Kegelisahan Blues Gugun
Asam garam bermusik dicecap Muhammad Gunawan (44), yang akrab disapa Gugun, lewat jalur blues. Vokalis Gugun Blues Shelter tersebut menembus panggung di berbagai belahan dunia. Di balik itu, pandangan sebelah mata, direcoki saat konser, hingga terpaksa menjual peralatan musiknya pernah ia lakoni.
Ada yang baru dari Gugun. Rambut yang biasanya gondrong ia pangkas. Sebelumnya, lebih dari 20 tahun Gugun membiarkan rambutnya panjang. ”Cukur waktu Desember lalu. Pengin ganti suasana saja. Panas juga kalau gondrong,” ujarnya sambil tertawa.
Rambut Gugun yang lebih klimis tak pelak mengundang pro dan kontra. Penggemar mengungkapkan pendapatnya lewat media sosial. ”Lebih banyak yang pro. Sekarang sudah umum anggapan kalau rocker enggak harus gondrong,” katanya di sela-sela bertandang ke Tema Studio, Jakarta, Jumat (10/1/2020).
Penampilan kian segar menjadi bentuk sinkronisasi Gugun menuju album yang akan dirilis tiga hingga empat bulan mendatang. Ia sedang mengerjakan proyek solo dan sudah merekam delapan lagu.
”Sedang ngumpulin keberanian selain biar enggak ada kerancuan dengan GBS (Gugun Blues Shelter). Nanti orang anggap GBS sudah enggak ada,” katanya seraya tersenyum. Maka, ia membedakan materi-materi lagunya dengan GBS. Karya-karya solo Gugun lebih bernuansa rock. Ia sebenarnya sudah lama menciptakan banyak lagu, tetapi kebanyakan dipakai GBS.
Jakvegas yang telah meluncurkan dua lagu lewat Spotify dan Youtube pada Desember 2019 menjadi proyek lain Gugun. Grup musik itu memainkan pop dan rock, khususnya tahun 1990-an, yang simpel. Namun, Gugun yang menguasai gitar itu tetap setia dengan GBS. ”Konser dengan GBS masih digelar,” katanya tentang band yang juga beranggotakan basis Fajar Adi Nugroho dan drumer Adityo Wibowo itu.
Band yang dibentuk tahun 2004 itu sudah mengeluarkan 10 album. Gugun sudah kenyang dengan anggapan dari sesama musisi bahwa blues tak bakal bisa eksis. ”Pernyataan itu justru bikin lebih semangat meski harus jatuh bangun dan kelelahan supaya target tercapai. Paling tidak, orang tahu GBS,” ucapnya.
Salah satu pencapaian GBS yang paling menggembirakan adalah tampil di Hyde Park, London, Inggris, tahun 2011. Di lokasi yang sama pula tampil Bon Jovi, Rod Stewart, dan The Killers. Gugun juga pernah berpentas di Amerika Serikat, Belanda, Malaysia, dan China.
Gugun bersyukur, banyak lagu GBS yang berbahasa Inggris sehingga lebih mudah diterima penikmat musik dunia. Mereka, misalnya, tampil di beberapa kota di Inggris tahun 2007. Pernah, GBS dibayar seperti saweran memakai ember. Banyak yang memberikan koin hingga terkumpul hampir 200 pound sterling atau sekitar Rp 3 juta.
”Cuma cukup buat makan dan beli bensin. Mobil itu sewaan. Kami nyetir sendiri ke Birmingham, Blackburn, Manchester, sampai Belfast, tetapi menyenangkan,” kata Gugun.
Onak dan duri bermusik menjadi bagian dari pengalaman bermusik GBS yang mengawalinya dengan bermain di kafe, kelab, dan festival itu. Energi Gugun lebih terkuras secara fisik. Gugun dan rekan-rekannya harus memutar otak untuk mendapatkan untung agar bisa rekaman dan membuat klip video. Mereka pun pernah dilecehkan beberapa kali saat konser. ”Waktu kami masih konser di pensi SMA yang menyewa gedung di Jakarta, lampunya dimatikan,” katanya.
Gedung itu dilengkapi pengukur desibel. Pengelola yang menganggap GBS sebagai penampil utama terlalu bising lantas memadamkan penerangan. Lain lagi dengan kekecewaan di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, tahun 2014. Aparat keamanan datang ke panggung untuk menghentikan pertunjukan.
Titik nadir
”Kami dimarahi karena dianggap melebihi batas waktu. Seharusnya yang ditegur, kan, panitia,” ujar Gugun seraya tergelak. Jika sudah tiba di lokasi, pembatalan konser karena alasan-alasan tak masuk akal juga menjadi pemicu kekesalan Gugun. Cara mengatasi bad mood itu gampang saja dengan meninggalkan tempat sesegera mungkin.
Gugun tak menampik jika titik nadir bermusik dialaminya ketika basis Jonathan Armstrong, yang akrab disapa Jono, hengkang dari GBS tahun 2015. ”Audisi pengganti Jono menguras energi. Saya harus mulai dari awal. Lelahnya berganti lebih ke mental,” ucapnya.
