritori China.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi memastikan, TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara telah melakukan operasi rutin di kawasan perbatasan, termasuk Natuna, sepanjang tahun. Alhasil, patroli di laut dan udara tidak hanya dilakukan ketika terjadi peristiwa khusus, seperti kehadiran kapal nelayan dan kapal penjaga pantai China sejak akhir Desember lalu.
”Patroli di Natuna adalah operasi rutin yang dilakukan oleh TNI sehingga patroli pengawasan tersebut tidak hanya dilakukan ketika ada masalah,” kata Sisriadi.
Nasib satgas
Sementara itu, di tengah keberadaan kapal nelayan China di Laut Natuna Utara, nasib Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur belum jelas. Pemerintah pun belum memutuskan institusi mana yang bertanggung jawab mengamankan ZEE Indonesia.
”Bisa dievaluasi dulu, nanti efektivitas (dilihat), perlu ada penguatan lagi, atau bagaimana,” kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Satgas yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2015 ini berakhir masa tugasnya pada 31 Desember 2019. Dalam memberantas penangkapan ikan ilegal, Satgas berkoordinasi dengan sejumlah institusi dan mengumpulkan data dan informasi, serta menegakkan hukum dan melaksanakan komando dan pengendalian menggunakan kapal, pesawat udara, dan teknologi lain dari TNI AL, Polri, KKP, serta Bakamla.
Satgas melakukan terobosan saat menangani kasus perbudakan manusia dengan korban 1.020 orang di Benjina (Maluku), analisis dan evaluasi kepatuhan 1.132 kapal eks asing, penghentian operasi kapal eks asing yang melakukan IUU (illegal, unreported, and unregulated) fishing, dan penenggelaman 516 kapal ikan ilegal sampai Mei 2019.
Sebelumnya, pemerintah berencana menerbitkan omnibus law untuk melebur 24 undang-undang dan dua peraturan pemerintah yang terkait dengan keamanan laut. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, pada awal pekan ini, rapat dengan tujuh kementerian/lembaga yang berwenang dalam penindakan di laut.
Terkait dengan hal ini, Dave mengatakan, DPR telah memulai koordinasi dengan pemerintah terkait rencana legislasi tersebut. Salah satu pembahasan ialah memperkuat peran Bakamla yang selama ini hanya menginduk pada peraturan presiden.