Pemerintah perlu membangun tata kelola pengolahan limbah medis yang transparan untuk mencegah kebocoran limbah medis.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Pemerintah perlu membangun tata kelola pengolahan limbah medis yang transparan untuk mencegah kebocoran limbah medis antara rumah sakit dan tempat pengolahan berizin demi menghindari terulangnya kasus penimbunan ilegal, seperti di Desa Panguragan Kulon, Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Pembangunan tata kelola sangat mendesak karena Indonesia baru mempunyai 12 perusahaan pengolah limbah medis berkapasitas 301,7 ton per hari untuk melayani 2.781 rumah sakit dengan limbah medis mencapai 340 ton per hari.
Penegakan hukum juga penting agar tidak ada pihak yang menyelewengkan pengolahan limbah medis yang tergolong bahan berbahaya dan beracun (B3). Pasalnya, limbah medis dapat mencemari tanah dengan mikroorganisme yang berbahaya bagi kesehatan makhluk hidup. Pemerintah hendaknya lebih serius mendorong pemerataan bisnis pengolahan limbah medis karena, dari 12 perusahaan pada 2019, sebanyak delapan perusahaan berada di Pulau Jawa.
Dalam investigasi Kompas selama November-Desember 2019, keterbatasan pengolah limbah medis mengakibatkan ada rumah sakit yang limbahnya menumpuk pada 2018, seperti di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Jakarta, dan RS Hasan Sadikin (RSHS), Bandung.
Manajemen kedua rumah sakit enggan mengungkap mitra mereka yang wanprestasi pada 2018 tersebut. Namun, dari penelusuran pada sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik, diketahui RSUP Fatmawati dan RSHS pada periode 2017-2018 menjalin kontrak pengolahan limbah medis dengan PT Tenang Jaya Sejahtera (TJS).
Kepala Instalasi Kesehatan Lingkungan RS Hasan Sadikin Maudy Dirgahayu Hussein mengatakan, limbah medis RSHS pada 2018 pernah menumpuk karena pengolah limbah tidak mengangkutnya. ”Salah satu perusahaan (pengolah limbah medis) wanprestasi karena limbah kami tidak diangkut-angkut,” ucapnya.
Direktur Utama RSUP Fatmawati Mochamad Syafak Hanung menyampaikan, pihaknya sampai panik karena pengolah yang dikontrak tak juga mengangkut limbah medis. ”Sekarang kami harus memastikan apakah benar penyedia jasa (pengolah limbah medis) itu taat regulasi,” ujarnya.
Dalam laman Inaproc, portal Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), disebutkan, PT TJS diberi sanksi tidak boleh ikut lelang pemerintah pada 26 Juni 2018-26 Juni 2019 dan 8 Juni 2018-8 Juni 2019.
Saat itu manajemen menaikkan harga seiring kenaikan biaya produksi, tetapi ditolak rumah sakit karena tidak sesuai kontrak.
Saat dikonfirmasi, juru bicara PT TJS, Oland PH Sibarani, membenarkan adanya sanksi dari LKPP. Menurut dia, saat itu manajemen menaikkan harga seiring kenaikan biaya produksi, tetapi ditolak rumah sakit karena tidak sesuai kontrak. ”Akibatnya, kami tidak bisa melaksanakan pekerjaan itu,” ucapnya.
Belum seimbang
Jumlah pengolah dan rumah sakit yang belum seimbang ditambah penyebaran yang tidak merata membuat transparansi kemampuan penyedia jasa memusnahkan limbah medis sangat penting. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Lia G Partakusuma mengungkapkan, sampai kini rumah sakit sulit menjangkau informasi kapasitas pengolahan limbah medis per tahun yang sebenarnya.
”Kendalanya, ya, itu, bagaimana mengambil datanya. Kalau pakai logika saja, kan, tidak mungkin limbah sebanyak ini, kok, yang mengolah cuma segini (sedikit),” tuturnya.
Lia pun mengingatkan, di Pulau Jawa dengan pengolah terbanyak saja masalah limbah medis cukup pelik. ”Coba bayangkan yang di Indonesia timur, seperti Papua. Dibuang ke mana limbahnya kalau pengolah limbahnya saja jauh (di Jawa). Jangan-jangan ada yang dibuang ke laut,” tuturnya.
Pemerintah pun terus berupaya agar perusahaan pengolah limbah medis lebih tersebar di seluruh Indonesia.
Pemerintah pun terus berupaya agar perusahaan pengolah limbah medis lebih tersebar di seluruh Indonesia. Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Imran Agus Nurali menyampaikan, pihaknya telah menyarankan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar pengolahan limbah medis dibangun berbasis wilayah.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati pun mendukung konsep pengelolaan limbah medis per regional yang dikembangkan Kemenkes. Sejalan dengan konsep regional itu, secara konkret KLHK telah membangun fasilitas insinerator limbah medis yang telah beroperasi di Makassar, Sulawesi Selatan.