Banyak konser terpaksa dibatalkan. Tawaran manggung menurun rata-rata dari 10 kali per bulan menjadi separuhnya. Gugun harus berpikir membuat acara sendiri. Upaya itu tak mudah. Apalagi, tren penjualan cakram kompak saat itu menurun dengan maraknya aplikasi musik dengan internet. Fenomena itu berbeda dibandingkan 10 tahun lalu saat konser-konser musik dirasakan lebih ramai.
”Enggak hanya GBS. Kalau saat itu bokek, bisa dibilang iya. Pemasukan ada, tetapi enggak sebanding dengan pengeluaran,” ujarnya. Tabungan mulai tergerus. Gugun menjual efek-efek gitar yang sebenarnya historis karena digunakan untuk pergelaran GBS.
”Ada mungkin 10 efek saya jual dengan harga setengahnya. Rata-rata dijual Rp 1 juta per unit. Paling mahal, Rp 1,8 juta,” katanya. Gugun adalah pribadi yang sedikit tertutup jika punya masalah. Ia tak banyak bercerita tentang persoalan itu kepada keluarganya agar mereka tetap semangat.
Simpel
”Bentuk dukungan dari keluarga yang dirasa paling positif, mereka selalu mendukung karier saya sebagai musisi sampai sekarang,” katanya. Gugun yang bertemu sang istri, Rohmah Dianingkarti, saat tampil di Jakarta tahun 2005 itu harus berjuang cukup lama untuk bisa meminangnya.
”Calon mertua melihat saya musisi, gondrong lagi. Tetapi, hubungan kami serius. Umur juga sudah lebih dari 30 tahun,” katanya. Gugun menikah tahun 2007. Bahtera rumah tangga dijalani dengan simpel tanpa perayaan pernikahan atau ulang tahun istri dan anak-anak yang meriah.
”Nyaris enggak ada hal romantis yang pernah saya lakukan. Paling jalan-jalan ke mal. Ada juga kejutan-kejutan, tetapi saya enggak kaget,” ujarnya sambil terbahak.
Selain musik, mobil klasik menjadi hobi Gugun yang lain. Ia punya VW kodok buatan tahun 1974.
”Saya beli tahun 2015. Saya juga pernah punya VW kodok produksi tahun 1968. Beli tahun 2000, dijual delapan tahun kemudian,” katanya. Dulu ia sering berkumpul dengan komunitas penggemar mobil lawas di Cipete, Jakarta, selama empat tahun hingga 2006.
Gugun masih memiliki segudang impian. Bermain musik dengan musisi-musisi dunia seperti Eric Clapton, Buddy Guy, Joe Bonamassa, dan John Meyer serta tampil di Crossroad Guitar Festival, Amerika Serikat, adalah mimpinya.
Bagi Gugun, blues adalah musik yang terlahir dari kegelisahan jiwa para pengusungnya. Inspirasi lebih banyak muncul ketika musisinya dalam situasi tak tenang. ”Karena saya menggeluti blues, kegelisahan saya enggak bakal ada selesainya. Itu pasti,” ujarnya.
Gugun sudah belajar bermusik sejak umur 6 tahun tanpa keraguan diri dan rintangan keluarga. Tak sekadar bunyi-bunyian, ia menekuni musik sebagai cara pandang dan gaya hidupnya. Gugun memilih blues karena sederhana tetapi mengena, emosional, spontan, dan tak banyak teori.
”Blues itu ibaratnya bangun tidur, mandi, sarapan, kerja, dan istirahat. Sangat mendasar seperti setiap manusia bisa melakukannya,” ujarnya.
Hampir semua lagu yang diciptakannya adalah pengalaman pribadi Gugun atau peristiwa yang ia saksikan. ”Bisa juga melihat program-program televisi. Saya enggak harus menunggu momen spesial untuk membuat lagu. Kadang-kadang muncul ide saat berkendara,” katanya.
Bisa juga inspirasi muncul ketika Gugun beraktivitas di rumah. Ia langsung memainkan gitar atau bersenandung dan merekamnya. Saat itulah kegelisahan-kegelisahan Gugun tersalurkan.
Muhammad Gunawan
Lahir: Duri, Riau, 22 November 1975
Istri: Rohmah Dianingkarti (39)
Anak:
- Lulita Quisha (12)
- Ray Aldreen (10)
Pendidikan:
- Sekolah Dasar Negeri 2 Duri, Riau, 1982-1988
- Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Duri, 1988-1991
- Sekolah Menengah Atas Cendana Duri, 1991-1994
- Jurusan Bahasa Inggris Akademi Bahasa Asing Cikini, Jakarta, 1994-1997
Penghargaan, antara lain:
- Album Rock Terbaik, ”Satu untuk Berbagi”, Anugerah Musik Indonesia (AMI) Awards 2012
- Grup Rock AMI Awards 2012
- Karya Produksi Kolaborasi Terbaik, ”Mystified”, AMI Awards 2013