Kemiringan yang terjal, tutupan bukit yang minim, serta curah hujan yang tinggi membuat potensi longsor di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, masih tinggi.
Oleh
Tim Kompas
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Dari hasil observasi awal Satuan Reaksi Cepat Badan Informasi Geospasial, mayoritas wilayah terdampak banjir dan longsor di Kabupaten Bogor memiliki tingkat kemiringan lereng yang terjal. Berdasarkan sebaran peta gerakan tanah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), wilayah ini berada pada zona gerakan tanah menengah dan tinggi. Artinya, longsor mudah terjadi.
”Perlu pendalaman untuk memastikan adakah faktor lain yang memengaruhi bencana, selain akibat intensitas hujan,” kata Kepala Bidang Pemetaan Kebencanaan dan Perubahan Iklim Badan Informasi Geospasial (BIG) Ferrari Pinem, Jumat (10/1/2020). Ferrari menambahkan, program pascabencana ke depan berupa penanaman kawasan perbukitan terbuka. Salah satunya dengan vetiver atau akar wangi (Vetiveria zizanioides).
Hingga Jumat sore, petugas gabungan sudah membuka 16 titik longsor di jalur Kiara Pandak, Kecamatan Sukajaya, Bogor. Dibukanya 16 titik longsor itu guna memudahkan distribusi logistik ke desa-desa yang sebelumnya terisolasi, seperti Desa Urug dan Desa Cisarua.
Salah satu desa, yakni Desa Cileuksa, masih terisolasi.
Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB Lilik Kurniawan mengatakan, potensi longsor di Kiara Pandak masih perlu diwaspadai sukarelawan logistik lantaran curah hujan masih tinggi. ”Potensi longsor masih ada. Warga, petugas, dan sukarelawan perlu waspada. Alat berat disiagakan di titik longsor. Jalur belum sepenuhnya bersih, tapi di beberapa titik motor bisa lewat,” ujarnya.
Salah satu desa, yakni Desa Cileuksa, masih terisolasi. Bantuan logistik hanya tersalur lewat helikopter. Jika berjalan kaki melalui jalur Kiara Pandak, sukarelawan dari Desa Harkatjaya menuju Desa Cileuksa butuh waktu 12 jam.
Peringatan dini
Di Jakarta, tak semua sistem komunikasi peringatan dini di daerah rawan banjir berjalan baik. ”Banjir tiba-tiba datang pada pagi hari pertama 2020. Padahal, tidak ada peringatan atau instruksi apa pun dari RT, RW, atau kelurahan,” kata Ani (35), warga Gang Minatu, Cipete Selatan, Jakarta Selatan.
Pada 1 Januari, perumahan di gang itu diterjang banjir hingga hampir 2 meter. Meski kebanjiran nyaris setiap tahun, tidak ada sistem komunikasi peringatan dini banjir di sana. Instruksi evakuasi disampaikan petugas saat banjir sudah tinggi. Kepala Seksi Pemerintahan Kelurahan Cipete Selatan Jayadih memastikan, peringatan dini disampaikan tim penanggulangan banjir dengan pengeras suara yang dibawa petugas atau mobil sirene.
Lurah Rawa Buaya Syafwan Busti mengatakan, ada dua alat peringatan dini di RW 011 dan RW 004 Rawa Buaya. Alat-alat itu berfungsi normal saat banjir pekan lalu. Akan tetapi, alarm peringatan tidak efektif lantaran banjir tiba lebih cepat. Nasrullah (30), warga RT 001 RW 011, mengatakan, dirinya mendengar alarm peringatan dini banjir pada 1 Januari sejak pukul 02.00. Namun, warga yang kerap kebanjiran ini tidak menghiraukan peringatan itu.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan, antisipasi banjir jangka pendek dikerjakan guna mengantisipasi cuaca ekstrem, 11-15 Januari. Itu dilakukan antara lain dengan perbaikan tanggul, pembersihan sampah, dan penempatan pompa air di lokasi yang berpotensi banjir.
Sekretaris Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Dudi Gardesi mengatakan, kini beberapa pompa rusak karena terendam banjir atau tersangkut sampah.(AYU/GIO/NAD/IRE/BOW/VAN/DIV)