Nasib Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur masih tak jelas. Pencurian ikan pun marak kembali. Pemerintah juga belum memutuskan institusi pengganti.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nasib Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur masih tak jelas. Pencurian ikan pun marak. Pemerintah juga belum memutuskan institusi yang akan bertanggung jawab sepenuhnya mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
”Bisa dievaluasi dulu, nanti efektivitas (dilihat), perlu ada penguatan lagi atau bagaimana,” tutur Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (10/1/2020).
Satgas yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden Nomor 115 tahun 2015 ini berakhir masa tugasnya pada 31 Desember 2019. Dalam memberantas penangkapan ikan ilegal, satgas ini bisa berkoordinasi dengan berbagai institusi dan mengumpulkan data dan informasi, serta menegakkan hukum dan melaksanakan komando dan pengendalian menggunakan kapal, pesawat udara, dan teknologi lain dari TNI AL, Kepolisian Negara RI, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Badan Keamanan Laut.
Ketika kapal-kapal nelayan China mencuri ikan di Laut Natuna Utara dengan dikawal kapal penjaga laut China, Indonesia akhirnya mengerahkan kapal perang RI dan pesawat tempur F16.
Terobosan melalui satgas ini menghasilkan penanganan kasus perbudakan manusia dengan korban 1.020 orang di Benjina (Maluku), analisis dan evaluasi kepatuhan 1.132 kapal eks asing, penghentian operasi kapal eks asing yang melakukan IUU (illegal, unreported, and unregulated)fishing, dan penenggelaman 516 kapal ikan ilegal sampai Mei 2019.
Sejauh ini, pengamanan di laut ditangani beberapa institusi dengan kewenangan masing-masing. Selain Satgas 115, ada Badan Keamanan Laut (Bakamla), Polair, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), dan TNI AL.
Saat ini, ketika kapal-kapal nelayan China mencuri ikan di Laut Natuna Utara dengan dikawal kapal penjaga laut China, Indonesia akhirnya mengerahkan kapal perang RI dan pesawat tempur F16.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, memang semestinya bukan kapal perang yang bertugas mengamankan ZEE. ”Tapi, karena di Indonesia kapal yang bertonase besar dan bisa (beroperasi) di luar laut lepas dari KKP dan Bakamla sangat terbatas, TNI AL yang mengisi kekosongan itu. (Di sini) TNI AL tidak menjalankan fungsi penegak kedaulatan, tapi menjadi penegak hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Ayat 2 UU (Nomor 34 Tahun 2004) TNI,” tuturnya.
(Di sini) TNI AL tidak menjalankan fungsi penegak kedaulatan, tapi menjadi penegak hukum sebagaiman diatur dalam Pasal 9 Ayat 2 UU (Nomor 34 Tahun 2004) TNI.
Meski demikian, Hikmahanto melihat hal tersebut sebagai transisi sampai ada coast guard berupa kapal sipil yang bisa menjalankan pengamanan laut dan penegakan hukum di ZEE.
Karena ada beberapa institusi yang bertugas mengamankan laut Indonesia, Moeldoko mengatakan, evaluasi dilakukan pada ketujuh institusi tersebut. Efektivitas kinerja institusi-institusi maupun masukan untuk penguatannya pun akan dibahas. Diharapkan akan diperoleh formula terbaik. ”Yang perlu dicari, formula yang terbaik,” kata Moeldoko.
Bila kewenangan penjagaan ZEE diberikan kepada Bakamla, menurut Moeldoko, diakui Bakamla tidak memiliki kewenangan penyidikan maupun armada kapal yang memadai. Karenanya, semua harus diperkuat dan dievaluasi lebih lanjut.
Editor:
suhartono
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.