Tantangan PPP Merawat Basis Massa
Partai Persatuan Pembangunan dihadapkan pada tren penurunan basis massa dalam setiap perhelatan pemilu. Memasuki usia yang nyaris separuh abad, partai ini dihadapkan pada tantangan untuk merawat basis massa pemilihnya.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) termasuk satu dari tiga partai yang masih eksis di setiap pemilu sejak era Orde Baru hingga kini. Pada 5 Januari lalu, partai berlambang Kabah ini genap berusia 47 tahun.
Partai yang didirikan pada 1973 ini hasil fusi dari empat partai politik peserta Pemilu 1971, yakni Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Bersama dengan Golkar dan PDI (kini PDI-P), PPP masih bertahan dan konsisten lolos ke parlemen. Namun, dari ketiga partai tersebut, partai berlambang Kabah ini menjadi satu- satunya partai yang mengalami tren penurunan raihan suara yang cukup tajam sejak Pemilu 1977 hingga 2019.
Pada Pemilu 1977, partai ini berhasil meraih 18,7 juta suara atau 29,3 persen dari total pemilih. Hasil ini merupakan persentase suara tertinggi yang diraih PPP sepanjang keikutsertaannya di pemilu.
Setelah Pemilu 1977, PPP dihadapkan pada fluktuasi jumlah pemilih hingga menjelang reformasi. Apalagi setelah sempat mengalami tren positif pada Pemilu 1992 dan 1997, suaranya turun drastis sepanjang era reformasi. Puncaknya di pemilu 2019, dengan raihan 4,52 persen suara atau nyaris menyentuh garis ambang batas lolos ke parlemen, sebesar 4 persen.
Penurunan perolehan suara ini juga berbanding lurus dengan menurunnya jumlah kursi PPP di parlemen pada hampir setiap gelaran pemilu. Jika di pemilu 1977, PPP meraih 27,5 persen dari total kursi yang diperebutkan, pencapaian di Pemilu 2019 menjadi 3,3 persen kursi di parlemen. Raihan kursi ini menjadi yang terendah sepanjang keberadaan PPP di parlemen pusat (DPR).
Konflik internal
Tren penurunan raihan suara PPP tentu tak dapat dilepaskan dari konflik internal yang beberapa kali terjadi. Pada 1984, Partai NU keluar dari PPP. Kondisi ini berdampak pada penurunan suara PPP. Suaranya turun dari 20,8 juta suara pada Pemilu 1982 menjadi 13,7 juta suara pada Pemilu 1987.
Konflik internal juga terjadi jelang Pemilu 2009. Saat itu, PPP terpecah untuk mendukung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dan Megawati-Prabowo Subianto. Persoalan lainnya juga muncul, seperti pembekuan pimpinan DPW PPP Jatim karena tak sepenuhnya mendukung pasangan Khofifah-Mudjiono dalam Pemilihan Gubernur 2008.
Jelang Pemilu 2019, PPP juga menghadapi sejumlah tantangan. Setelah perpecahan antara kubu Romahurmuziy dan Djan Faridz dalam kepengurusan, kondisi PPP juga makin rumit dengan penangkapan Romahurmuziy atas dugaan kasus suap terkait proses seleksi pengisian jabatan di Kementerian Agama. Kasus ini terjadi hanya berselang sebulan sebelum Pemilu 2019. Serangkaian polemik ini menambah berat laju PPP dalam setiap gelaran pemilu.
Wilayah kemenangan
Konflik internal itu juga diikuti berkurangnya basis massa PPP di berbagai daerah pemilihan. Penurunan basis massa ini terlihat dengan hilangnya wilayah kemenangan PPP dalam beberapa gelaran pemilu. Jika menilik berdasarkan raihan suara per daerah pemilihan, PPP pernah memiliki basis massa cukup besar. Menurut catatan Litbang Kompas, sejak Pemilu 1977 hingga 2019, ada lima daerah pemilihan yang dimenangkan PPP.
