Pascabanjir besar awal tahun 2020, sejumlah pejabat di Jakarta menyuarakan pentingnya sirene penanda bahaya banjir. Alat ini dianggap bisa meminimalisasi dampak bencana.
Oleh
Andy Riza Hidayat
·3 menit baca
Pascabanjir besar awal 2020, sejumlah pejabat di Jakarta menyuarakan pentingnya sirene penanda bahaya banjir. Alat ini dianggap meminimalisasi dampak bencana. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memerintahkan aparat kelurahan berkeliling memberikan peringatan dini terjadinya banjir kepada warga dengan menggunakan sirene.
”Salah satu hal yang akan diterapkan baru, bila ada kabar (akan banjir), maka pemberitahuannya akan langsung ke warga,” kata Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (8/1/2020), seperti dikutip Kompas.com.
Dorongan yang sama disampaikan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PAN Zita Anjani. Dia meminta Pemprov DKI menggunakan sirene sebagai alat pemberi peringatan banjir. Menurut dia, alat ini sudah seharusnya dipasang mengingat banjir merupakan bencana yang paling sering terjadi di Jakarta.
Sebelum seruan ini muncul, warga Kampung Melayu dan Bidara Cina, Jakarta Timur, sudah mengenal sirene banjir sejak 2014. Kini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI mengoperasikan 14 sirene di daerah rawan banjir di sekitar aliran Kali Ciliwung dan Angke. Sebagian sirene bantuan dari Jepang, sebagian lain pengadaan Pemprov DKI.
Sayangnya, sebagian sirene tidak meraung saat banjir awal tahun ini, seperti di Kelurahan Kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Di sana, sirene terpasang berimpitan dengan Kantor Sekretariat RW 003 di sisi Jalan Jatinegara, 8-10 meter dari badan Kali Ciliwung. Sirene di tempat ini dipasang setinggi sekitar 10 meter dari permukaan tanah. ”Sirene pernah berbunyi saat pertama dipasang tahun 2014. Suaranya kencang, sampai 2 kilometer dari lokasi. Tetapi, sekarang tidak kedengaran lagi,” kata Iwan, warga setempat.
Akan tetapi, Kepala Pusat Data dan Informasi BPBD DKI Iwan Ibrahim, kepada Kompas di sekitar lokasi sirene, menyanggah keterangan Iwan. Sirene tidak berbunyi bukan karena rusak, melainkan karena aliran listrik padam pada pengujung tahun di kawasan itu. Sirene yang seharusnya beroperasi ikut terdampak pemadaman listrik.
Sirene bercat merah ini terdiri atas empat pelantang suara dengan arah yang berbeda-beda. Karena tidak bunyi, warga mengandalkan informasi dari sesama warga lain, media massa, dan aparat pemerintah setempat. Model informasi ini terlalu panjang bagi warga yang butuh penyelamatan segera saat permukaan air kali meningkat cepat.
Sementara itu, di Kelurahan Bidara Cina, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, sirene penanda banjir masih berfungsi. Bunyinya seperti sirene ambulans, diikuti suara manusia di pelantang suara tentang peringatan dini air permukaan kali yang akan meningkat. Warga diimbau untuk segera menyelamatkan diri.
Warga setempat terbantu adanya sirene di sana. Sayangnya, setelah sirene berbunyi, tidak ada pengerahan personel penyelamatan yang membantu warga menghindari ancaman banjir. Warga menyelamatkan diri sendiri. Mereka saling menolong membawa barang berharga ke tempat aman. Sampai puncak pergantian tahun, ketika sebagian orang merayakannya dengan pesta kembang api, warga Bidara Cina berjuang menghadapi banjir.
”Pas malam Tahun Baru (31 Desember 2019), peringatan ada sejak pukul 14.00. Tetapi, ya, begitu saja, petugas tidak ada yang datang,” kata Aditya, warga setempat.
Tidak maksimalnya mitigasi warga terdampak banjir menjadi sorotan sebagian kalangan. Mengapa tidak ada pengerahan aparat lurah, camat, dan unsur lain untuk menyelamatkan warga di area rawan. Sementara informasi diterima warga sejak siang sebelum air merendam permukiman mereka. Masih ada waktu untuk mengurangi risiko yang lebih buruk ketika itu jika banyak pihak ikut bergerak bersama.
”Sepertinya langkah-langkah mitigasi itu tidak berjalan seperti yang diharapkan,” kata Kepala Pusat Pengendalian Operasi BNPB Bambang Surya Putra kepada Kompas.
Warga Bidara Cina dan Kampung Melayu menginginkan agar mitigasi diperbaiki lagi.
Pas malam Tahun Baru (31 Desember 2019), peringatan ada sejak pukul 14.00. Tetapi, ya, begitu saja, petugas tidak ada yang datang.
Selain keterlibatan aparat di bawah, perawatan perangkat peringatan banjir yang sudah ada semestinya diperbaiki. Seruan semacam itu sudah dikenalkan kepada warga. Setelah dikenalkan dengan perangkat sirene penanda banjir, tugas berikutnya adalah menerapkan dan merawatnya.
Tidak cukup dengan seruan penggunaan sirene, pejabat eksekutif dan legislatif di Jakarta juga sebaiknya fokus pada sirene penanda potensi banjir yang disebabkan hujan lokal. Ternyata, Jakarta belum punya sirene untuk kondisi seperti itu.