Untuk kesekian kali, tambang ilegal batu sinabar di Gunung Tembaga, Maluku, bakal ditutup. Penutupan perlu ditindaklanjuti dengan pengawasan ketat dan pemberdayaan warga.
Oleh
Frans Pati Herin
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS - Polda Maluku menyiapkan operasi penutupan kembali tambang ilegal batu sinabar di Gunung Tembaga, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Tambang sinabar terbesar di Indonesia yang pernah ditutup pada Desember 2017 itu kembali beroperasi dan memasok sinabar serta merkuri hasil olahan sinabar ke sejumlah daerah di Tanah Air. Diduga ada keterlibatan oknum aparat keamanan dalam tambang ilegal itu.
Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat di Ambon, Jumat (10/1/2020), menuturkan, bersama pemerintah kabupaten, polisi mulai mendekati masyarakat yang tinggal di dekat lokasi tambang. Melalui pendekatan itu, petambang diminta segera meninggalkan Gunung Tembaga. Tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh pemuda diajak untuk memberikan pemahaman kepada petambang. Ditargetkan sebelum akhir Januari, lokasi tersebut sudah bersih dari petambang yang jumlahnya sekitar 2.000 orang.
Penertiban, menurut Roem, akan dilakukan seperti penertiban lokasi tambang emas liar di Gunung Botak, Pulau Buru pada Oktober 2018. Sekitar 7.000 petambang meninggalkan Gunung Botak tanpa bentrok dengan aparat. Hingga kini, Gunung Botak steril dari petambang karena aparat akan rutin mengawasi.
Setelah pendekatan dimulai Kamis (9/1), Jumat pagi ada petambang yang mulai membersihkan peralatan tambang mereka dan bersiap keluar dari Gunung Tembaga. Roem berharap, pihak terkait terutama pemerintah daerah ikut membantu aparat mencegah petambang kembali ke Gunung Tembaga. Salah satunya dengan membuat program pemberdayaan masyarakat bagi petambang.
500 lubang
Lokasi Gunung Tembaga masuk wilayah Desa Iha dan Desa Luhu, Kecamatan Huamual. Perjalanan dari Pulau Ambon ke pesisir kedua desa itu sekitar 1 jam menggunakan perahu. Perjalanan dari pesisir ke lokasi tambang sekitar 1,5 jam.
Tambang batu sinabar di Gunung Tembaga mulai beroperasi pada 2012. Tambang di area seluas 25 hektar itu merupakan yang terbesar di Indonesia dengan jumlah petambang melampaui 5.000 orang. Ada sekitar 500 lubang galian, dengan tiap lubang bisa menghasilkan sekitar 600 kilogram batu sinabar setiap bulan.
Adapun batu sinabar merupakan bahan baku untuk produksi merkuri. Kandungan merkuri batu sinabar itu sekitar 80 persen dari bobot batu. Batu sinabar awalnya dijual Rp 150.000 per kilogram. Kini, harga jual batu sinabar di pasar gelap per akhir 2019 sekitar Rp 250.000 per kilogram. Merkuri yang diolah secara ilegal itu kemudian dipasok ke lokasi tambang emas liar di Tanah Air. Merkuri berfungsi untuk mengikat emas dari mineral lainnya.
Pada Desember 2017, atas perintah Presiden Joko Widodo, lokasi tambang itu ditutup. Sejumlah pejabat dari kementerian dan lembaga turun langsung ke Gunung Tembaga. Penutupan pun berjalan sukses. Kepala Polres Seram Bagian Barat kala itu, Ajun Komisaris Besar Agus Setiawan, mendapat penghargaan dari Kepala Polri saat itu Jenderal Tito Karnavian. Agus dianggap berkontribusi dalam penutupan itu.
Batu sinabar merupakan bahan baku untuk produksi merkuri.
Ferry Kaisupy (40), warga yang tinggal di sekitar lokasi tambang, menuturkan, kembalinya petambang ke Gunung Tembaga lantaran program pemberdayaan bagi eks petambang yang dijanjikan pemerintah daerah tak kunjung dilaksanakan.
Peneliti logam berat dari Universitas Pattimura Ambon, Abraham Mariwy, mengatakan, perlu keseriusan untuk menutup lokasi tambang batu sinabar. Dengan begitu, peredaran merkuri secara ilegal di Indonesia akan berkurang.
Pekan lalu, Brigadir Kepala ZN yang bertugas di sekitar kawasan tambang batu sinabar ditangkap lantaran diduga terlibat dalam tambang sinabar. Ia juga kerap membocorkan rencana penertiban. Awal 2018, anggota intelijen dari Polda Maluku juga ditangkap dalam kasus serupa.