Pertama, di Pemilu 1977, partai ini berhasil menjadi pemenang di Aceh dengan raihan 641.256 suara, atau 57,27 persen dari total pemilih. PPP sukses mengalahkan Golkar yang mendominasi raihan suara di Pulau Sumatera saat itu.
Kedua, di Pulau Jawa, kemenangan diraih di Jakarta pada pemilu yang sama. Dengan mengusung 18 orang calon, raihan suara yang diraup saat itu mencapai 1,08 juta suara atau sebesar 43,46 persen dari total pemilih. Namun, PPP gagal mempertahankan basis massa di Jakarta pada gelaran pemilu selanjutnya.
Ketiga, di Pemilu 1982 Aceh kembali dimenangi PPP dan menjadi satu-satunya wilayah yang dimenangkannya dengan raihan 43,36 persen. Kemenangan di Aceh pada Pemilu 1982 ini menjadi wilayah terakhir yang dimenangkan PPP di era Orde Baru.
Daerah keempat dan kelima yang dimenangi PPP terjadi di era reformasi, yakni di Aceh saat Pemilu 1999 dengan raihan 28,82 persen suara. Banyaknya partai politik yang ikut serta saat itu (48 partai) berdampak pada tersebarnya suara pemilih sehingga partai pemenang tak lagi memperoleh persentase besar seperti pada era Orde Baru.
Kemudian, PPP kembali memenangi suatu daerah di Pemilu 2014, yakni di Daerah Pemilihan Jawa Timur XI yang meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Di wilayah ini, PPP meraih 15,76 persen suara. Inilah wilayah terakhir yang dimenangi PPP.
Di Pemilu 2019, tak ada satu pun wilayah yang dimenangkan PPP. Daerah yang dahulu pernah menjadi wilayah kemenangannya, seperti Aceh dan sebagian Jawa Timur, gagal dipertahankan sebagai lumbung suara partai ini.
Lumbung suara
Selain kehilangan wilayah kemenangan, PPP harus kehilangan 16 daerah pemilihan yang menjadi andalan untuk meraih kursi pada Pemilu 2019 lalu. Padahal, 16 daerah pemilihan ini, pada dua pemilu sebelumnya, selalu meloloskan perwakilan PPP ke DPR RI. Daerah-daerah ini tersebar, baik di Jawa maupun luar Jawa.
Di Pulau Jawa, PPP harus kehilangan kursi di beberapa daerah pemilihan, seperti Jawa Barat III, Jawa Tengah VII, dan Jawa Timur X. Sementara di luar Jawa, PPP kehilangan kursi di Sumatera Utara I, Sumatera Barat 1, dan Kalimantan Selatan II.
Hilangnya sebagian basis massa ini cukup kontradiktif dengan keberhasilan PPP dalam mengusung kepala daerah saat Pemilihan Gubernur 2018. Saat itu, PPP mendukung pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum pada Pilgub Jabar, Ganjar Pranowo-Taj Yasin dalam Pilgub Jateng, dan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak di Pilgub Jatim. Ketiganya menang.
Sayangnya, keberhasilan ini tidak serta-merta memberikan insentif elektoral bagi PPP saat pemilihan legislatif. Dari 16 daerah pemilihan yang gagal dipertahankan PPP untuk menyumbang kursi, hampir separuh di antaranya berada di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Namun, di balik berkurangnya basis massa, PPP masih memiliki daerah yang cukup loyal. Dalam tiga pemilu terakhir, terdapat 12 daerah pemilihan yang selalu mengirimkan wakil dari PPP ke DPR RI. Wilayah ini tersebar di sebagian Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Hal ini menjadi modal bagi PPP di tengah menurunnya perolehan suara dalam setiap pemilu. Namun, jika basis massa ini tak dirawat hingga ke akar rumput, bukan hal mustahil ancaman akan dihadapi partai ini. Salah satu ancaman serius adalah hilangnya keberadaan partai ini di parlemen. Ini akan menjadi ujian sekaligus tantangan bagi PPP untuk mampu terus bergerak dalam panggung politik nasional. (Litbang Kompas)